NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 16 - Malam Yang Tak Kusangka

Aku dengan mata yang masih setengah rapat mencoba menjelikan pandangan untuk menatap jam dinding. Sudah jam dua malam—tepat sejam usai percakapan kami di dapur, mendadak suara ketukan yang lebih cocok sebagai gedoran di pintu itu berhasil membangunkanku.

Tidak pelak lagi, pelakunya adalah Darius. Kali ini apa lagi? Apa dia tidak bisa membiarkanku untuk beristirahat malam ini? Huh, menyebalkan!

“Soraya!”

“Kumohon buka pintunya!”

“Tolong aku!”

Lihatlah, dia benar-benar memaksaku untuk turun dari ranjang. Aku yang tak punya pilihan apapun—lebih-lebih lagi memang takut ada sesuatu yang terjadi padanya, akhirnya dengan langkah gontai sembari mengucek mata, aku menghampirinya.

Membuka pintu, langsung mendapati Darius yang setengah terduduk. Dia seperti menahan sakit? Atau...

“Eh, kamu kenapa, Mas?” Aku memegangi kedua tangannya untuk membantunya berdiri.

Aku pikir dia terkena demam tiba-tiba—wajahnya memerah, peluh meluncur bebas di wajah dan lehernya. Dugaan itu tidak bertahan sampai ketika dia sudah berdiri, terlalu dekat, aku bahkan sampai mendongak.

Karena dalam seperkian detik yang tak kusangka itu, tiba-tiba saja Darius meraih tubuhku—merengkuh pinggang dan mendorongku masuk ke dalam. Dia berjalan sambil memelukku dan aku yang tak punya tenaga yang bisa melampauinya terpaksa berjalan mundur—sampai terkilir karena dia terlalu kuat mendorong.

“Mas?!”

“Kamu ini kenapa? Apa yang terjadi sama kamu?”

Pertanyaan itu tak dihiraukan, seakan telinganya sudah tertutup oleh sesuatu. Dia hanya sibuk menjamah, ya dia ... menjamahku dengan tangannya yang liar.

Lantas setelahnya, mulutku yang siap untuk mengeluarkan pemberontakan langsung ia bungkam—menggunakan ciuman ... yang kasar, terburu-buru.

Itu menyakitkan.

Aku melotot. Kedua tanganku sudah dikerahkan untuk memberi tonjokan bertubi-tubi, tetapi itu belum cukup. Justru Darius semakin menjadi-jadi, napasnya menderu—aku bisa merasakan detak jantungnya yang berdentum-dentum, dia seperti kesulitan mengontrol diri.

Tubuhku didorong paksa, terbanting ke atas kasur. Kulihat Darius berdiri sambil membuka pakaiannya secara paksa—sehingga saat ini dia tengah bertelanjang dada.

“Hentikan, Mas!”

Aku hendak buru-buru merubah posisi, duduk atau bahkan melesat kabur jika memungkinkan. Tetapi kesempatan pada celah itu tak berhasil aku ambil, Darius kembali mendorongku, bahkan saat ini satu kakinya sudah naik ke atas ranjang .

Jelas ... ini bukan Darius yang kukenal. Matanya merah, liar. Napasnya berat, seperti menahan amarah atau sesuatu yang lebih mengerikan lagi. Keringat membasahi pelipisnya, dan pergerakannya tak stabil—namun pasti, mengarah padaku.

“Mas?” Aku memanggil dengan suara tercekat, tapi dia tak menjawab. Yang kuterima hanya tatapan yang membuatku membeku.

Seakan tak ingin bertelanjang dada sendirian, kedua tangan Darius yang cekatan segera berlabuh pada piyama yang aku kenakan. Dia memaksa membuka satu per satu kancing, spontan aku menyilangkan dada.

Tapi usahaku selalu berujung sia-sia, Darius tetap melangsungkan niatnya. Mengunci kedua tanganku dengan satu genggaman tangannya. Kurasakan tubuhnya yang panas. Napasnya memburu. Dan tangannya—tangannya gemetar di atas kulitku.

“Mas, aku mohon jangan lakukan ini...” suaraku nyaris tak terdengar, tertahan di antara isak dan takut yang tiba-tiba mencengkeramku.

Kini kedua tangannya sudah ada pada masing-masing tanganku. Mengunci sejajar dengan telinga. Dia tidak membiarkanku bergerak, matanya memindai sesuatu yang menonjol—tetapi masih tertahan oleh dalam yang belum dia tanggalkan.

Matanya merah. Nafasnya semakin berat. Tapi saat aku memberi dorongan pelan, dan air mataku jatuh mengenai tangannya—dia berhenti.

Sekejap Darius memandangku yang tergugu dalam tangis, merasa ketakutan dengan perubahan sikapnya ini. Dan di saat Darius yang mematung itu, aku menutupi dada yang sempat terekspos—kututupi oleh tanganku sebisanya.

“Kenapa, Mas? Kenapa kamu melakukan ini?” Tangisku pecah, napasku mulai tersendat-sendat, wajahku meleleh oleh bulir bening yang bercucuran.

Semua keinginan yang menguasai tubuhnya menguap dalam hitungan detik. Matanya membelalak kecil, seolah baru sadar telah berdiri di tepi jurang yang menganga.

“Soraya, astaga...” Darius segera mundur, nyaris terhuyung saat menjauhiku. Tangannya terkepal, menekan pelipisnya sendiri seperti ingin menghukum dirinya.

“Apa yang kulakukan...” gumamnya parau. Matanya bergerilya bingung, seperti mencari jawaban.

Aku merubah posisiku dengan benar, duduk di tepi ranjang. Menata bajuku yang berantakan, sementara Darius yang masih syok itu sedang bersandar pada dinding—tubuhnya nyaris merosot. Beberapa kali memukul kepalanya sendiri, seperti berusaha untuk tetap sadar.

Melihatnya yang seperti itu aku bertanya-tanya dalam hati. Apa Darius di bawah pengaruh obat?

Dalam kebingungan ini, aku hanya bisa menangis. Tubuhku gemetar hebat, bukan karena dingin, tapi karena syok. Padahal sejak awal dia yang menekankan bahwa aku tak boleh hamil, tetapi barusan dia hampir kehilangan kendali untuk melakukannya.

“Aku berani bersumpah...”

Pandanganku kembali jatuh padanya, menatap dalam-dalam. Menunggu perkataannya yang masih menggantung.

Matanya yang memerah itu menatapku lekat. “Aku tidak bermaksud melakukan demikian, Soraya. Percayalah, ini di luar kendaliku. Aku tidak tahu apa yang membuatku seperti ini, badanku panas sekali dan jantungku berdebar-debar tak karuan. Dorongan untuk tidak melakukannya sulit aku tahan.”

Aku mencoba mengabaikan, segera aku mengambil selimut. Berbaring membelakanginya sambil sesekali menyusut air mata.

“Keluar, Mas!” Aku berteriak dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki. “Aku tidak mau melihatmu. Biarkan aku sendiri!”

Helaan napas terdengar. Tapi tidak ada iringan suara langkah kaki setelahnya, itu tandanya Darius masih bergeming di sana.

“Satu jam yang lalu, tepatnya setelah aku meminum sebuah jamu atau mungkin entah minuman apa yang terpajang di kulkas, aku mati-matian menahan perasaan yang membangkitkan hasrat. Sampai tibalah aku bisa ada di sini, sungguh aku minta maaf Soraya,” tambahnya lagi.

Sesaat tangisku mulai mereda. Atensiku diambil alih oleh perkataannya tadi, yang mengatakan bahwa Darius baru saja meminum sesuatu. Rasa-rasanya aku ingat sesuatu.

“Jamu?” tanyaku pelan yang tak mungkin bisa didengar olehnya.

“Setelah ini mungkin kamu akan sangat membenciku. Aku bisa menerima jika itu terjadi. Sekali lagi maafkan aku, Soraya.”

Tepat usai perkataan itu terlontar, barulah suara langkah kaki terdengar. Perlahan semakin menjauh, sempat terhenti sesaat—yang kuperkirakan dia sedang di ambang pintu.

“Selamat malam. Selamat beristirahat dan kita tunda keputusan kita untuk pergi ke kota besok pagi,” ujarnya yang disusul oleh suara pintu tertutup.

Meski pada awalnya aku sangat membenci dan menyayangkan hal ini terjadi, tetapi ketika mendengar Darius bisa seperti ini karena sempat meminum jamu sebelumnya—tidak bisa kupingkiri perasaan dongkol itu sedikit memudar, sekarang aku justru menyalahkan diri sendiri.

Andai saja aku langsung membuang jamu itu—jamu pemberian Ibu, yang diam-diam tetap ia masukkan ke dalam koperku. Barangkali hal seperti ini tak akan terjadi. Aku menyimpannya karena berpikir itu bukan jamu untuk memberi rangsangan, sungguh aku tidak berpikir ke sana.

Dan malam ini, tidak ada yang bisa aku peluk selain selimut dan perasaan yang menyesakkan dalam dada—aku teringat Arjuna, seolah aku baru saja menghianatinya. Aku kembali menangis, lagi-lagi menyesal.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!