Level Up Milenial mengisahkan Arka, seorang guru muda berusia 25 tahun yang ditugaskan mengajar di SMA Harapan Nusantara, sekolah dengan reputasi terburuk di kota, dijuluki SMA Gila karena kelakuan para muridnya yang konyol dan tak terduga. Dengan hanya satu kelas terakhir yang tersisa, 3A, dan rencana penutupan sekolah dalam waktu setahun, Arka menghadapi tantangan besar.
Namun, di balik kekacauan, Arka menemukan potensi tersembunyi para muridnya. Ia menciptakan program kreatif bernama Level Up Milenial, yang memberi murid kebebasan untuk berkembang sesuai minat mereka. Dari kekonyolan lahir kreativitas, dari kegilaan tumbuh harapan.
Sebuah kisah lucu, hangat, dan inspiratif tentang dunia pendidikan, generasi muda, dan bagaimana seorang guru bisa mengubah masa depan dengan pendekatan yang tak biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Rifa'i, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelajaran Cerita Masa Lalu
Setelah Reza berdiri dan kembali ke bangku nya. Pak Arkan memanggil Jaka. Cowok tinggi besar itu masuk dengan senyum lebar, namun ada sedikit raut gugup di wajahnya.
"Silakan duduk, Jaka. Hari ini bukan ulangan, kok. Bapak cuma pengen tahu... siapa Jaka di balik badan tegap dan kelakuan lucu itu."
Jaka tertawa kecil. "Aduh, Pak. Saya grogi nih kalo disuruh curhat. Tapi yaudah, saya coba."
Ia duduk, menghela napas, dan mulai bercerita.
"Pak, waktu saya kecil, saya punya impian jadi tentara. Saya suka liat Ayah pakai seragam. Tegas, gagah, dan selalu bela kebenaran. Ayah itu panutan saya, Pak. Tapi waktu saya umur 9 tahun, Ayah gugur di medan pertempuran. Kami cuma dikasih kabar dan bendera yang dilipat rapi. Sejak itu... hidup saya berubah."
Pak Arkan tertegun. Ia tak menyangka sosok Jaka yang selalu membuat suasana kelas jadi ramai itu menyimpan luka sedalam itu.
"Saya pernah marah sama dunia, Pak. Kenapa Ayah saya? Kenapa saya harus kehilangan dia? Tapi Ibu selalu bilang, kalau saya ingin Ayah bangga, saya harus kuat dan nggak boleh nyerah. Makanya, saya latihan fisik dari dulu. Tapi ya... kadang latihan saya malah jadi bahan ketawa temen-temen."
Pak Arkan tersenyum, mengingat video Reza saat Jaka latihan push-up sambil pakai galon di punggung dan dihitungin oleh Reza dengan gaya seperti pelatih militer.
"Tapi saya tahu itu tanda sayang mereka, Pak. Meskipun mereka ketawa, mereka nggak pernah ninggalin saya. Justru mereka yang semangatin saya terus buat daftar tentara nanti."
"Kamu anak yang kuat, Jaka. Ayahmu pasti bangga lihat kamu sekarang."
Jaka menunduk, mengusap matanya yang mulai basah. "Saya cuma pengen bisa jaga orang-orang yang saya sayang. Teman-teman saya, Ibu, dan... ya, bahkan guru-guru kayak Bapak."
Pak Arkan bangkit, lalu memeluk Jaka sebentar. "Kamu luar biasa, Nak. Terima kasih sudah berbagi."
Jaka tersenyum lebar. "Siap, Pak. Tapi jangan cerita ke yang lain ya... nanti saya diketawain."
"Tenang. Rahasia kita."
Setelah Jaka berdiri dan kembali ke bangkunya, Pak Arkan duduk sendiri di bangku depan itu. Dalam hatinya, ia merasa bersyukur bisa menjadi bagian dari kehidupan para siswa luar biasa itu. Ternyata, di balik kelucuan mereka, ada jiwa-jiwa tangguh yang terus berjuang.
Dan ia pun semakin yakin, sekolah ini tidak boleh tutup. Karena di sinilah, masa depan luar biasa itu sedang tumbuh.
ternyata tanpa disadari teman-teman yang menguping, langsung menyambutnya dengan tepuk tangan dan sorakan. Reza bahkan langsung merekam Jaka dengan gaya dramatis seperti film dokumenter.
"Ini dia, sang pejuang! Calon prajurit masa depan!" teriak Reza dengan gaya reporter.
Semua tertawa.
Momen konyol dan haru berpadu sempurna di ruangan itu, menguatkan rasa kekeluargaan mereka. Dan Pak Arkan, yang duduk di balik meja, merasa bangga bisa menjadi bagian dari perjalanan luar biasa anak-anak ini.
...----------------...
Kini giliran Deri duduk di depan Pak Arkan. Ia mengusap pelipisnya sebentar, lalu mulai bercerita dengan gaya khasnya yang penuh percaya diri.
"waduh.. gawat ! kalo Deri yang maju ekonomi dunia pasti dalam kekacauan !" teriak Reza.
"TURUNKAN HARGA SEBLAK !!!" teriak Diana.
"mending turunin kuntilanak aja yang ngak turun-turun dari batang." celetuk Lia pelan.
Semua menahan tawa.
Deri mulai menarik nafas dan menceritakan masa lalunya. "Saya lahir dari keluarga sederhana, Pak. Waktu saya bayi, ibu saya sempat sakit keras. Jadi saya dirawat sama bibi saya sampai umur empat tahun. Bibi saya itu galak tapi sayang banget sama saya. Katanya, saya dulu suka ngunyah kertas koran, padahal itu koran ekonomi. Mungkin dari situ awalnya," katanya sambil terkekeh.
Pak Arkan tertawa. "Ngunyah kertas koran ekonomi? Wah, dari kecil sudah mau makan data saham ya?"
"Iya, Pak! Ayah saya buruh bangunan, tapi dia aneh banget. Suka banget baca berita ekonomi dunia. Kadang waktu lagi makan, dia suka pura-pura jadi pembisnis. Dia ngobrol sendiri, pura-pura lagi rapat saham di TV. Saya kecil nontonin dia sambil mikir: 'Lucu juga kalau aku jadi pengusaha beneran.'"
"Waktu SD, saya jualan permen. SMP jualan stiker, kadang-kadang juga jadi 'makelar' buat teman-teman yang mau tukeran barang. Saya sering dimarahin guru karena bawa kalkulator ke sekolah, katanya kayak pegawai pajak. Tapi saya nggak kapok. Dunia bisnis itu... kayak game seru buat saya."
Pak Arkan mengangguk dengan kagum. "Jadi kamu belajar dari rumah, dari hal kecil. Tapi kamu bawa sampai sekarang."
"Iya, Pak. Kata ayah saya, walau hidup susah, pikiran harus kaya dulu. Baru rezeki bisa ngikutin. Dan saya pegang itu sampai sekarang."
Pak Arkan tersenyum, menepuk bahu Deri. "Semoga kamu jadi pebisnis yang bukan hanya hebat, tapi juga bijak. Aku percaya kamu bisa."
"Amin, Pak. Saya juga percaya suatu hari nanti, saya bisa bikin lapangan kerja buat banyak orang."
...----------------...
Mata Diana terlihat sedikit gugup, namun tetap mengandung semangat yang membara. Pak Arkan menyambutnya dengan senyum ramah, lalu mulai bertanya,
"Ceritakan sedikit tentang masa lalu mu, Diana. Siapa tahu bisa jadi inspirasi."
Diana menarik napas panjang, lalu mulai bercerita.
"Sejak kecil, aku suka menggambar, Pak. Bahkan waktu TK, aku pernah corat-coret tembok rumah sampai dimarahin habis-habisan sama Ibu. Tapi anehnya, setelah dimarahin, aku malah disuruh ngecat ulang dindingnya. Jadi ya, aku bikin mural sekalian. Tapi tetap aja dibilang aneh sama orang rumah..."
Pak Arkan tertawa kecil. "Lalu, bagaimana reaksi orang tuamu saat tahu kamu ingin jadi desainer grafis?"
Wajah Diana sedikit berubah. Matanya menunduk, suaranya pelan.
"Mereka nggak pernah benar-benar dukung, Pak. Mereka pengennya aku jadi PNS kayak Ayah, atau bidan kayak Ibu. Katanya, kerjaan desain grafis itu nggak jelas, nggak ada masa depan... Aku sempat berhenti menggambar selama setahun waktu SMP."
Pak Arkan menyimak dengan serius.
"Tapi suatu hari, aku ikut lomba desain poster anti-narkoba tingkat sekolah. Diam-diam. Aku pinjam laptop temen, belajar Photoshop semalaman. Dan... aku menang. Juara 1. Hadiahnya cuma sertifikat sama voucher buku, tapi rasanya kayak menang dunia."
Diana mulai tersenyum mengingat kenangan itu.
"Waktu itu aku pulang bawa piala kecil. Ibu masih bilang 'kamu nggak capek bikin gambar terus?' tapi Ayah diem aja, cuma lihat dari jauh. Tapi sejak saat itu, aku balik gambar lagi. Aku bikin akun Instagram, mulai terima pesanan desain logo dari warung, toko baju, bahkan pernah bikin desain undangan sunatan. Konyolnya, aku pernah salah tulis nama anaknya jadi 'Arman' padahal harusnya 'Ariyan'. Tuh undangan udah dicetak 300 lembar."
Pak Arkan tertawa geli. "Dan itu kamu ganti semua?"
"Nggak, Pak. Aku nyamar jadi kurir, ambil lagi semua undangan yang salah dari rumah ke rumah. Dengan janji akan kasih gantinya. Sumpah, itu pengalaman paling memalukan, tapi juga bikin aku makin hati-hati dan profesional."
Pak Arkan mengangguk penuh rasa bangga.
"Diana, kamu tahu nggak? Apa yang kamu jalani sekarang bukan cuma soal cita-cita, tapi tentang keberanian membuktikan bahwa mimpimu itu nyata. Aku yakin suatu hari, kamu bakal jadi desainer grafis hebat yang dikenal banyak orang."
Diana menunduk, senyum kecilnya mengembang. Di balik mata beningnya, ada tekad yang tidak main-main. Ia tahu jalannya tidak mudah, tapi ia juga tahu: setiap guratan pena dan klik mouse-nya adalah langkah kecil menuju mimpi besarnya.
Di luar ruang guru, teman-temannya sudah menunggu dengan ekspresi penasaran. Begitu Diana keluar, Reza langsung menyodorkan kamera sambil bercanda,
"Gimana? Cerita masa lalu atau audisi jadi model iklan laptop?"
Diana menjawab dengan senyum lebar, "Keduanya. Tapi kayaknya habis ini aku harus desain poster acara bukit minggu depan. Pakai template baru, pastinya."
Tawa mereka pecah. Di balik tawa itu, ada keyakinan: mereka bukan lagi sekadar siswa SMA gila-gilaan. Mereka adalah calon-calon hebat yang sedang dalam proses.