Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda
Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.
Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .
Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.
Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .
Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28
Ting… tong…
Suara bel pintu menggema pelan di dalam rumah bergaya Eropa klasik itu.
Dari balik jendela tinggi berhias tirai renda putih, cahaya matahari pagi menembus lembut.
Tak butuh waktu lama, bunyi langkah tergesa terdengar mendekat, klik!
Pintu besar itu terbuka, menampakkan seorang asisten rumah tangga paruh baya yang mengenakan seragam rapi berwarna abu-abu muda.
“Oh! Tuan Jodi…” seru sang asisten rumah tangga, sedikit terkejut namun segera menunduk sopan. “Silakan masuk, Tuan.”
Jodi melangkah masuk, aroma lembut kopi pagi dan wangi bunga segar langsung menyambutnya di ruang tamu yang luas.
“Apa Alin masih tidur?” tanyanya datar, sambil melirik ke arah tangga marmer yang menjulang ke lantai atas.
“Iya, Tuan,” jawab sang asisten hati-hati. “Nyonya dan Tuan besar tadi pagi-pagi sekali sudah berangkat ke Kuala Lumpur untuk urusan bisnis. Rumah hanya ada saya, beberapa staf, dan Nona Alin.”
Jodi hanya mengangguk pelan, wajahnya sulit ditebak,antara lelah dan canggung.
Langkahnya terdengar perlahan menapaki anak tangga, sementara di belakangnya sang asisten hanya bisa menatap punggung dokter muda itu, bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi antara Tuan dan Nona.
Dua Minggu lebih nona Alin disini, dan tuan Jodi baru sekarang datang.
Dalam hati, Jodi menarik napas lega. Setidaknya, pagi ini ia tak perlu berhadapan dengan kedua mertuanya, dua orang yang selalu membuatnya merasa seperti sedang menjalani wawancara hidup setiap kali berbicara.
Tak ada tatapan tajam penuh penilaian, tak ada basa-basi yang menusuk halus di balik senyum ramah.
Untuk pertama kalinya, rumah itu terasa sedikit lebih tenang baginya…
Jodi melangkah pelan menaiki anak tangga menuju kamar Alin. Setiap langkah terasa berat, seperti menapaki rasa bersalah yang terus menghantuinya. Pintu kamar itu terbuka sedikit, memperlihatkan sosok Alin yang masih tertidur di atas ranjang.
Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, menimpa wajah Alin yang tampak tenang, terlalu tenang, seolah semalam tak ada badai amarah yang ia luapkan.
Jodi terdiam lama di ambang pintu, hanya menatap. Ada rasa rindu, ada rasa lelah, ada sesuatu yang sulit dijelaskan. Perlahan ia mendekat, duduk di tepi ranjang, memandangi wajah istrinya yang tertidur dengan rambut sedikit berantakan.
Tanpa sepatah kata pun, Jodi akhirnya merebahkan diri di samping Alin. Tangannya terulur, menarik tubuh Alin ke dalam pelukannya.
Perlahan, Alin mengerjap. Cahaya pagi menembus tirai tipis, membuat matanya sedikit silau. Begitu pandangannya mulai jelas, ia terperanjat, sosok Jodi ada di sana, berbaring di sampingnya, memeluknya erat seolah tak pernah terjadi apapun diantara mereka
“Mas Jodi…” ucapnya pelan, nyaris berbisik.
Jodi hanya bergumam, mata masih terpejam. “Hmm… masih pagi, Lin. Kalau mau ngomel, nanti aja ya…” ujarnya malas, namun pelukannya justru semakin erat, seakan tak ingin melepaskannya.
Alin sempat mengerucutkan bibir, separuh kesal, separuh bingung. Tapi detik berikutnya, sudut bibirnya perlahan terangkat, membentuk senyum kecil.
Untuk sesaat, ia lupa dengan amarah semalam. Lupa dengan kecewa yang menggunung.
“Maaf… kamu pasti marah sama mas, kan?” suara Jodi terdengar pelan, nyaris tenggelam di antara helaan napasnya yang hangat di leher Alin. Ia masih memeluk istrinya erat.
“Marah?” Alin tersenyum samar, nada suaranya ringan. “Enggak, kok.”
Padahal semalam, ia mengamuk seperti orang kehilangan kendali.
“Benarkah?” Jodi mengangkat sedikit kepalanya, menatap wajah Alin dari jarak sangat dekat.
“Tentu aja. Buat apa Alin marah?” jawab Alin pelan, tapi matanya tak menatap Jodi. “Buang-buang energi. Lagi pula Alin tahu… Mas Jodi pasti sibuk, kan? Banyak pasien, banyak kerjaan. Jadi wajar kalau lupa… punya istri yang nunggu berjam-jam buat dijemput.”
Kata-kata itu terdengar lembut, tapi menusuk.
Seketika tubuh Jodi menegang.
Pelukannya melemah, rasa bersalah menjalari dadanya seperti racun yang lambat namun pasti.
Ia ingin menjelaskan. Ingin berkata bahwa yang membuatnya lupa bukan sibuknya pekerjaan, melainkan seseorang. Tapi lidahnya kelu.
Yang bisa ia lakukan hanyalah tetap memeluk, berharap Alin tak bisa mendengar detak jantungnya yang kacau..
“Mau pulang sekarang atau nanti?” tanya Jodi, suaranya pelan tapi jelas, mencoba mengalihkan arah percakapan yang mulai membuatnya kikuk.
Alin menatapnya sambil menaikkan satu alis. “Kenapa emangnya?”
“Kalau mau pulang sekarang, ayo kita siap-siap,” jawab Jodi cepat, pura-pura sibuk menatap ke arah lain.
Namun Alin malah tersenyum samar, lalu dengan santai menyandarkan kepalanya di bahu Jodi. “Nggak. Alin mau main dulu sama Mas.”
“Mau… main?” Jodi menoleh, matanya menatap lekat seolah memastikan maksud Alin.
Alin menatap balik dengan pandangan yang sulit ditebak, separuh manja, separuh menantang. “Memangnya Mas Jodi nggak kangen sama Alin? Lagipula mama sama papa nggak ada…”
Sebelum Jodi sempat membalas, Alin sudah mendekat, menyeringai tipis, lalu mengecup bibirnya sekilas, cepat tapi cukup membuat Jodi kehilangan kata-kata.
Tanpa memberi jeda, Jodi meraih tengkuk Alin dan membalas kecupannya, perlahan di awal, lembut, namun dengan dorongan perasaan yang kian dalam. Napas mereka mulai berbaur, waktu seakan berhenti di antara jarak yang nyaris tak tersisa.
Sentuhan yang semula biasa saja berubah menjadi sesuatu yang lebih menuntut. Kamar itu pun mendadak terasa lebih panas, seolah udara ikut terbakar oleh keintiman mereka berdua.
......................
“Halo, bisa kita bertemu?” suara Damar terdengar tenang namun mengandung tekanan halus saat sambungan teleponnya tersambung dengan sang kuasa hukum.
“Tentu, Pak Damar,” jawab pria di seberang cepat. “Apakah ini tentang hal yang tempo hari Bapak ceritakan?”
“Ya,” Damar menatap keluar jendela, menatap langit yang mendung. “Saya ingin membicarakannya lebih serius. Dan satu lagi, saya sudah berbicara dengan seseorang di rumah sakit. Ada hal yang mungkin bisa mempercepat rencana kita.”
Suara di seberang terdengar menurun, lebih waspada.
“Apakah maksud Bapak… rencana itu tetap akan dijalankan?”
Damar menghela napas pelan. Tatapannya kosong, namun sorot matanya menyimpan tekad.
“Sudah terlalu lama aku menunggu. Aku tidak ingin ada yang menghalangi lagi, termasuk pihak rumah sakit. Gadis itu harus keluar dari sana.”
“Pak Damar,” suara sang pengacara terdengar ragu, “izin pemindahan pasien seperti itu butuh banyak pertimbangan medis. Kalau pihak rumah sakit menolak—”
“Aku tidak minta mereka setuju,” potong Damar cepat, suaranya dingin tapi terukur. “Aku hanya ingin kau bantu urus jalannya di atas kertas. Sisanya… biar aku yang tangani.”
Terdengar keheningan sesaat di ujung telepon. Hanya napas berat sang pengacara yang terdengar.
“Baik, Pak. Tapi saya harap Bapak tahu apa yang sedang Bapak lakukan.”
Damar menatap paperbag berisi gaun di atas meja, senyum tipis melintas di wajahnya.
“Saya tahu betul dan saya sudah yakin,” potong Damar cepat. “Saya hanya ingin dia… bebas. Itu saja.”
Begitu sambungan ditutup, Damar menatap kosong ke arah paperbag berisi gaun di atas meja. Gaun itu, dengan pita kecil di bagian pinggang, seakan memanggil namanya. Ia meraihnya, menatap kain lembut itu lama sekali, senyum samar muncul di bibirnya.
“Aku tahu betul, aku bukan siapa-siapa untukmu,” bisiknya lirih, “tapi tak ada yang akan memperlakukanmu sebaik aku. Mereka menyebutmu gila, tapi aku tahu kamu hanya terjebak di tempat yang salah.”
Ia berjalan ke jendela, menatap langit.
“Besok… atau mungkin malam ini, aku akan datang menjemputmu. Kita akan pergi jauh, kamu akan melihat dunia.”
Damar membuka laci, mengeluarkan kunci mobil, topi hitam, dan selembar kartu identitas pengunjung rumah sakit yang ia dapatkan dari seseorang di dalam sana. Jemarinya gemetar saat memegangnya, bukan karena takut, tapi karena terlalu bersemangat.
“Tak ada yang bisa menghentikan aku sekarang,” gumamnya. “Kamu akan bebas, Miranda. Bebas bersamaku.”
Ia memasukkan gaun itu ke dalam tas, menepuknya pelan seperti sedang menenangkan seseorang. Senyum yang kembali muncul di bibirnya kini tak lagi lembut, ada kilatan obsesif di matanya..
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...