“Perut itu harusnya di isi dengan janin, bukan dengan kotoran mampet!”
Ara tak pernah menyangka, keputusannya menikah dengan Harry—lelaki yang dulu ia percaya akan menjadi pelindungnya—justru menyeretnya ke dalam lingkaran rasa sakit yang tak berkesudahan.
Wanita yang sehari-harinya berpakaian lusuh itu, selalu dihina habis-habisan. Dibilang tak berguna. Disebut tak layak jadi istri. Dicemooh karena belum juga hamil. Diremehkan karena penampilannya, direndahkan di depan banyak orang, seolah keberadaannya hanyalah beban. Padahal, Ara telah mengorbankan banyak hal, termasuk karier dan mimpinya, demi rumah tangga yang tak pernah benar-benar berpihak padanya.
Setelah berkali-kali menelan luka dalam diam, di tambah lagi ia terjebak dengan hutang piutang—Ara mulai sadar: mungkin, diam bukan lagi pilihan. Ini tentang harga dirinya yang terlalu lama diinjak.
Ara akhirnya memutuskan untuk bangkit. Mampukah ia membuktikan bahwa dia yang dulu dianggap hina, bisa jadi yang paling bersinar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Ara semakin bersinar di tempat kerjanya. Dalam waktu singkat, namanya mulai dikenal di berbagai divisi, bukan karena gaya bicara atau penampilan mencolok, tapi karena performa kerja dan kecermatannya dalam menyusun data. Ia cepat belajar, teliti, dan tau kapan harus berbicara atau diam. Elan sendiri, yang terkenal perfeksionis, tak jarang menunjukkan ekspresi kagum yang jarang ia berikan pada siapapun.
Siang itu, sebelum rapat mingguan dimulai, Ara menghampiri meja Elan dengan beberapa lembar berkas di tangannya. Ia mengetuk pelan permukaan meja, lalu membisikkan sebuah ide tentang ekspansi proyek properti di kawasan berkembang. Ia telah menganalisis data demografi dan pola pengeluaran masyarakat di area tersebut.
“Menurut saya, lokasi ini punya potensi besar untuk dijadikan area komersial dan perumahan kelas menengah,” kata Ara tenang.
Elan memandang data yang disodorkan Ara, lalu mengangguk perlahan. “Bagus. Kita bahas nanti di rapat. Siapkan detail estimasi biayanya juga.”
Ara mengangguk, kemudian kembali ke mejanya. Namun, saat ia menyapu pandangan ke sekeliling ruangan, sebuah pertanyaan muncul dalam benaknya.
‘Davin ke mana ya?’ batin Ara.
Pria itu tak tampak sejak pagi, padahal biasanya ia selalu hadir sebelum siapapun. Namun, sebelum Ara menerka-nerka lebih jauh, kehadiran dua sosok wanita yang tampak berkelas—mencuri perhatiannya.
Satunya, gadis cantik berambut panjang—semua yang melekat di tubuhnya, jelas barang-barang mewah nan mahal. Sementara yang satunya, wanita paruh baya elegan—yang masih terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda.
“Elan ada di dalam?” Tanya si gadis dengan dagu mendongak. Bola matanya menatap Ara sinis.
...****************...
Dalam sebuah ruangan luas dengan interior elegan dan lampu gantung kristal yang redup, seseorang duduk membelakangi meja besar dari kayu mahoni. Saat kursi itu perlahan berputar, tampak sosok Davin mengenakan setelan jas gelap, duduk tenang dan berwibawa. Matanya tajam menatap tamunya, seorang wanita muda yang duduk gugup di kursi seberang.
Wanita itu adalah Wulan, janda muda itu datang untuk memenuhi panggilan interview dengan posisi sebagai cleaning service di D' Group. Ia mengenakan kemeja putih polos dan rok hitam panjang. Jemarinya gemetar saat menatap map CV yang terbuka di meja.
“Kamu masih ingat saya, Wulan?” tanya Davin datar.
“Tentu masih, Pak Davin. Sebelumnya, terimakasih banyak atas bantuan yang sudah Bapak berikan kepada saya tempo lalu. Semoga hari-hari Bapak selalu menyenangkan, hidup Bapak selalu lancar, nggak pernah ketemu lampu merah di jalanan, kalau belanja dapat banyak diskonan, bisa jalan-jalan keluar negeri, nggak pernah kekurangan rezeki, sehat selalu— ”
“Hahaha,” Davin lekas menutup bibirnya dengan telapak tangan.
Wulan yang biasanya selalu tengil, kini menunduk—menjaga pandangan.
Davin kembali memasang tampang coolnya, menyentuh berkas di atas meja dengan ujung jarinya, lalu berkata, “Melamar sebagai cleaning service, ya?”
Wulan mengangguk kecil. “Iya, Pak. Saya melamar untuk posisi cleaning servis. Sebagaimana iklan lowongan pekerjaan yang saya temukan di halaman sosial media.”
Davin memutar CV itu dengan satu tangan, lalu meletakkannya perlahan.
“Saya punya tawaran yang lebih baik,” ucapnya. “Tapi, kamu harus siap dengan satu syarat.”
Mata Wulan membulat. “Syarat apa, Pak?”
Davin tak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum samar, lalu menatap Wulan dengan sorot yang membuat siapa pun merasa ditelanjangi oleh intuisi tajamnya.
Davin mulai menjelaskan, Wulan mendengarkan dengan saksama sambil sesekali mengangguk, menggeleng, bahkan melotot.
“Kalau kamu setuju, saya akan memberikan kamu kontrak untuk ditandatangani,” kata Davin. “Bagaimana?”
Wulan terdiam sesaat, memikirkan sejenak. Namun, beberapa detik kemudian—bibirnya melengkung, mencetak senyuman. “Saya bersedia, Pak Davin.”
...****************...
Sementara itu, nasib Harry justru berbanding terbalik dengan Ara. Setelah video mesumnya dengan Puspa tersebar luas di media sosial, reputasinya hancur total. Perusahaan-perusahaan besar menolak lamarannya, bahkan beberapa tempat menertawakannya secara langsung.
Akhirnya, satu-satunya pekerjaan yang ia dapatkan hanyalah sebagai buruh angkut di sebuah Toserba di pinggiran kota. Hari-harinya kini dipenuhi keringat dan aroma gudang, bukan lagi jas rapi ataupun rapat direksi.
Hari itu, di bawah lampu neon yang menyilaukan, Harry mengangkat karung beras lima puluh kilogram ke bahunya. Keringatnya menetes deras, membasahi kaos lusuh dan celana kerjanya yang longgar. Nafasnya berat, dadanya naik turun. Punggungnya sangat pegal, tapi ia tak punya pilihan lain.
“Brengsek! Kerjaan bikin hampir mampus begini—cuma digaji dengan nominal nggak seberapa. Parah!” keluhannya. “Andai aku masih punya kesempatan untuk kerja kantoran lagi, ogah aku kerja begini! Bukannya kaya, patah pinggang yang ada!”
Malamnya, tubuh Harry lunglai saat ia sampai di rumah kontrakan kecil yang kini ia tempati bersama Puspa—selingkuhan yang akhirnya ia nikahi secara siri dua minggu sebelum resmi bercerai dengan Ara.
Kedatangan Puspa bersama sang ayah disaat Harry mendapatkan surat cinta dari pengadilan agama bukan tanpa maksud. Harry ditekan oleh ayahnya Puspa—untuk bertanggungjawab.
Awalnya Harry menolak, karena menurutnya—Puspa tak lagi perawan saat bersenggama dengannya. Terlebih lagi, Puspa keciduk mesum di toilet kantor. Namun, ayah Puspa tentu tidak peduli. Apalagi, Harry merupakan sosok yang viral bersama sang putri.
“Sial, kerja pakai tenaga gini bikin perut jadi cepat laper,” cicit Harry.
Perutnya keroncongan hebat, dan langkahnya limbung menuju dapur. Ia ingin lekas makan dan cepat-cepat tidur. Namun, harapan kecilnya untuk melihat makanan hangat di bawah tudung saji lenyap begitu tudung itu dibuka—tudung itu kosong, bahkan sekedar sisa aroma makanan pun tak juga ada.
Harry mengepalkan jemarinya, darahnya mendidih. Pria itu menuju ke kamar. Mencari istri siri nya.
“Puspa!” serunya, nada suaranya keras— amarah pria itu meledak.
Harry langsung mendorong pintu sekuat hati dan menemukan Puspa duduk santai di depan cermin, sedang memoles kuku dengan kuteks merah terang.
“Aku kerja dari pagi sampai malam, kamu enak-enakan di sini sambil kutekan?! Kamu punya otak nggak?!” Harry menggeram.
*
*
*
pinisirinnnnnn🤭🤭🤭