Di malam ulang tahun suaminya yang ke tiga puluh lima, Zhea datang ke kantor Zavier untuk memberikan kejutan.
Kue di tangan. Senyum di bibir. Cinta memenuhi dadanya.
Tapi saat pintu ruangan itu terbuka perlahan, semua runtuh dalam sekejap mata.
Suaminya ... lelaki yang ia percaya dan ia cintai selama ini, sedang meniduri sekretarisnya sendiri di atas meja kerja.
Kue itu jatuh. Hati Zhea porak-poranda.
Malam itu, Zhea tak hanya kehilangan suami. Tapi kehilangan separuh dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
"Kamu jahat, Mas." Zhea membatin sambil menaruh kue yang dibawanya ke lantai. Dengan menahan sakit yang amat sangat menyesakkan dan menahan jijik yang membuat perutnya bergejolak ... Zhea merogoh ponselnya. Mengarahkan kamera dengan tangan gemetar. "Kalian berdua pasti akan menyesal." Setelah cukup merekam bukti, Zhea memasukkan kembali ponselnya ke tas selempang miliknya. Dia berjongkok, mengambil kotak kue dan berbalik pergi meninggalkan tempat itu.
Di sepanjang lorong kantor yang sepi itu, Zhea berusaha menahan isak tangisnya. Ia tidak boleh lemah. Ia tidak mau mengeluarkan air mata. Namun di dalam lift, tangis Zhea akhirnya pecah. Tubuhnya merosot ke lantai.
Suara tangisnya membahana di ruang kecil itu.
Bibirnya bergetar, kepalan tangannya memukul-mukul dadanya yang sesak. "Brengsek kau Zavier! Setan! Menjijikan!" Umpatan itu menjadi pengiring tangisan yang menyakitkan.
Lelaki yang ia percaya sepenuh hati dan ia cintai setulus jiwa ... nyatanya tega mengkhianati kepercayaannya dan juga menduakan cintanya.
Dengan mata kepalanya sendiri ... Zhea melihat sang suami menunggangi perempuan lain.
"Sakiit! Sakiit ..." Zhea masih memukul-mukul dadanya. "Zavier ... Elara ... tunggulah pembalasan dariku," pungkasnya sambil menyeka air mata, bangkit dari lantai lift dan keluar dari lift itu seolah tidak terjadi apa-apa.
Kotak kue yang ia bawa tadinya akan Zhea buang, tapi tidak jadi ia lakukan. "Biarlah ini jadi kue ulang tahun terakhirmu ... dariku, Zavier Dinata," desisnya sebelum masuk ke dalam mobil.
Meski hatinya hancur lebur, namun Zhea tetap menjaga konsentrasi dan kewarasannnya. Ada Zheza yang sangat membutuhkan kehadirannya.
"Kuat, Zhea. Kamu harus kuat demi Zheza. Jangan menjadi wanita yang lemah." Zhea menarik napas panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan. Ia pun mulai melajukan mobilnya, meninggalkan area parkiran kantor Zavier.
Di lantai empat, tepatnya di ruangan Zavier. Lelaki itu dan sang sekretaris tak menyadari jika Zhea sudah memergoki mereka.
Keduanya masih sibuk memacu tubuh. Malah kini, Elara yang mengambil kendali. Bergerak liar di atas tubuh Zavier yang duduk bersandar di kursi kebesarannya.
Dua tubuh itu sudah benar-benar tanpa penghalang. Suara peraduan kulit menciptakan melodi yang menjijikan.
"Oohh ... Ela ... kamu selalu membuatku terlena," desah Zavier sambil mencengkeram pinggang ramping wanita berambut panjang bergelombang berwarna cokelat itu.
Elara memajukan wajahnya tepat ke depan wajah Zavier yang memerah, sambil tak berhenti menggoyangkan tubuhnya. "Bapak juga selalu membuatku terkapar tak berdaya," desisnya seraya meraup bibir Zavier.
Keduanya bertukar saliva. Liar dan ganas. Seolah dunia hanya milik mereka berdua.
______
Zhea tiba di depan rumah pukul dua puluh satu lebih tiga puluh menit. Ia mematikan mesin mobil, tapi tangannya tetap di setir. Lampu teras menyala temaram. Rumah itu biasanya terasa hangat, aman, dan penuh cinta. Tapi malam ini … rumah itu terasa seperti jagal sunyi yang siap memakan jiwanya.
Zhea tidak langsung turun. Tangannya gemetar, napasnya tersengal. Rasa itu belum hilang, gambar Zavier dan sekretarisnya … masih berputar di kepala, seperti film yang dipaksa replay tanpa henti.
Suara-suara menjijikan itu terngiang-ngiang di telinganya. Menciptakan harmoni yang menyakitkan.
Lagi, air matanya turun pelan. Bukan terisak keras. Namun pecah pelan-pelan, kuat.
Bagaimana mungkin ia bisa kembali ke rumah ini dan berpura-pura baik-baik saja? Sementara diri dan hatinya sudah hancur berkeping-keping.
Tapi ia harus melakukannya demi rencana besar yang sudah tersusun rapi di otaknya. Dan di dalam rumah ini, masih ada Zheza.
Bayinya.
Jiwanya.
Permata hatinya.
Harta paling berharga dalam hidupnya.
Zhea mengusap air mata, mencoba menyusun napas. Dia harus kembali sadar. Kalau dia masuk dengan mata merah parah, Bi Acih bisa curiga. Lalu nanti kalau Zavier sudah pulang, lelaki itu pasti curiga juga.
Zhea harus memainkan perannya dengan rapi dan apik.
Zhea harus jadi istri normal untuk sementara demi keberhasilan rencananya. Demi kado terakhir dan terindah yang akan ia persembahkan untuk suaminya.
Dia mengamati rumah itu sekali lagi, lalu menatap pantulan dirinya di kaca mobil.
Wajahnya pucat. Bibirnya pucat.
Ia mengusapnya pelan, merapikan rambut, menepuk area mata agar tidak terlalu terlihat habis menangis. "Bersikaplah normal, Zhea," bisiknya memperingatkan diri sendiri. Lalu, ia membuka pintu mobil.
Turun. Dan ia mencoba berjalan seperti biasa.
Bi Acih menyambutnya di ruang keluarga. "Syukurlah Ibu sudah pulang ..." Suaranya lembut, alami.
Zhea mengangguk, melempar senyum kevil. "Iya, Bi. Bapak nggak ada di kantor. Pas saya telepon, ternyata dia lagi meeting di luar," dusta Zhea.
Bi Acih mengangguk. "Pantesan kuenya dibawa lagi."
"Bi, nanti kalau Bapak pulang ... jangan beri tahu dia kalau tadi saya pergi ke kantornya," pinta Zhea.
"Siap, Bu." Anggukan Bi Acih nampak mantap.
"Makasih. Oh ya, Zheza udah tidur?" Di tengah hancurnya hati, Zhea harus tetap tersenyum demi sang buah hati.
"Iya Bu. Non Zheza sudah tidur dari setelah isya. Tadi habis minum ASI yang Ibu simpan di kulkas," jelas pembantu berusia empat puluh tahun itu.
"Baik. Terima kasih ya, Bi." Zhea memaksa tersenyum lagi. "Saya mau ke atas dulu, dan Bibi ... silakan istirahat."
"Iya, Bu." Bi Acih berbalik, dan Zhea pun berjalan ke kamarnya yang ada di lantai dua.
Sampai di depan kamarnya, pelan-pelan ia membuka pintu bercat putih itu. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah lampu kamar yang nampak menyala lembut. Ada aroma minyak telon, aroma lembut yang biasanya membuat hati Zhea hangat.
Zhea berjalan pelan ke arah boks, melihat bayinya yang tidur sangat tenang. Napas kecil itu. Dada kecil itu naik turun pelan.
Zhea duduk di samping boks. Dan perlahan, air matanya turun lagi.
Tanpa suara.
Ia meraih sweater kecil milik Zheza yang tersampir di pinggiran boks, memeluknya dan meremasnya ke dada.
Seolah memeluk seluruh hidupnya sendiri. "Sayang ..." bisiknya lirih. "Papamu mengkhianati Mama ..."
Itu bukan kalimat benci. Itu kalimat patah hati.
"Mama melihat sendiri, Nak. Dia menggauli perempuan itu. Dia atas meja kerjanya. Di depan foto kita bertiga." Pundak Zhea goyah sedikit, tapi ia cepat menahan suara. Ia tidak mau Bi Acih mendengarnya. Ia juga tidak mau Zheza terbangun.
Zhea menatap bayinya lama sekali.
Dan di saat itu, ia semakin yakin untuk bertindak. Mengumpulkan bukti sebanyak mungkin.
Dia harus membuat Zavier dan selingkuhannya malu dan tidak bisa mengelak barang sedikit pun.
Zhea sudah hancur, dan dia juga ingin Zavier dan Elara hancur lebur melebihi dirinya.
Dia mengusap pipi bayinya. "Mama akan pastikan, Nak … Papamu akan membayar semuanya. Tidak hari ini. Tidak dengan teriak-teriak. Tapi dengan cara yang paling tenang … dan paling mematikan."
Zhea sudah memutuskan.
Dia akan diam dulu sekarang. Dia akan pura-pura baik seperti biasanya. Seolah tidak tahu apa-apa.
Tapi mulai malam ini, Zhea akan mulai mengumpulkan bukti lebih banyak.
Bukti nyata.
Bukti yang sangat kuat.
Bukti yang bisa menghancurkan Zavier tepat di depan keluarga besarnya.
Seringai tipis muncul di bibirnya yang menawan. "Aku akan bermain cantik, Zavier."
memang cocok mereka berdua sama-sama iblis
gimana yah reaksi zavier kalau lihat El lagi kuda" sama laki laki lain
seperti istrimu yg melihat mu pasti booom like nuklir