Alya, gadis kelas 12 yang hidup sederhana, terkejut saat mengetahui ayahnya terlilit hutang besar pada Arka Darendra — CEO muda paling berpengaruh di kota itu.
Saat debt collector hampir menyeret ayahnya ke polisi, Arka datang dengan satu kalimat dingin:
“Aku lunasi semuanya. Dengan satu syarat. Putrimu menjadi istriku.”
Alya menolak, menangis, berteriak—tapi ayahnya memaksa demi keselamatan mereka.
Alya akhirnya menikah secara diam-diam, tanpa pesta, tanpa cinta.
Arka menganggapnya “milik” sekaligus “pembayaran”.
Di sekolah, Alya menyembunyikan status istri CEO dari teman-temannya.
Di rumah, Arka perlahan menunjukkan sisi lain: posesif, protektif, dan… berbahaya.
Mereka tinggal seatap, tidur sekamar, dan gairah perlahan muncul—walau dibangun oleh luka.
Konflik berubah ketika masa lalu Arka muncul: mantan tunangan, dunia bisnis yang penuh ancaman, dan rahasia gelap kenapa ia sangat tertarik pada Alya sejak awal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Batas Ranjang Mulai Pudar
Demam Alya turun perlahan. Meskipun ia sudah tidak pingsan lagi, dokter menyarankan agar Alya tetap diawasi secara ketat selama 24 jam. Tentu saja, Arka mengambil instruksi itu secara harfiah.
“Kau akan tidur di ranjang ini,” perintah Arka pada Alya, malam itu. “Aku tidak mengizinkanmu tidur di kamar terpisah. Aku tidak bisa membuang waktu hanya untuk berjalan dari kamarku ke kamarmu jika demammu naik lagi. Kau harus berada di bawah pengawasanku, Alya.”
Alya tidak memprotes. Ia masih terlalu lemah, dan setelah Arka merawatnya dengan lembut di Bab 22, perlawanan terasa sia-sia. Alya tahu, ini hanyalah alasan Arka untuk mempertahankan kontrol totalnya, tetapi untuk pertama kalinya, kontrol itu terasa seperti kehangatan, bukan ancaman.
Arka membantu Alya naik ke ranjang yang sangat besar itu. Alya berada di bawah selimut tebal, sementara Arka berganti pakaian menjadi piyama sutra hitam dan mengambil tempat di sisi ranjang yang biasa ia tempati.
Ruangan itu sangat gelap, hanya diterangi oleh lampu tidur kecil di sisi Arka. Alya bisa mendengar napas Arka yang tenang dan teratur di kegelapan.
Awalnya, ada jarak yang cukup besar di antara mereka—jarak yang sengaja diciptakan Alya sebagai batasan terakhirnya. Namun, Arka tidak mentolerir jarak itu lama-lama.
Setelah Arka mematikan lampu, kegelapan mencekam. Tiba-tiba, Alya merasakan ranjang bergerak. Arka mendekat, perlahan namun pasti, sampai punggung Alya menyentuh dada Arka.
Arka memeluk Alya dari belakang. Lengan kekar Arka melingkari perut Alya, tetapi Arka tidak mengunci Alya seperti yang biasa ia lakukan saat malam-malam posesifnya. Kali ini, pelukannya lebih longgar, namun terasa sangat protektif.
“Tidurlah, Alya,” bisik Arka, suaranya dalam dan serak, tepat di belakang telinga Alya. “Aku harus memastikan suhu tubuhmu tidak naik lagi. Dengan begini, aku bisa merasakan setiap perubahan.”
Alya menegang sejenak. Pikiran rasionalnya berteriak, Kau tawanannya! Ini adalah jebakan! Tetapi tubuhnya, yang lelah dan sakit, merasakan kehangatan yang luar biasa dan keamanan mutlak. Dia tidak perlu takut pada badai atau ancaman Tanaya, karena dia berada dalam pelukan baja yang tak tertandingi.
“Tuan Arka, jangan bergerak. Saya sudah hampir tidur,” gumam Alya, menggunakan nada lemahnya untuk menghindari percakapan lebih lanjut.
Arka tidak menjawab, tetapi ia mempererat pelukannya sedikit. Alya bisa merasakan detak jantung Arka yang stabil, bau maskulinnya yang dingin bercampur dengan aroma sabun.
Seiring berjalannya waktu, Alya mulai nyaman. Ketergantungan fisik ini, yang dipaksakan oleh penyakitnya, secara berbahaya mulai memudarkan batas-batas emosionalnya. Dia tidak takut lagi pada sentuhan Arka. Dia mulai terbiasa.
Sentuhan dalam Penyamaran
Di tengah malam, Alya pura-pura tidur nyenyak. Sebenarnya, matanya terpejam, tetapi pikirannya sangat sadar. Dia merasa demamnya sedikit mereda, tetapi dia tidak bergerak, takut Arka akan melepaskannya.
Tiba-tiba, Alya merasakan Arka bergerak.
Arka melepaskan pelukannya, tetapi hanya untuk membalikkan tubuh Alya sedikit, memastikan Alya menghadapnya. Arka kemudian memiringkan kepalanya, dan Alya merasakan sesuatu yang lembut menyentuh keningnya.
Itu adalah ciuman. Ciuman di kening, yang penuh kelembutan, bukan gairah. Itu adalah ciuman seorang ayah kepada anaknya, atau ciuman seorang pelindung kepada barang berharganya.
Alya menahan napas. Arka tidak tahu Alya bangun. Dia hanya mencium Alya karena dia berpikir Alya tidak akan tahu. Keintiman yang tersembunyi ini jauh lebih menggoyahkan daripada semua ciuman posesif yang pernah Arka berikan. Ciuman ini terasa… tulus.
Arka tidak berhenti di situ. Jari-jari besarnya menyentuh pipi Alya, mengusap bekas air mata yang mungkin masih ada dari tangisan sore hari. Kemudian, Arka menunduk lagi, dan Alya merasakan ciuman lembut di pipinya. Ciuman itu bertahan sedikit lebih lama, seolah Arka sedang menikmati keindahan wajah Alya yang tertidur.
Alya, si ‘mata-mata yang patuh’, sekarang berada dalam dilema yang mengerikan. Dia harus tetap diam, memainkan peran ‘gadis sakit yang rentan’, sambil otaknya menganalisis setiap sentuhan.
Mengapa dia melakukan ini? batin Alya. Apakah ini hanya obsesi yang dilembutkan? Atau apakah dia benar-benar peduli padaku?
Alya merasakan Arka perlahan-lahan menarik selimut ke bahunya, memastikan Alya tertutup sempurna. Kemudian, Arka memeluknya lagi.
Kali ini, lengan Arka bergerak dari pinggang Alya ke bahu Alya. Arka menundukkan kepalanya, dan Alya merasakan napas hangat Arka di lehernya. Lalu, bibirnya menyentuh bahu Alya yang terbuka. Ciuman itu lembut, namun mematikan. Ciuman itu terasa seperti klaim, bukan posesif, tetapi lebih kepada kelegaan karena Alya baik-baik saja.
Arka berbisik di kegelapan. Alya nyaris tidak mendengarnya.
“Aku tidak bisa kehilanganmu, Alya. Jangan tinggalkan aku.”
Kata-kata itu bukan ancaman. Itu adalah permohonan. Permohonan dari seorang pria berkuasa yang takut akan trauma kehilangan masa lalunya.
Alya merasakan air mata mengalir dari sudut matanya, air mata kebingungan. Kelembutan Arka di tengah malam ini jauh lebih berbahaya daripada semua kemarahannya. Kemarahan bisa dilawan, tetapi kelembutan dapat menghancurkan benteng hati.
Alya membiarkan sentuhan Arka mengalir di kulitnya. Dia membiarkan dirinya menikmati kehangatan itu. Dia membiarkan dirinya percaya bahwa dia aman, setidaknya untuk malam itu. Batas ranjang yang ia pertahankan selama ini, batas fisik dan emosional, kini mulai pudar, meleleh di bawah perhatian lembut dan rahasia Arka.
Saat matahari mulai terbit, Alya bangun dengan Arka masih memeluknya erat. Dia memindahkan tangannya sedikit, dan tangan Arka refleks mengencang.
Alya menoleh dan menatap wajah Arka yang tertidur pulas. Wajah Arka, tanpa ketegangan dan kedinginan yang biasa, terlihat sangat muda dan rentan.
Dia menyadari, dia tidak hanya membenci Arka lagi. Dia takut pada perasaan barunya. Perasaan nyaman, aman, dan… keinginan untuk membalas pelukan itu.
Dia telah membiarkan Arka memenangkan babak ini. Dan sekarang, dia harus menghadapi konsekuensinya: dia mulai jatuh cinta pada sangkarnya.
Arka terbangun, matanya yang tajam segera menatap Alya.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Arka, suaranya serak karena tidur.
“Lebih baik, Tuan Arka. Terima kasih,” jawab Alya, mencoba menstabilkan suaranya.
Arka tersenyum kecil, senyum yang santai. Dia kemudian menatap Alya dengan tatapan yang menyiratkan: Aku tahu kau sudah sadar, Alya. Aku tahu kau merasakan sentuhanku.
“Lain kali, jangan sakit, Alya. Karena aku tidak yakin apakah aku bisa menahan diriku lebih lama lagi,” bisik Arka, sebelum melepaskan Alya dan bangkit untuk bersiap-siap.
Batas ranjang telah pudar. Babak baru, di mana ketegangan fisik dan emosional menjadi senjata, baru saja dimulai.