Sekuel ke empat Terra The Best Mother, sekuel ke tiga Sang Pewaris, dan sekuel ke dua The Big Families.
Bagaimana kisah kelanjutan keluarga Dougher Young, Triatmodjo, Hovert Pratama, Sanz dan Dewangga.
Saksikan keseruan kisah pasukan berpopok dari new generasi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MASIH RAMAI
Pagi hari, matahari bersinar cerah setelah dua hari kemarin diwarnai hujan deras. Burung-burung berkicau riuh. Embun masih menetes di ujung dedaunan. Kelopak bunga masih basah dengan bekas tetesan air hujan.
"Alhamdulillah, selamat pagi semuanya!" seru Gomesh ketika masuk dapur.
Terbiasa mengucap hal-hal berbau Islam, membuat Gomesh fasih dengan banyak ucapan, seperti hamdalah, istighfar dan lain sebagainya.
"Selamat pagi Papa!" sapa Ramdan yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Ia sudah kelas teka nol besar. Ia juga sudah bebas dari bahasa bayinya.
"Selamat pagi Baby!' sahut Gomesh dan mengangkat tubuh kecil itu tinggi-tinggi.
"Papa!" pekik Ramdan tertawa lepas karena Gomesh memutarnya.
"Papa!" seru Maria melotot. Ia paling tidak suka anak-anak diangkat seperti itu.
Gomesh gegas menurunkan Ramdan. Tentu sebelum yang lain datang dan meminta hal sama, selain ia takut dimarahi istrinya.
Semua anak turun dengan seragam mereka. Billy dengan almamaternya, Bastian mengenakan baju proyeknya, berikut helm. Martha dengan seragam SMA sama dengan Sky, Arfhan, Bomesh dan Darma.
Harun, Azha, Arraya, Arion, Titis, Bariana dan Salim mengenakan seragam SD. Begitu juga Gino, Aaima, Sarip, Tono dan yang lainnya termasuk Zaa, Chira, Aarav dan Nisa.
Para anak Teka tak mau ketinggalan, Riama, Cindy, Ramdan, Zora, Vendra, Faza, Sabila dan Nabila. Mereka semua sudah rapi dan wangi.
"Masyaallah!" decak kagum Kanya menatap.semua anak-anak yang telah rapi.
"Kami berangkat dulu Oma!' pamit Kean mencium punggung tangan Kanya.
'Iya Baby,' angguk Kanya bangga.
Kean menggiring semua adiknya untuk pamit pada seluruh orang tua. Marco, Ken dan semua pengawal telah bersiap.
Kean naik mobilnya sendiri disupiri salah seorang pengawal, menuju perusahaannya. Akhirnya hunian Terra sedikit lengang. Yang ada hanya tingkah para bayi yang tetap mengerjai pengawal.
"Apah Deli ... Apah Deli!' panggil Hasan pada Deri.
Hasan adalah anak Layla dan Juno, kembarannya Hapsa bermain dengan saudaranya yang lain.
'Ada apa Baby?" sahut Deri mendekati Hasan.
'Apah soba, pisa azaltan Sasan nayit ipu!" pinta Hasan menunjuk rangkaian besi berbentuk bola.
"Oh, ayo sini!" ajak Deri menuju permainan ketangkasan.
Sementara di kampus, Billy duduk di taman. Jemarinya kotor dengan cat, sebuah lukisan abstrak ia buat di sana. Beda Bastian beda pula Billy. Remaja berusia enam belas tahun itu sangat suka seni. Walau jurusan yang ia ambil sangat jauh dari hobi yang ia kerjakan saat ini.
'Lukisannya bagus," sebuah pujian terdengar oleh Billy, ia menoleh.
Billy yang berperawakan bule, pupil orange pekat, nyaris seperti mata serigala tajam. Iris mata Billy memang berbeda dengan seluruh keluarga.
"Mata kamu indah. Apa namanya, amber ... Ya ... Amber!" angguk gadis itu kembali memuji Billy.
"Terimakasih, tapi saya tak bisa balas memuji anda, Nona!" sahut Billy lalu merapikan alat lukisnya.
"Namaku Drew Pearlyta Putri Bagaskara!" ujar gadis itu menjulurkan tangan.
Billy mengatup tangan di dada, sopan. Ia tak menyebut namanya dan meninggalkan Drew begitu saja.
"Kamu Lawsonel Rapheliby Dougher Young kan!" seru Drew tapi Billy benar-benar mengacuhkan gadis itu.
"Huh, SkSD!" gerutu Billy sambil jalan ke kelasnya.
Di salah satu ruang di lantai dua, Billy duduk di deretan tengah, menatap ke depan dengan pandangan fokus—atau setidaknya, terlihat fokus.
“Baik, kita lanjutkan pembahasan minggu lalu tentang perikatan dalam hukum perdata,” ujar Profesor Darwan, pria paruh baya berkacamata tebal yang terkenal perfeksionis sekaligus mudah meledak. Suaranya berat, setiap kalimatnya seperti dentuman palu sidang.
Billy membuka buku catatannya. Tapi alih-alih menulis penjelasan dosen, tangannya justru bergerak pelan, luwes, dan terarah.
Goresan pensil hitam membentuk garis halus, membingkai sosok berkepala besar dengan rambut tipis di tengah, tangan menunjuk papan tulis — itu jelas wajah dosennya sendiri.
Namun di halaman berikutnya, gambar berubah: seekor kuda berwarna coklat dan hitam, berdiri gagah di padang rumput, di bawah langit yang nyaris kosong.
Billy menambahkan bayangan di bawah perut kuda, mempertegas ototnya. Dalam diam, ia menikmati momen itu. Baginya, menggambar bukan pelarian, tapi cara berpikir.
“Billy!”
Suara lantang memecah kesunyian kelas.
Beberapa mahasiswa spontan menoleh. Profesor Darwan sudah menatapnya dari depan meja, keningnya berkerut, bibirnya mengeras.
“Kamu nggak nulis sama sekali! Dari tadi saya perhatikan kamu sibuk mencoret-coret kertas!”
Billy diam. Tangannya berhenti di udara. Pensil yang tadi menari kini beku.
Ia tahu, mengelak tak ada gunanya. Tapi menatap tajam dosennya pun bukan pilihan yang sopan.
“Coba jelaskan,” suara sang profesor kembali, kali ini lebih tegas.
“Pidana apa yang diterapkan pada pelaku pinjaman online yang gagal bayar!”
Seluruh kelas diam. Suasana menegang seperti ruang sidang sungguhan.
Namun Billy perlahan menegakkan punggung, menatap Profesor Darwan dengan tenang.
“Tidak ada pidana, Prof,” ujarnya pelan tapi jelas.
Dosen itu menaikkan alis. “Tidak ada? Kamu yakin?”
“Ya, Prof,” lanjut Billy mantap.
“Kasus gagal bayar pinjaman online bukan ranah pidana, melainkan perdata. Karena hubungan antara pihak peminjam dan pemberi pinjaman adalah hubungan kontraktual — ada kesepakatan, ada perjanjian. Pelanggaran dalam perjanjian itu disebut wanprestasi, bukan tindak pidana!"” sambungnya tegas.
Suasana kelas sedikit bergemuruh. Beberapa mahasiswa mulai berbisik kecil, ada yang mengangguk-angguk, ada juga yang tampak kebingungan.
Profesor Darwan menyilangkan tangan, memerhatikan wajah Billy.
“Lanjutkan,” ujarnya datar.
Billy menarik napas pelan. “Dalam hukum perdata, pelanggaran perjanjian diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata. Jika seseorang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana tertulis dalam kontrak, maka pihak lain berhak menuntut ganti rugi. Tapi itu tetap bersifat perdata, karena tidak menyangkut kepentingan umum—hanya hubungan antara dua pihak.”
“Sedangkan pidana,” Billy menatap papan tulis yang penuh tulisan, “menyangkut kepentingan publik dan negara harus turun tangan. Seperti penipuan, pemalsuan, atau penggelapan. Tapi kalau hanya gagal bayar karena tidak mampu atau karena bunga menumpuk, maka solusinya lewat gugatan perdata di pengadilan, bukan penjara.”
Profesor Darwan diam beberapa detik. Lalu bibirnya bergerak tipis.
“Bagus. Tapi kamu tetap salah satu mahasiswa paling susah ditebak di kelas ini,” katanya setengah tertawa, setengah kesal.
Tawa kecil terdengar dari bangku belakang. Billy menunduk, senyum tipis muncul di bibirnya.
“Baik, lanjutkan, Prof,” ujarnya singkat, menutup bukunya — bukan karena malu, tapi karena sudah cukup menjelaskan.
Profesor Darwan berjalan ke arah papan tulis sambil bergumam, “Kalau semua yang nggak nyatet bisa jawab kayak kamu, mungkin saya nggak perlu ngajar!”
Kelas kembali hidup. Beberapa mahasiswa sibuk mengetik di laptop, yang lain menulis cepat di buku. Billy membuka halamannya lagi, menatap kuda yang tadi ia gambar. Ada sesuatu dalam sorot mata kuda itu — gagah, tapi kesepian. Ia menambahkan sedikit warna abu-abu di langit, menyesuaikan suasana hatinya.
Goresan itu membuat pikirannya mengembara. Ia selalu berpikir bahwa hukum dan seni punya kesamaan: keduanya berangkat dari kepekaan.
Hukum menuntut kepekaan terhadap keadilan, sedangkan seni menuntut kepekaan terhadap rasa.
Ia ingin menjadi pengacara, seperti Seroja — tegas, jujur, dan punya nurani. Tapi di sisi lain, ia ingin tetap menjadi Billy yang bisa menggambar dunia tanpa harus menindas siapa pun di atas kertas.
“Billy, kamu melamun lagi?” tanya teman di sebelahnya, Raina, gadis berkacamata dengan tumpukan buku hukum di meja.
“Nggak,” jawab Billy cepat.
“Kayak ada yang kamu pikirin dalam-dalam.”
“Cuma gambar ini,” Billy mengangkat bukunya pelan.
Raina melihat sebentar, lalu tertawa kecil.
“Kuda ya? Kuda itu simbol kebebasan. Kamu bosan sama peraturan, ya?” tanyanya.
Billy tersenyum. “Nggak juga. Hukum itu perlu, cuma kadang orang lupa kalau manusia juga butuh ruang untuk jadi dirinya sendiri.”
Raina mengangguk. “Kamu ngomong kayak puisi. Tapi serius, kamu jawab tadi keren banget. Aku aja tadi sempat panik kalau ditanya.”
“Terbiasa aja,” jawab Billy santai. “Aku tumbuh di keluarga yang hidupnya penuh kontrak dan perjanjian. Kadang aku rasa, hidup kami pun kayak perikatan yang nggak ada habisnya.”
Suara bel kuliah terdengar, menandakan akhir sesi. Profesor Darwan menutup bukunya dan berkata,
“Baik, minggu depan kita bahas wanprestasi dan ganti rugi. Saya harap minggu depan, Billy benar-benar menulis, bukan menggambar.”
Seluruh kelas tertawa. Billy ikut tersenyum dan mengemasi bukunya. Tapi sebelum keluar, Profesor Darwan memanggilnya lagi.
“Billy!”
Ia menoleh.
“Saya lihat gambar kamu.”
Billy kaku sejenak.
“Prof lihat?”
“Saya bukan buta warna, anak muda. Itu kuda ya?”
Billy mengangguk.
Profesor Darwan menatapnya beberapa detik, lalu berkata lembut.
“Hati-hati. Orang yang bisa menggambar sebaik itu kadang lebih mudah membaca dunia daripada yang rajin mencatat. Jangan sampai kamu kecewa karena dunia nggak selalu indah seperti lukisanmu!"
Billy terdiam. Ia menatap dosennya lama. Lalu dengan nada rendah tapi mantap, ia menjawab.
“Saya tahu, Prof. Karena justru dari situ saya belajar kenapa hukum harus ada — supaya dunia tetap punya bingkai, meski gambarnya berantakan!”
Profesor Darwan tersenyum samar, lalu melambaikan tangan tanda boleh pergi.
Billy keluar kelas, melewati koridor yang dipenuhi sinar matahari. Buku catatannya di tangan masih terbuka di halaman bergambar kuda. Angin menerpa lembut, membuat ujung kertas berkibar kecil.
Ia menatap langit, membiarkan pikirannya terbang sejenak — antara hukum, keadilan, dan kebebasan yang entah kenapa, semua terasa begitu mirip.
Bersambung
Ata' Billy Keyen.
Next?
keren banget meski msh kicik
salut.....
tegang eh di gantung