Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Badai yang Tak Terelakkan
Udara di ruang kerja Arlan terasa menusuk, dinginnya melebihi pendingin ruangan yang menyala. Raya menatap ponsel di tangan suaminya, hatinya mencelos. Ponselnya. Dan di layar itu, terpampang jelas tangkapan layar dari hasil pencarian yang ia lakukan beberapa hari lalu: ‘Penyalahgunaan Data Donor Sel Telur’, ‘Kasus Bayi Tertukar di Klinik Fertilitas’, dan yang paling mencolok, ‘Damar Wardana, Klinik Alana, 2017’.
"Raya," suara Arlan pecah, sarat akan amarah yang tertahan dan kekecewaan yang mendalam. Matanya yang biasanya hangat kini membara, menatap Raya seolah ia adalah orang asing yang baru ia kenal. "Apa ini? Apa maksud semua ini?"
Raya merasakan lututnya lemas. Ia ingin lari, ingin menghilang, tapi ia tahu ini adalah akhir dari pelariannya. "Arlan, aku... aku bisa jelaskan." Suaranya bergetar, bahkan di telinganya sendiri terdengar seperti bisikan yang nyaris tak terdengar.
"Jelaskan?" Arlan maju selangkah, ponsel itu masih digenggam erat. "Kau sudah menyembunyikan sesuatu dariku selama berbulan-bulan, Raya. Berbulan-bulan! Dan kau ingin menjelaskannya sekarang, setelah aku menemukan bukti busuk ini sendiri?"
"Tidak, Arlan, kumohon dengarkan aku dulu." Raya melangkah maju, tangannya terulur ingin menyentuh Arlan, tapi suaminya mundur, menjauhkan diri seolah Raya adalah api yang membakar.
"Aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti kenapa nama mantan suamimu muncul dalam pencarian tentang 'bayi tertukar'. Aku tidak mengerti kenapa kau mencari tahu tentang 'penyalahgunaan data donor'. Dan aku tidak mengerti, Raya, kenapa semua ini kau lakukan secara diam-diam, di belakangku! Ada apa denganmu? Apa yang terjadi?"
Arlan menumpahkan semua pertanyaannya seperti badai. Raya merasa dihantam ombak besar, kesulitan bernapas. Ia harus jujur, tapi bagaimana? Bagaimana cara mengatakan kebenaran yang akan menghancurkan segalanya?
"Ini tentang Langit," bisik Raya, akhirnya. Ia tidak sanggup lagi berbohong. "Ini semua tentang Langit."
Arlan mengernyitkan dahi. "Langit? Apa hubungannya Langit dengan ini semua? Dia sakit, Raya. Dia butuh kita berdua fokus pada kesembuhannya. Bukan kau malah sibuk dengan hal-hal gila begini! Apa kau tidak percaya padaku? Tidak percaya pada dokter?"
"Bukan itu, Arlan!" Raya menggeleng kuat, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Ini... ini lebih rumit dari itu. Langit... Langit bukan..."
Raya terdiam, kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Mengucapkannya terasa seperti mencabut paksa jantungnya sendiri. Ia melihat ekspresi Arlan yang berubah dari marah menjadi bingung, lalu perlahan, menjadi ngeri.
"Bukan apa, Raya?" Arlan mendesak, suaranya kini lebih pelan, tapi intensitasnya jauh lebih menakutkan. "Bukan anak kita?"
Kalimat itu, yang keluar dari bibir Arlan sendiri, seperti guntur yang menyambar di ruangan itu. Raya tidak bisa lagi menahan tangisnya. Ia menangis tersedu-sedu, air matanya membanjiri wajahnya.
"Ya Tuhan, Raya! Katakan! Katakan padaku!" Arlan mencengkeram bahu Raya, matanya mencari jawaban di kedalaman mata Raya yang penuh air mata. "Apakah Langit... bukan anak kita?"
Raya tidak bisa menjawab dengan kata-kata. Ia hanya bisa mengangguk, isakannya menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Mengangguk, sebuah gerakan kecil yang meruntuhkan seluruh dunia mereka.
Arlan melepaskan cengkeramannya, mundur dua langkah seolah baru saja disengat listrik. Wajahnya memucat pasi, bibirnya terbuka sedikit, tapi tak ada suara yang keluar. Ia menatap Raya dengan pandangan kosong, hancur.
"Tidak..." bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. "Tidak mungkin. Ini... ini bohong, kan? Kau bercanda, Raya. Kau pasti bercanda." Ia mencoba tertawa, tapi yang keluar hanyalah suara serak penuh kepedihan.
Raya menggeleng, air mata masih terus mengalir. "Aku berharap ini hanya lelucon, Arlan. Aku berharap aku bisa mengatakan ini semua bohong. Tapi ini... ini kenyataan. Aku baru tahu beberapa bulan lalu. Saat tes DNA rutin untuk Langit yang sakit parah itu keluar. Langit... Langit bukan anak biologisku."
Arlan terhuyung, tangannya memegang meja di belakangnya untuk menopang tubuhnya. "Bukan anak biologismu? Lalu, siapa? Siapa ibunya? Bagaimana bisa? Kita... kita melahirkan Langit, Raya! Aku ada di sana! Aku melihatnya! Aku..." Suaranya tercekat, ia tidak sanggup melanjutkan.
"Aku tahu, Arlan. Aku juga bingung. Aku juga hancur. Aku tidak percaya." Raya mendekat lagi, tangannya menyentuh lengan Arlan. "Makanya aku mencari tahu. Aku mencari tahu siapa dia sebenarnya, siapa ibunya. Dan aku menemukan sesuatu, Arlan. Sesuatu yang sangat mengejutkan. Yang melibatkan... Damar."
Nama itu. Nama mantan suaminya. Mengudara di antara mereka seperti racun yang mematikan. Arlan menatap Raya dengan mata menyipit, amarah yang tadi mereda kini menyala kembali, lebih pekat dari sebelumnya.
"Damar? Apa hubungannya Damar dengan ini semua?" Suara Arlan terdengar dingin, penuh bahaya. "Jangan bilang... jangan bilang ini ulahnya? Apa kau sudah gila, Raya? Apa yang sudah terjadi sebenarnya?"
Raya menceritakan semuanya. Dimulai dari kebingungannya saat hasil tes DNA pertama keluar, ketidakpercayaannya, lalu keputusannya untuk mencari tahu sendiri, sampai pada penemuan tentang riwayat Damar di klinik Alana, tentang dugaan penyalahgunaan data, tentang skema licik yang mungkin telah terjadi di balik layar. Ia menceritakan setiap detail dengan susah payah, setiap kalimat terasa seperti serpihan kaca yang melukai tenggorokannya.
Arlan mendengarkan, wajahnya tanpa ekspresi, kecuali sorot matanya yang semakin gelap. Begitu Raya selesai, keheningan mencekam menyelimuti mereka. Satu-satunya suara adalah isakan Raya yang sesekali keluar.
"Jadi..." Arlan memecah keheningan, suaranya datar, tanpa emosi. "Kau menyimpulkan... Langit adalah anak biologis Damar? Anak mantan suamimu?"
Raya tidak bisa menjawab. Air matanya kembali mengalir deras. Mengapa takdir begitu kejam? Mengapa ia harus terjebak di tengah badai yang tidak pernah ia minta ini?
"Kau menyembunyikan ini dariku. Kau menyembunyikan fakta bahwa anak yang selama ini kita besarkan, anak yang kuanggap darah dagingku sendiri, adalah anak mantan suamimu." Arlan menggelengkan kepala, tawa getir keluar dari bibirnya. "Bagaimana kau bisa melakukan ini, Raya? Bagaimana?"
"Aku tidak tahu, Arlan! Aku tidak tahu!" Raya berteriak, air mata membasahi pipinya. "Aku hanya... aku hanya ingin tahu kebenarannya. Aku tidak tahu bagaimana harus memberitahumu. Aku takut kau akan meninggalkanku. Aku takut kau akan membenci Langit. Aku takut... aku takut kehilangan kalian berdua!"
"Kehilangan kami? Kau sudah kehilangan kepercayaan dariku, Raya!" Arlan menunjuk Raya dengan jari gemetar. "Kau sudah menghancurkan semua kepercayaan yang pernah ada di antara kita! Anak yang kita cintai ternyata adalah hasil kebohongan, hasil skema licik yang entah siapa dalangnya!"
"Arlan, kumohon..." Raya mencoba meraih tangan Arlan lagi, tapi kali ini Arlan benar-benar melepaskannya dengan kasar.
"Jangan sentuh aku!" Arlan membentak. Matanya menatap Raya dengan tatapan yang membuat Raya menggigil. Tatapan itu bukan lagi tatapan cinta, melainkan tatapan pengkhianatan yang mendalam. "Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa hidup bersama orang yang menyimpan rahasia sebesar ini, rahasia yang menghancurkan hatiku, menghancurkan masa depan kita."
"Apa maksudmu, Arlan?" Raya ketakutan. Kata-kata Arlan terdengar seperti vonis.
"Maksudku..." Arlan menarik napas dalam, matanya menyapu seisi ruangan, seolah mencari kekuatan. "Maksudku, aku tidak bisa berpura-pura semua ini tidak pernah terjadi. Aku butuh kejelasan, Raya. Kebenaran yang utuh. Kau harus memberitahuku setiap detail. Dan setelah itu... kita akan memutuskan apa yang harus kita lakukan." Ia berhenti sejenak, tatapannya beralih ke foto Langit yang tersenyum di meja kerja.
"Kita akan mencari tahu siapa sebenarnya Damar Wardana ini dan apa yang dia lakukan. Dan setelah itu... kita akan memutuskan nasib Langit. Dan nasib kita." Arlan menatap Raya, tatapannya dingin dan final. "Kau tidak bisa menyembunyikannya lagi, Raya. Semuanya akan terungkap. Cepat atau lambat."
Raya merasa seluruh dunianya runtuh. Nasib Langit? Nasib mereka? Semua kata-kata itu menggema di kepalanya. Kebenaran telah keluar, tapi ia tahu ini hanyalah permulaan. Badai baru saja dimulai, dan ia tidak yakin apakah ia, atau pernikahan mereka, akan selamat dari amukan amarah Arlan. Langit... bagaimana dengan Langit?
Bel pintu tiba-tiba berbunyi, memecah ketegangan yang menyesakkan. Arlan dan Raya saling pandang. Siapa yang datang di saat seperti ini? Raya merasa firasat buruk, seolah pintu itu akan membuka gerbang ke neraka yang lebih dalam. Firasatnya tidak salah. Ketika Arlan melangkah keluar untuk membuka pintu, ia mendengar suara yang sudah lama tidak ia dengar, suara yang kini membangkitkan kengerian paling gelap dalam dirinya. Suara yang seharusnya tidak ada di sini.
"Maaf mengganggu malam-malam, Arlan. Aku datang untuk menjenguk Langit. Dan mungkin... bicara sebentar dengan Raya." Suara Damar.
Raya terpaku di tempatnya, jantungnya berdebar kencang, nyaris meledak. Damar. Dia sudah datang. Di saat terburuk yang pernah ada. Ini adalah akhir dari segalanya.