Anton selalu pulang dengan senyum hangat, perhatian yang tak berubah, dan alasan pekerjaan yang terdengar sangat wajar. Terlalu wajar, hingga Nayla tak pernah merasa perlu meragukannya.
Namun ketika satu demi satu kejanggalan kecil muncul, Nayla mulai dihadapkan pada kenyataan pahit. Pengkhianatan tak selalu datang dari sikap yang dingin, melainkan dari kehangatan yang dijaga dengan terlalu rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caracaramel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Pagi itu terasa sedikit berbeda, meski rutinitas tetap sama. Anton bangun lebih lambat dari biasanya. Nayla sudah lebih dulu berada di dapur, menyiapkan sarapan sambil sesekali melirik jam dinding.
Bu Sari sedang memotong buah. “Mas Anton belum bangun, Mbak?”
“Belum, Bu,” jawab Nayla. “Capek mungkin karena pulang kemalaman.”
Beberapa menit kemudian, langkah kaki terdengar di lantai atas, disusul suara pintu kamar terbuka. Anton muncul dengan rambut masih acak.
“Pagi,” katanya sambil menguap lebar.
“Pagi, Pa,” sahut Dea dari meja makan.
Nayla tersenyum, sedikit lebih tipis daripada biasanya. Lalu, menuang kopi ke cangkir Anton. “Kamu kelihatan benar-benar kurang tidur.”
Anton duduk. “Maaf ya kalau bikin kamu khawatir kemarin.”
Nayla menelan sedikit rasa yang muncul di dadanya, lalu menjawab tenang, “Nggak apa-apa. Aku cuma kaget saja. Kamu nggak biasanya begitu.”
Anton menatapnya sebentar, seolah ingin membaca sesuatu di balik raut wajah Nayla. Tapi kemudian ia mengalihkannya pada roti dan selai. Suasana meja makan tetap hangat, tapi ada jeda-jeda kecil yang tidak pernah muncul sebelumnya.
Dea berdiri dan mengambil tasnya. “Pa, ayo berangkat. Aku mau mampir ke koperasi dulu.”
“Oke.” Anton menenggak sisa kopinya dan bangkit.
Seperti biasa, Nayla mengantar mereka sampai pintu. Namun kali ini, ketika Anton mengunci mobil, dia menatap Nayla sedikit lebih lama dari biasanya.
“Kamu yakin nggak apa-apa?”
Nayla memaksakan senyum. “Iya. Pergi aja, nanti Dea terlambat.”
Anton mendekat, mencium kening Nayla. “Aku telepon siang nanti.”
“Ya,” jawab Nayla.
Mobil itu akhirnya melaju keluar gerbang.
****
Siangnya, Nayla sedang duduk sendiri di ruang tengah ketika ponselnya bergetar. Muncul satu pesan dengan nama Anton di layarnya. Nayla segera membuka pesan itu.
Anton:
Meeting mulai. Nanti aku telepon ya.
Nayla mengetik: Oke.
Tapi kemudian menghapusnya.
Mengetik lagi: Jangan lupa makan siang.
Ia menghapus lagi. Entah kenapa jari-jarinya gemetar.
Akhirnya ia hanya membalas:
Baik.
Bu Sari masuk pelan dari halaman belakang. “Mbak Nayla, ini cucian sudah selesai. Mau saya setrika dulu?”
Nayla mengangguk. “Iya, Bu Sari. Terima kasih.”
Tapi, Bu Sari tidak langsung pergi. Wanita setengah baya itu menatap Nayla beberapa detik.
“Mbak Nayla,” katanya akhirnya, “kalau ada apa-apa, Mbak Nayla bilang saja ke saya, ya. Saya sudah lama di rumah ini. Saya tahu biasanya Mbak Nayla nggak pernah terlalu banyak diam seperti ini.”
Nayla terdiam. “Banyak diam gimana, Bu?” tanya Nayla dengan senyum tipis dipaksakan.
“Mbak Nayla banyak diam kayak orang yang pikirannya banyak, tapi berusaha kelihatan baik-baik saja.”
Nayla tertawa kecil. Tertawa yang tidak sepenuhnya keluar. “Saya baik-baik aja, Bu. Mungkin saya cuma kecapekan.”
Bu Sari mengangguk, meski sorot matanya menunjukkan bahwa dia tidak sepenuhnya percaya. Dia beranjak pergi ke kamar setrika untuk menyetrika jemuran yang sudah kering siang itu. Sementara itu, Nayla menarik napas panjang, lalu memeluk bantal kecil yang ada di sofa.
Sejak kapan dia menjadi seseorang yang harus meyakinkan orang lain bahwa semuanya baik-baik saja? Nayla bingung sendiri. Entah kenapa dia merasa Anton menjadi orang lain. Itu semua membuatnya tidak nyaman.
---
Sore itu, Anton menelpon seperti janjinya. Kali ini dia tidak membuat Nayla khawatir lagi. Namun, perasaan Nayla belum benar-benar pulih.
“Sayang,” suara Anton terdengar biasa saja, “kamu mau aku pulang cepat hari ini?”
Nayla tertegun. Pertanyaan itu seharusnya membuatnya lega. Tapi entah kenapa justru membuatnya ingin menangis.
“Kalau kamu capek, pulang saja kapan kamu bisa,” jawab Nayla, menjaga suaranya tetap netral.
“Hari ini nggak ada lembur,” kata Anton. “Aku pulang habis magrib ya.”
“Baik.”
“Sayang?” panggil Anton. “Kamu lagi gak enak badan? Kamu kedengaran beda dari tadi pagi.”
Nayla memejamkan mata. “Aku baik-baik saja.”
Hening sejenak. Lalu Anton berkata, “Oke. Nanti aku pulang.”
Telepon ditutup. Nayla menatap ponsel itu lama. Senyum Anton di pagi hari masih terasa di ingatannya. Terasa hangat dan lembut. Namun untuk pertama kalinya, senyum itu terasa datang sedikit terlambat menjangkau hatinya.
****
Setelah telepon ditutup, Nayla merebahkan diri di sofa ruang keluarga. Jendela di sampingnya terbuka sedikit, membiarkan angin sore masuk. Tirai bergerak perlahan, menyingkap cahaya matahari yang mulai turun.
Ia memejamkan mata, mencoba menata napas. Tapi, justru di balik kelopak matanya muncul potongan-potongan kecil yang mengganggu.
Anton yang pulang larut tanpa kabar.
Anton yang lupa mengisi baterai ponsel, hal yang nyaris tak pernah terjadi. Anton yang kemarin datang ke toko emas dengan perempuan yang disebutnya “teman”.
Teman? Teman yang siapa? Dari mana? Kenapa tidak pernah diceritakan?
Telinga Nayla panas memikirkan itu.
Dia menepis pikirannya. Nayla sadar, dia tidak boleh berprasangka dan gegabah dalam memikirkan sesuatu. Nayla bukan tipe istri yang langsung menuduh tanpa sebab.
Lamunan Nayla dipecahkan oleh suara ponselnya yang berbunyi. Nama Dea tercantum di sana. Satu pesan masuk dari anak semata wayangnya.
Dea:
Ma, pulang agak telat ya. Vina ngajak kerjain tugas di perpus.
Nayla membalas cepat:
Oke, hati-hati.
Dia kembali duduk. Tangannya menyentuh kotak kalung yang masih dia simpan di laci meja tamu. Nayla membuka kotaknya pelan. Cahaya dari permata kecil itu memantul, begitu indah.
Nayla menyentuhnya dengan ujung jarinya. Entahlah, seharusnya dia senang.
Hadiah itu cantik. Anton sering memberinya hadiah. Tapi, kali ini tidak ada perasaan senang sedikitpun. Sesuatu membuat dadanya terasa sesak setiap melihat kalung itu.
“Mbak Nayla,” suara Bu Sari terdengar dari arah dapur. “Saya buatkan teh hangat dulu ya.”
Nayla mengangguk lemah. “Iya, Bu.”
Ia meraih bantal sofa dan memeluknya. Sunyi rumah itu terasa terlalu lebar, terlalu banyak ruang bagi pikirannya berkelana.
Sambil menunggu teh, Nayla berdiri dan berjalan ke teras. Burung gereja bertengger di kabel listrik, berkicau ringan. Anak-anak kompleks bersepeda sambil tertawa. Suara itu membuat Nayla tiba-tiba merasa terasing dari dunia yang biasanya ia pahami dengan jelas.
“Aku kenapa, sih? Kenapa jadi gini?” gumamnya. “Kenapa rasanya semua jadi aneh.”
Ketika teh hangat sudah tersaji, Nayla menyeruputnya perlahan. Kehangatannya membantu sedikit, tapi tidak cukup.
Ia menatap langit yang mulai jingga. Anton biasanya pulang tepat waktu kalau bilang “habis magrib.” Dia ingat itu. Anton bukan tipe yang menunda tanpa alasan. Dan hampir seperti jawaban, ponselnya berbunyi lagi.
Anton:
Sayang, aku jalan pulang. Mau dibawain sesuatu?
Nayla mengetik pelan.
Nayla:
Nggak. Hati-hati ya.
Anton membalas cepat.
Anton:
Oke sayangku❤️
Jawabannya memang singkat, tapi tetap ada emoticon hati di ujung kalimat. Tidak ada yang berubah dari cara Anton mengirimkan pesan, namun Nayla merasa pesan itu tidak ada rasa seperti kemarin. Nayla berpikir, mungkin dia seperti ini karena foto yang dikirim oleh Rani.