Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jatuh sakit
Setiap hari ia jalan kaki ke kampus—pulang pergi 10 kilometer. Kakinya penuh lecet. Sepatu bolongnya semakin robek. Telapak kakinya berdarah-darah tapi ia biarkan—tidak ada uang untuk beli obat.
Makan hanya sekali sehari—dan itupun makanan gratis dari warung Mbok Jumi. Di luar itu, ia hanya minum air putih. Kadang kalau sangat lapar, ia beli nasi bungkus Rp 3.000 tanpa lauk, dimakan dengan kecap manis gratis dari warung pinggir jalan.
Tubuhnya semakin kurus. Tulang rusuknya mulai terlihat jelas. Pipinya semakin cekung. Matanya cekung dengan lingkaran hitam pekat. Kulitnya kusam. Rambutnya mulai rontok karena kekurangan nutrisi.
Beberapa kali ia hampir pingsan di kampus. Saat kuliah, pandangannya sering berkunang-kunang. Kepalanya pusing berputar-putar. Telinganya berdenging. Tapi ia gigit bibir, bertahan sampai kuliah selesai.
Dosen-dosen mulai memperhatikan perubahannya.
"Fajar, kamu tidak apa-apa?" tanya Bu Ratna, dosen Manajemen Keuangan, suatu hari setelah kuliah.
"Baik, Bu," jawab Fajar sambil memaksakan senyum.
"Kamu kelihatan sangat kurus. Dan pucat. Kamu sakit?"
"Tidak, Bu. Mungkin kurang tidur aja."
Bu Ratna menatapnya tidak yakin. "Kalau ada masalah, kamu bisa cerita ke saya. Mengerti?"
"Terima kasih, Bu."
Tapi Fajar tidak menceritakan apapun. Ia tidak mau orang lain tahu perjuangannya. Ia tidak mau dikasihani.
Satu bulan berlalu.
Fajar berhasil mengumpulkan Rp 400.000—Rp 100.000 per minggu dari sisa gaji setelah kirim Rp 75.000 ke rumah.
Tapi harga yang harus ia bayar sangat mahal.
Tubuhnya semakin lemah. Sering pusing hingga harus berpegangan pada dinding agar tidak jatuh. Saat kerja di warung, tangannya gemetar saat mengangkat ember berisi air—padahal dulu ia dengan mudah mengangkatnya.
Mbok Jumi sangat khawatir.
"Nak, kamu kenapa?" tanyanya suatu malam saat melihat Fajar hampir terjatuh saat membawa piring. "Kamu sakit? Wajahmu pucat banget. Badanmu kurus banget."
"Tidak apa-apa, Bu. Hanya agak capek."
"Ini bukan 'agak capek', Nak. Ini udah parah. Kamu tuh kayak orang yang nggak makan berhari-hari."
Fajar tidak menjawab.
Mbok Jumi menatapnya dengan tatapan tajam—tatapan seorang ibu yang tahu anaknya berbohong.
"Kamu lagi apa sih, Nak? Kenapa kamu nyiksa diri sendiri begini?"
Fajar akhirnya menceritakan semuanya. Tentang rencana bisnis laundry. Tentang target modal. Tentang bagaimana ia hidup super hemat untuk mengumpulkan uang.
Mbok Jumi mendengarkan dengan mata berkaca-kaca.
Setelah Fajar selesai bercerita, Mbok Jumi diam lama. Kemudian ia berkata dengan suara bergetar:
"Nak... Ibu bangga sama kamu. Sangat bangga. Tapi Ibu juga sedih. Sedih melihat kamu menyiksa diri sendiri begini. Kamu masih muda, Nak. Tubuhmu butuh makanan. Kalau kamu sakit, mimpimu nggak akan kemana-mana."
"Saya tahu, Bu. Tapi ini satu-satunya cara."
"Tidak," kata Mbok Jumi tegas. Ia berdiri, masuk ke dalam, kemudian keluar membawa amplop. "Ini. Ini uang tabungan Ibu. Lima ratus ribu. Anggap aja pinjaman. Kamu bisa bayar setelah usahamu jalan."
Fajar menggeleng keras. "Tidak bisa, Bu. Saya tidak bisa terima. Itu uang Ibu—"
"Terima," potong Mbok Jumi sambil menyodorkan amplop itu dengan paksa ke tangan Fajar. "Kalau kamu nggak terima, Ibu akan marah. Ibu akan kesal. Dan Ibu nggak akan kasih kamu makan lagi."
Fajar menatap amplop itu dengan air mata mengalir. Tangannya gemetar menerima amplop itu.
"Terima kasih, Bu," isaknya. "Terima kasih banyak. Saya janji akan kembalikan. Saya janji."
"Ibu percaya. Dan sekarang, kamu harus janji sama Ibu: mulai besok, kamu makan yang bener. Kamu nggak boleh kelaparan lagi. Mengerti?"
Fajar mengangguk sambil menangis.
Malam itu, ia pulang dengan hati bercampur aduk. Senang karena modalnya bertambah. Tapi juga sedih karena merasa berhutang budi pada banyak orang.
Di kos, ia menghitung tabungannya:
Tabungan sendiri: Rp 400.000
Pinjaman dari Mbok Jumi: Rp 500.000
Total: Rp 900.000
Masih kurang satu juta enam ratus ribu. Tiga bulan lagi. Aku harus bisa.
Ia menatap cermin kecil di kamarnya. Wajahnya sangat kurus. Mata cekung. Kulit kusam. Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri.
Tapi aku nggak boleh menyerah. Ini baru awal. Masih panjang jalannya.
Malam itu, sebelum tidur, ia menulis di buku hariannya:
Hari ini Mbok Jumi kasih pinjaman Rp 500.000. Aku nggak akan sia-siakan kepercayaan beliau. Aku janji akan kembalikan. Aku janji akan sukses. Tidak peduli seberapa sakit. Tidak peduli seberapa berat. Aku akan terus melangkah.
Untuk Ibu. Untuk Ayah. Untuk Rani. Untuk semua orang yang percaya padaku.
Aku tidak akan menyerah.
BERSAMBUNG...
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.