Embun tak pernah menyangka bahwa kejutan makan malam romantis yang dipersembahkan oleh sang suami di malam pertama pernikahan, akan menjadi kejutan paling menyakitkan sepanjang hidupnya.
Di restoran mewah nan romantis itu, Aby mengutarakan keinginannya untuk bercerai sekaligus mengenalkan kekasih lamanya.
"Aku terpaksa menerima permintaan ayah menggantikan Kak Galang menikahi kamu demi menjaga nama baik keluarga." -Aby
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 : Kamu Akan Luluh Dengan Dia
Pembicaraan antara Aby dan Vania benar-benar mengoyak hati Embun. Aby yang seharusnya menjadi tempat bersandar bagi Embun malah memilih menjadi tumpuan bagi wanita lain. Terlebih, ia berjanji kepada kekasihnya akan menceraikan dirinya hanya dalam enam bulan.
Embun merasa dadanya sesak bagai dihimpit bongkahan batu besar. Udara dalam ruangan luas itu seolah tak cukup baginya untuk bernapas. Tak tahan rasanya, Embun memilih keluar. Meninggalkan hidangan spesial yang telah dipesan khusus oleh Aby untuknya, tanpa menikmati sesuap pun.
Wanita itu memilih berjalan-jalan di taman sekitar restoran. Kemudian duduk di sebuah kursi kayu dengan pandangan mengarah pada keramaian jalan. Sesekali, Embun menyeka air mata yang sialnya terus mengalir tanpa dapat dihentikan.
Belum kering luka hatinya atas kepergian sang ayah dan Galang yang menghilang secara tiba-tiba, kini Aby dengan mudahnya menggoreskan luka yang baru.
Sakit tak berdarah dirasakan Embun.
"Embun?" Sapaan yang terdengar familiar itu membuat Embun terlonjak. Buru-buru ia menyeka air mata agar seseorang yang baru saja menyapa dirinya tak melihat cairan bening yang meleleh.
"Kak Dewa?" Ia menatap lelaki yang sedang berdiri tak jauh darinya. Kemudian menundukkan kepala demi menyamarkan kesedihan di wajahnya.
Dewa Irawan, seorang pria berusia 28 tahun yang merupakan tetangga sebelah rumahnya. Keduanya sudah dekat sejak kecil layaknya adik dan kakak.
"Kamu ngapain di sini sendirian, Embun?" tanyanya heran dengan tatapan berkeliling ke sekitar taman. Mencari seseorang yang mungkin datang bersama wanita itu. "Bukannya tadi siang resepsi pernikahan kamu?"
"Aku ... cuma mau duduk di sini sambil cari udara segar, Kak." Embun tersenyum, tetapi tak dapat menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Tentu saja jawaban aneh yang ia berikan membuat kening Dewa berkerut.
"Terus kamu ke sini sama siapa? Suami kamu di mana?"
"Dia ...." Ucapan Embun menggantung di udara. Pipinya yang semula sudah mengering kembali basah oleh air mata. Rasa sakit itu menjalar semakin dalam, dan hanya dalam hitungan detik sudah terdengar isak tangis.
Melihat itu, Dewa segera duduk di sisinya. Walaupun sedikit menjaga jarak, mengingat wanita di sebelahnya sudah menjadi istri orang.
"Kamu kenapa, Dek? Kok nangis?" tanyanya, seketika terlihat bingung.
Embun tak kuasa menjawab. Hingga beberapa menit tangisan itu mulai mereda, namun menyisakan suara sesegukan. Dewa yang duduk di sisinya tak dapat berbuat apa-apa selain menemani duduk. Mengusap kepala seperti yang kerap ia lakukan untuk menghibur pun, tak dapat ia lakukan sekarang.
"Kamu kenapa sih? Kok sedih begini?" Dewa mengulang pertanyaan.
Embun menyeka sisa air mata. Menarik napas dalam-dalam demi menetralkan perasaan.
"Nggak apa-apa, Kak. Cuma lagi sedih ingat ayah."
"Oh ... ya sudah, tapi jangan berlarut-larut. Kamu juga harus ingat orang-orang di sekitar kamu. Apa lagi kamu baru menikah tadi pagi."
Tak ingin Dewa mengetahui aib dalam rumah tangganya, Embun hanya menganggukkan kepala. Jika Dewa tahu, ia bisa saja memberitahu ibunya. Sementara Embun tak ingin sang ibu terbebani dengan masalah ini, apa lagi kepergian ayahnya yang sangat mendadak masih menyisakan luka.
"Sudah ya, jangan nangis lagi." Ia menyodorkan sapu tangan miliknya, yang kemudian digunakan Embun untuk menyeka air mata.
"Makasih, Kak."
.
.
.
Sementara itu di dalam restoran ....
"Jadi kamu akan sekamar sama dia?" Pertanyaan bernada menuntut itu membuat Aby menghela napas panjang. Ia menatap kekasihnya dalam.
"Terpaksa begitu, Van. Aku dan Embun tidak mungkin tidur di kamar terpisah, apa kata ayah sama bunda nanti."
Bibir wanita itu berkerucut. Raut tak suka tergambar jelas di wajahnya. "Kalau kamu sama dia sekamar, lama-lama kamu juga akan luluh sama dia. Kamu itu laki-laki normal, Aby. Laki-laki mana yang bisa tahan dengan godaan perempuan."
"Van ... aku janji nggak akan seranjang dengan Embun. Aku akan tidur di sofa."
"Buls*hit!" Vania membuang muka dengan marah.
Aby menarik napas dalam. Sedikit frustrasi menghadapi kekasihnya itu. Ia yang sudah satu tahun berpacaran dengan Vania sudah hafal betul dengan sifat kekasihnya itu. Terkadang dirinya pun menjadi sasaran kemarahan Vania.
"Aku janji sama kamu, Van." Aby masih berusaha meyakinkan keraguan Vania.
"Janji aja nggak cukup. Aku perlu bukti. Aku nggak mau sampai dengar kabar kalau Embun hamil nantinya."
Semakin frustrasi saja Aby mendengar tudingan kekasihnya itu. Padahal belum satu malam Aby dan Embun menikah.
"Okey. Aku akan buktikan antara aku dan Embun tidak akan terjadi apa-apa."
Keduanya terdiam beberapa saat. Aby melirik arah jarum jam di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjuk di angka 21:30. Laki-laki itu sedikit terkejut.
"Kita pulang sekarang ya, sudah malam."
Vania mengangguk pasrah. Menyematkan tali tas di bahu dan berdiri dari duduknya. Aby pun beranjak ke meja sebelah, namun sudah tak terlihat Embun di sana. Hidangan di meja juga masih utuh.
"Embun ke mana?" Pandangan Aby menyapu sekeliling restoran, namun tak juga terlihat sosok istrinya.
"Mungkin ke toilet."
"Ya sudah, kita tunggu dulu."
Keduanya pun duduk kembali menunggu. Namun, hingga beberapa menit Embun tak kunjung kembali. Aby meminta Vania untuk melihat ke toilet.
Meskipun tampak enggan, Vania tetap menuruti kekasihnya itu. Tetapi, saat tiba di toilet, Embun juga tak terlihat.
"Istri kamu nggak ada di toilet. Mungkin sudah pulang duluan?" sangka Vania.
"Nggak mungkin, Van. Kan tadi aku minta dia tunggu."
"Coba kamu telepon."
Aby menepuk jidat. "Aku belum sempat tukaran nomor sama Embun."
Vania mendengkus kesal. "Istri kamu itu ngerepotin juga, ya."
"Van, tolong jangan bilang begitu. Embun juga nggak salah dalam hal ini." Ia menjeda ucapannya dengan Hela napas. "Aku mau cari Embun di taman depan. Kamu mau ikut?"
Vania mengangguk setuju. Keduanya pun meninggalkan restoran setelah Aby melakukan pembayaran di kasir. Kemudian mencari keberadaan Embun di sekitar taman restoran.
"Bukannya itu Embun, ya? Dia sama siapa di sana?" Vania menunjuk ke arah kursi taman di mana terlihat seorang wanita duduk dengan posisi membelakang.
Melihat dari rambut dan warna pakaian, Aby pun meyakini jika wanita itu memang istrinya. "Iya, itu Embun."
Terlihat kerutan tipis di dahi Aby. Pertanyaan hinggap di benaknya tentang siapa yang sedang duduk bersama istrinya dalam posisi yang terbilang cukup dekat.
Dengan segera keduanya menghampiri Embun. Seolah ingin menunjukkan bahwa Aby adalah miliknya, Vania melingkarkan tangan di lengan kekasihnya itu.
"Embun!" panggil Aby, membuat Embun dan Dewa menoleh ke sumber suara.
Namun, apa yang ditemukan Aby membuatnya lebih terkejut. Ternyata Embun sedang duduk bersama seorang pria yang cukup di kenalnya. Dewa adalah rekan sekantor Aby. Bahkan mereka satu divisi.
Dewa pun terlihat cukup terkejut melihat Aby datang bersama seorang wanita yang menggandeng lengannya mesra. Menyadari tatapan curiga Dewa, Aby langsung melepas genggaman Vania di lengannya.
Membuat Vania menatap kesal.
****
Hai teman-teman mohon dukungan dengan like dan komen yaaa.
Btw Ini dia teman kita yang ada di 5 pemberi komentar pertama dan masing-masing akan mendapatkan pulsa 25k.
Mia Pratiwi
Neng Lusi
Umi Hanik
Shakayla Lashira Rahman
Nang Amira ♥️
Kepada pemilik nama di atas, boleh gabung ke Grup Chat kolom langit yang ada di aplikasi. Atau DM di IG kolom langit juga boleh.
Yang belum beruntung, Insyaa Allah akan beruntung di give Away selanjutnya.
Terima kasih 🥰🥰
benar knp hrs nunggu 6 bln klo hrs cerai lebih baik skrng sama saja mlh buang2 wkt dan energi, bersyukur Embun ga oon🤭