"Setelah aku pulang dari dinas di luar kota, kita akan langsung bercerai."
Aryan mengucapkan kata-kata itu dengan nada datar cenderung tegas. Ia meraih kopernya. Berjalan dengan langkah mantap keluar dari rumah.
"Baik, Mas," angguk Anjani dengan suara serak.
Kali ini, dia tak akan menahan langkah Aryan lagi. Kali ini, Anjani memutuskan untuk berhenti bertahan.
Jika kebahagiaan suaminya terletak pada saudari tirinya, maka Anjani akan menyerah. Demi kebahagiaan dua orang itu, dan juga demi kebahagiaan dirinya sendiri, Anjani memutuskan untuk meninggalkan segalanya.
Ya, walaupun dia tahu bahwa konsekuensi yang akan dia hadapi sangatlah berat. Terutama, dari sang Ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana jual saham
"Jadi, ini alamatnya?"
Petra tersenyum sinis saat berhasil menemukan alamat yang diberikan oleh Sandra. Rumah sederhana itu tampak begitu sepi. Namun, samar-samar, Petra dapat mendengar jika didalam sana, ada dua orang wanita yang sedang mengobrol.
Dengan hati-hati, Petra mengendap-endap mendekati rumah tanpa pengawalan ketat itu. Jendela bagian samping adalah incarannya. Dia mencongkel jendela tersebut dengan hati-hati supaya tak menimbulkan suara.
Setelah terbuka, Petra pun melompat masuk kemudian mengeluarkan pisau yang dia bawa. Rencananya, dia akan langsung menggorok leher Mariana, begitu dia menemukan perempuan itu.
Namun, sesuatu diluar dugaan tiba-tiba terjadi. Saat Petra berhasil masuk, lampu tiba-tiba padam. Suara orang yang tadi mengobrol di ruang tengah pun seketika lenyap.
Yang tersisa kini hanya kegelapan dan kesunyian yang mendadak terasa mencekam.
Shut!
Satu sabetan pisau tiba-tiba datang dari arah depan. Petra yang tidak siap dengan serangan apapun tak punya kesempatan untuk menghindar.
Perutnya langsung mengeluarkan darah segar. Kemudian, satu serangan datang lagi namun kali ini dia berhasil menghindar.
Buru-buru, dia memasang kacamata inframerah yang sudah ia persiapkan sejak awal untuk jaga-jaga jika dia terpaksa harus melakukan aksinya dalam keadaan gelap. Tak ia sangka, jika kacamata itu justru akan ia gunakan untuk melawan pasukan pembunuh yang ternyata juga balas mengincarnya.
"Siapa kalian?" tanya Petra kepada salah satu orang yang berhasil ia tangkis serangannya.
"Orang yang dikirim untuk melenyapkan nyawamu," jawab perempuan itu dengan suara rendah dan berat.
Petra tak bisa melihat dengan jelas seperti apa rupa musuhnya. Yang dia tahu, jika dirinya saat ini benar-benar masuk ke dalam jebakan.
Bisa jadi, suara perempuan yang tadi bercakap-cakap adalah suara perempuan yang sekarang sedang menyerang dirinya.
Sialnya, perempuan itu tak sendiri. Dia bersama tiga orang rekannya yang lain.
"Sial!" umpat Petra saat satu tusukan pisau menancap di dadanya.
Sekuat tenaga, dia menahan tusukan pisau itu agar tak masuk terlalu dalam. Karena, jika hal itu sampai terjadi, Petra bisa langsung mati karena pisau itu mengenai tepat pada jantungnya.
Bugh!
Petra berhasil memukul orang yang dia duga sebagai seorang pria itu dengan sebuah kursi kayu yang diambil dari samping kirinya. Orang itu pun reflek melangkah mundur dan mencabut pisaunya.
Sementara, Petra langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk segera kabur.
"Cari sampai dapat!" ujar salah satu orang itu.
Semuanya keluar dari rumah. Mengejar Petra, demi menangkap pria itu.
"Apa Sandra berani menjebakku?" gumam Petra yang bersembunyi dibalik semak-semak.
Napasnya terdengar putus-putus. Darah terus mengucur dari lukanya. Keringat dingin pun perlahan membanjiri seluruh tubuhnya.
"Awas saja kamu, Sandra! Kalau ini benar-benar ulahmu, maka aku akan kembali untuk membunuhmu!" geramnya penuh amarah.
****
Ting tong! Ting tong!
Suara bel yang terus berbunyi membuat Anjani hampir menangis karena merasa terganggu. Padahal, dia masih ngantuk sekali. Tapi, tamu yang datang itu sepertinya tidak mengerti tentang adab bertamu. Dia pun terpaksa bangun sambil melihat jam digital pada ponselnya.
"Baru jam empat pagi," ringis Anjani. "Siapa sih, yang bertamu di jam segini?"
Tak berselang lama, ponsel di genggamannya tiba-tiba berdering. Mata yang semula sangat berat terbuka langsung melotot lebar.
"Pak Enzo?" sapanya saat panggilan itu ia angkat.
"Cepat buka pintu!" titah Enzo.
"I-iya," angguk Anjani yang buru-buru turun dari tempat tidur.
Ternyata, yang sedari tadi berada di luar adalah sang atasan.
"Silakan masuk, Pak Enzo!" ujar Anjani mempersilakan.
Enzo mengangguk. Dia pun segera masuk dan langsung duduk di sofa.
"Ada apa Pak Enzo datang bertamu sepagi ini?" tanya Anjani dengan senyum yang dipaksakan.
Rambutnya masih mekar seperti rambut singa. Dia bahkan belum sempat untuk mencuci muka sebelum menyambut tamunya.
"Dugaan kita benar," ucap Enzo dengan ekspresi serius.
"Maksudnya?" tanya Anjani dengan ekspresi yang juga perlahan berubah serius.
Dia tahu, kemana arah pembicaraan Enzo.
"Seseorang benar-benar mengirim pembunuh bayaran untuk melenyapkan Ibumu."
Degh!
Tubuh Anjani sontak menegang. Tangannya tanpa sadar terkepal dengan sangat erat.
"Siapa pelakunya?" tanya Anjani.
"Pelakunya adalah orang yang kamu curigai. Sandra."
Bibir Anjani sontak menyunggingkan senyuman sinis. "Si pelakor ternyata sudah tak tahan untuk terus menjadi bayangan. Dan, sekarang dia semakin bertambah berani."
"Sekarang, apa rencanamu?"
"Tentu saja balas dendam. Biarkan, orang suruhannya berbalik mencelakakan dirinya sendiri."
Mendengar rencana Anjani, Enzo ikut menyeringai senang. Otak licik Anjani ternyata jalan juga. Dia pikir, perempuan itu benar-benar gadis lemah yang hanya bisa dijadikan boneka.
Rupanya, dia keliru.
"Pak Enzo, apa Anda mengenal Tuan Tristan Suaka?"
"Tentu saja kenal," angguk Enzo. Dia menyandarkan punggungnya di sandaran sofa sambil menunggu hal gila apa lagi yang akan dikatakan oleh Anjani.
"Apa Pak Enzo bisa mengatur pertemuan antara saya dan beliau?"
Kening Enzo sontak mengerut. "Untuk apa?" tanyanya.
"Saya... Ingin menjual saham saya kepada Tuan Tristan Suaka."
lanjut lagi Thor 🙏🙏🙏