Di antara pertemuan yang tidak disengaja dan percakapan yang tampak sepele, terselip rasa yang perlahan tumbuh. Arpani Zahra Ramadhani dan Fathir Alfarizi Mahendra dipertemukan dalam takdir yang rumit. Dalam balutan nilai-nilai Islami, keduanya harus menavigasi perasaan yang muncul tanpa melanggar batasan agama. Bersama konflik batin, rahasia yang tersembunyi, dan perbedaan pandangan hidup, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang kesabaran, keikhlasan, dan keimanan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lautt_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saat hati mulai ragu
"Kadang, bukan waktu yang membuat kita lelah menunggu, tapi ketidakpastian yang perlahan mengikis harapan."
---
Kehidupan Baru, Luka Lama
Sudah hampir satu tahun sejak Fathir berangkat ke Timur Tengah dan Arpa memulai kuliahnya di Universitas Al-Hikmah. Hari-harinya semakin padat dengan kegiatan akademik, organisasi, dan komunitas dakwah kampus. Namun, meski terlihat sibuk di luar, hatinya masih sesekali dihantui oleh bayang-bayang masa lalu.
Arpa duduk di taman kampus, menatap layar laptop sambil mempersiapkan materi untuk presentasi. Namun, pikirannya melayang ke pesan singkat terakhir dari Fathir beberapa bulan lalu. Sejak saat itu, tak ada lagi kabar. Hanya doa-doa yang terus dipanjatkan dalam diam.
“Arpa!” panggil Salma dari kejauhan sambil melambaikan tangan.
Arpa tersenyum dan menutup laptopnya. “Salma! Duduk sini.”
Salma duduk di sebelahnya sambil membawa dua gelas jus. “Aku beliin kamu jus strawberry, favoritmu.”
“Wah, makasih! Pas banget lagi haus,” kata Arpa sambil mengambil gelas itu.
Salma menatap Arpa sejenak sebelum akhirnya bertanya, “Kamu lagi mikirin sesuatu, ya?”
Arpa terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Iya, tentang Fathir.”
Salma menghela napas. “Masih suka kepikiran, ya?”
Arpa menunduk. “Iya. Aku kira setelah sibuk kuliah dan ikut kegiatan ini-itu, pikiranku akan lebih tenang. Tapi ada momen-momen kayak gini… di mana aku masih mikirin dia.”
Salma tersenyum lembut. “Arpa, nggak ada yang salah kok sama rasa itu. Tapi jangan biarkan perasaan itu menguasai hatimu. Kadang, kita perlu belajar untuk benar-benar melepaskan.”
Kata-kata Salma menusuk hati Arpa. Ia tahu sahabatnya benar, tapi melepaskan bukan hal yang mudah, terutama ketika perasaan itu sudah lama tertanam dalam.
----------------
Malam harinya, Arpa sedang mengerjakan tugas kuliah di kamar kosnya saat ponselnya berdering. Nama Rafa.kakak tingkat yang selama ini menjadi mentor dalam kegiatan dakwah kampus — muncul di layar.
“Assalamualaikum, Kak,” sapa Arpa setelah mengangkat telepon.
“Waalaikumsalam, Arpa. Maaf ganggu malam-malam. Aku cuma mau kasih kabar kalau besok ada acara kajian spesial di masjid kampus. Tema kajiannya tentang 'Menjaga Hati dalam Penantian'. Aku pikir kamu mungkin tertarik ikut.”
Arpa terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “InsyaAllah, Kak. Aku datang.”
Setelah telepon berakhir, Arpa merenung. Tema kajian itu seolah menjadi jawaban atas kebingungan yang selama ini menghantuinya.
---
Kajian yang Membuka Mata
Keesokan harinya, aula masjid kampus dipenuhi mahasiswa yang ingin mengikuti kajian. Arpa duduk di barisan tengah bersama Salma. Di depan, seorang ustadz muda memulai ceramah dengan ayat Al-Qur’an:
"Dan bersabarlah bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan dunia ini." (QS. Al-Kahfi: 28)
“Saudaraku sekalian,” sang ustadz memulai, “menunggu adalah ujian. Tapi yang lebih berat dari menunggu adalah menjaga hati saat penantian berlangsung.”
Arpa menyimak setiap kata dengan seksama, seolah ceramah itu ditujukan langsung kepadanya.
“Kadang kita terlalu fokus pada hasil akhirnya — apakah akan bersama atau tidak. Tapi kita lupa bahwa penantian itu sendiri adalah proses mendewasakan diri. Jangan biarkan penantian mengubahmu menjadi orang yang penuh keluh kesah. Jadikan penantian sebagai ladang pahala.”
Mata Arpa mulai berkaca-kaca. Ia menunduk, mencoba menahan air mata yang hendak jatuh.
“Dan ingat,” lanjut ustadz, “jika seseorang benar-benar ditakdirkan untukmu, maka jarak, waktu, dan keadaan bukanlah penghalang. Tapi jika tidak, sebanyak apapun usaha yang kau lakukan, tak akan pernah cukup.”
Kata-kata itu seolah menjadi pukulan telak bagi Arpa. Ia sadar, selama ini ia terlalu banyak berharap, terlalu sibuk menunggu, hingga lupa memperbaiki dirinya sepenuhnya.
---
Ragu yang Muncul di Hati
Setelah kajian selesai, Arpa duduk di taman kampus sambil memandangi kolam kecil yang ada di sana. Salma duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa, menunggu Arpa memulai percakapan.
“Aku jadi mikir, Salma…” kata Arpa pelan.
“Mikir apa?”
“Kalau ternyata selama ini aku bukan sedang menunggu Fathir… tapi malah menunggu luka yang nggak pernah sembuh.”
Salma terdiam sejenak sebelum menjawab, “Arpa, mungkin ini saatnya kamu benar-benar merelakan. Bukan buat Fathir, tapi buat diri kamu sendiri.”
Air mata Arpa jatuh tanpa bisa ditahan. Ia menyeka pipinya perlahan. “Iya, aku harus mulai belajar ikhlas. Aku nggak bisa terus kayak gini.”
---
Sebuah Pesan yang Membingungkan
Malam itu, saat Arpa baru saja menyelesaikan shalat Tahajjud, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari nomor asing masuk.
Pesan: “Assalamualaikum, Arpa. Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi aku Fathir. Maaf selama ini aku nggak pernah kabarin kamu lagi. Aku cuma… aku butuh waktu untuk memastikan banyak hal. Tapi sekarang aku di sini, dan aku harap kita bisa bicara.”
Arpa menatap layar ponsel dengan perasaan campur aduk — rindu, haru, dan kebingungan.
Ia menarik napas panjang lalu berbisik lirih, “Ya Allah, aku pasrahkan semuanya kepada-Mu.”
--------------------------------------------
“Kadang, ketika kita hampir menyerah, takdir memberi satu kesempatan lagi — bukan untuk kembali berharap, tapi untuk menguji seberapa kuat hati kita bertahan.