Varsha memiliki arti hujan menghiasi hidup seseorang dengan derai air mata.
Seorang wanita muslimah berdarah Indonesia harus dijodohkan dengan pria asing tidak dikenalnya. Pria kejam memakai kursi roda meluluh lantahkah perasaan seorang Varsha, seolah ia barang yang bisa dipermainkan seenaknya.
Rania Varsha Hafizha, harus hidup dengan Tuan Muda kejam bernama Park Jim-in, asal Negara Ginseng.
Kesabaran yang dimilikinya mengharuskan ia berurusan dengan pria dingin seperti Jim-in. Balas budi yang harus dilakukan untuk keluarga Park tersebut membuat Rania terkurung dalam sangkar emas bernama kemewahan. Ditambah dengan kehadiran orang ketiga membuat rumah tangga mereka semakin berantakan.
“Aku tidak mencintaimu, hanya Yuuna... wanita yang kucintai.”
“Aku tidak bisa mengubah mu menjadi baik, tetapi, aku akan ada di sampingmu sampai Tuan jatuh cinta padaku. Aku siap terluka jika untuk membuatmu berubah lebih baik.”
Bisakah Rania keluar dari masalah pelik tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agustine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 29
...🌦️...
...🌦️...
...🌦️...
Tidak seperti biasanya, Nyonya Besar Park itu membawa serta menantu pergi berbelanja bersama. Tidak ada angin, tidak ada hujan, selesai sarapan Gyeong mengajak Rania untuk berjalan-jalan keluar rumah. Sontak hal itu membuat Jim-in pun mengerutkan kening, heran.
Bukankah sang ibu tidak menyukai istrinya? Berbagai spekulasi berputar dalam kepala bersurai hitam lembut tersebut. Ada perasaan tidak enak tat kala melihat senyum lebar ibunya, berbeda dengan Rania. Ia berpikir jika sang ibu mertua mungkin tengah berusaha untuk bisa dekat dan menerimanya. Akhirnya Jim-in pun mengizinkan mereka pergi bersama.
Hingga di sinilah Rania berada, duduk dengan tidak nyaman dalam kendaraan mewah sang ibu mertua. Sesekali ia menoleh ke samping kiri di mana Gyeong tengah terdiam dengan wibawanya menguar kuat. Rania masih tidak menyangka jika keadaan seperti ini akan datang padanya.
Ia pikir Gyeong akan membencinya selamanya. Buru-buru ia menepis pikiran negatif tadi.
"Ani, aku yakin Eommanim bisa menerimaku," benaknya.
"Eommanim, kamsahamnida sudah mengajak saya pergi bersama," ujarnya memecah keheningan.
"Hmmm," hanya gumaman sebagai jawaban.
Tidak lama berselang limosin putih itu tiba di depan sebuah gedung pusat perbelanjaan terbesar di Kota Seoul. Sang supir buru-buru membukakan pintu bagi Nyonya Besar dan Nona Mudanya. Gyeong pun langsung melesat memasuki bangunan megah tersebut.
Berkali-kali Rania berdecak kagum saat menapakan kaki di sana. Binar kebahagiaan tampak jelas dikedua bola mata besarnya. Tidak henti-hentinya mulut ranumnya menganga lebar. Wanita berumur lima puluh tahunan itu menggelengkan kepalabeberapa kali menangkap gelagat Rania.
"Cepat, kita harus menemui seseorang," ajaknya.
"Ehh...."
Rania tersentak lalu mengikuti langkah ibu mertuanya pergi.
Tiba di lantai delapan pintu lift terbuka. Pemandangan ibu kota terpampang jelas saat kaca-kaca besar tertangkap pandangan. Rania kembali mengagumi tempat tersebut.
Beberapa menit kemudian saat dirinya tengah menikmati kecantikan Kota Seoul, suara lembut seorang wanita seketika mengalihkan perhatian.
Rania menoleh ke samping kanan, di sana seorang wanita berambut ikal sepinggang berlari kecil di lorong. Kedua tangannya merentang memeluk sang ibu mertua. Seketika tubuhnya berhenti bergerak, menegang begitu saja. Rania terdiam bak bongkahan kayu yang menancap dalam tanah.
Kepalanya memproses apa yang baru saja ia lihat.
"Yuuna," panggilnya pelan.
"Ne, Yunna," balas Gyeong mendengar bisikannya.
Rania pun menolehkan kepala membalas tatapan mertuanya. Ia menuntut penjelasan dengan situasi yang terjadi.
"Saya sengaja mengajak Yuuna untuk ikut bersama kita. Yuuna ini kan calon menantu saya, jadi kita harus membiasakan diri," jelasnya kemudian.
Tiba-tiba saja Rania tersadarkan dan dihantam ribuan ton batu besar di atas kepala. Ia tidak menyangka ajakan yang diterimanya kali ini bisa mendekatkan hubungan antara menantu dan mertua. Namun, nyatanya "calon menantu" dan "mertua" yang dilihatnya sekarang.
"Ayo."
Satu kata membuatnya tersadar.
...🌦️🌦️🌦️...
Sedari tadi Rania hanya mengikuti kedua wanita di hadapannya. Berbagai kantung belanjaan ia tenteng. Berkali-kali ia mengaduh kesakitan, saat tangan kecilnya menerima begitu banyak beban. Ia berjalan tertatih-tatih guna menyeimbangkan diri, peluh pun bermunculan membasahi hijab hitamnya.
Netra bulatnya masih setia memandang ke arah depan di mana sang mertua dan tunangan suaminya tengah berjalan beriringan. Sesekali tawa renyah terdengar menendang gendang telinga Rania. Rasa sakit bercampur kecewa menghujani perasaannya dengan cepat.
Ia tahu kini keberadaannya tidak lebih sebagai seorang pelayan.
"Ya Allah sabarkanlah hamba."
Hanya kata-kata seperti itu yang ia tanamkan dalam dirinya.
Tidak lama berselang mereka pun tiba di restoran halal yang terletak di lantai paling atas. Rania kembali kesulitan membawa belanjaan tersebut, tanpa ada rasa kasihan sedikit pun wanita berbeda usia itu menghiraukannya begitu saja.
"Alhamdulillah." Gumam Rania saat mendudukan diri di sana.
Tidak lama berselang seorang pelayan datang. Berbagai hidangan penggugah selera pun disuguhkan ke hadapan mereka. Rania ragu untuk menikmatinya dan hanya bisa berdiam diri dalam duduknya.
"Kenapa kamu tidak makan?" tanya Yuuna saat tidak melihat pergerakan apa pun dari wanita di depannya ini.
"Sayang, Rania tidak biasa makan makanan mewah. Nanti dia sakit perut lagi, Eomma tidak mau MENANTU kesakitan." Balas Nyonya Park pongah seraya menekan kata menantu.
Lirikan mata Gyeong menandakan jika wanita itu memang tengah menyindirnya.
"Ah Eomma benar. Rania biasa makan makanan rumahan. Mianhae, Rania sepertinya hanya aku dan Eomma yang bisa menikmati makanan ini. Kamu tidak apa-apa, kan?" kini giliran Yuuna melemparkan kata-kata pedas padanya.
"Kamu tidak usah tersinggung. Memang seperti itu kenyataannya, kan. Kamu harus sadar kita siapa dan kamu siapa. Arraso?" Lanjut Gyeong seraya memotong daging miliknya.
Rania hanya menganggukan kepala singkat lalu meminta izin untuk pergi ke toilet terdekat.
Di sana, di salah satu bilik Rania menangis menumpahkan kekesalan serta kekecewaan yang sedari tadi ditahannya. Kesakitan terus mendera kala kata-kata yang dilontarkan mertua dan juga Yunna begitu menusuk. Serendah itukah aku? Pikir Rania.
"Aku pikir ajakan ini untuk mendekatkan antara menantu dan mertua. Ternyata aku salah. Ajakan ini untuk memperlihatkan siapa aku sebenarnya. Aku sadar derajatku memang jauh dari mereka. Aku tahu itu. Dan aku cukup tahu diri," monolog Rania seraya menekan kuat perasaannya.
Beberapa saat kemudian, setelah kedua wanita itu selesai dengan urusannya sendiri mereka pun memutuskan pulang. Akhirnya penderitaan Rania telah usai. Senja di langit nyatanya tidak seindah kelihatannya. Jika nyatanya awan mendung masih setia mendiami kedua mata itu. Sepanjang perjalanan Rania hanya diam di jok paling belakang.
Sesekali Nyonya Besar itu menyunggingkan smirknya kembali merendahkannya.
"Aku harap setelah ini dia bisa sadar dan cepat-cepat meninggalkan Jim-in," benak Gyeong kemudian.
Tidak lama berselang limosin itu pun tiba di mansion. Gyeong dengan langkah riang masuk ke dalam seraya senyum lebar menghiasai wajah anggunnya. Sedang Rania masih dengan perasaan kecewa melingkupi dada.
Tanpa melihat sekitar ia pun bergegas memasuki kamar yang berada di lantai dua. Iris kecoklataan Gyeong mengikuti ke mana sang menantu pergi.
"Cih, secepatnya aku akan membuatmu pergi dari sini," gumamnya.
Pintu yang tertutup membuyarkan lamunan. Rania sadar kini sudah berada di kamarnya sendiri. Ia berjalan gontai menuju tempat tidur dan mendudukan diri di sana. Berkali-kali helaan napas terdengar berat. Tanpa bisa ditahan air mata kembali mengalir di pipinya.
"Yeobo."
Panggilan itu seketika membuatnya terlonjak kaget, buru-buru ia menghapus buliran keristal bening yang mengalir.
Rania menatap ke depan di mana sang suami baru saja keluar dari kamar mandi. Iris kecilnya menatap ia lekat yang tengah menahan kegelisahan. Rania pikir jika suaminya masih berada di perusahaan.
"Oppa, sudah pulang?" tanyanya kemudian.
Lengkungan bibir pun terlihat dipaksakan. Jim-in mengerutkan dahi, ada sesuatu yang sudah terjadi. Pikirnya.
Langkahnya pun mencapai titik penentuan. Jim-in bersimpuh di hadapan sang istri lalu tangannya terulur hendak menggenggam jari jemari Rania. Namun, "aww.." pekikan kecil dari wanitanya membuat ia terkejut.
Jim-in pun membalikan kedua telapak tangan Rania lalu melihat goresan demi goresan merah keunguan di sana. Sorot mata kekhawatiran nan tegas pun kini memandanginya. Rania tidak kuasa menatapnya dan langsung mengalihkan pandangan.
"Kenapa tanganmu lecet seperti ini? Apa yang sudah kalian lakukan tadi? Apa eomma menyuruhmu berbuat sesuatu?" tanya Jim-in kemudian.
Gelengan kepala pun diberikan. Rania tidak bisa berkata jujur kepada suaminya. Ia tidak mau merusak hubungan ibu dan anak.
"Jawab Rania, tanganmu kenapa?" lama Rania bungkam mengunci mulutnya rapat. Sampai, "RANIA!!" tanpa sadar Jim-in membentaknya.
Rania semakin dirundung gelisah. Rasa sakit kembali mencuat, air mata pun turun dengan derasnya. Tanpa ada kata terucap ia menerjang tubuh tegap Jim-in dan melingkarkan kedua tangan di leher sang suami, seketika ia terisak di sana.
"Mianhae, bisakah kita seperti ini sebentar saja? Aku mohon jangan katakan apa pun," bisiknya lirih.
Sadar jika tindakannya mungkin saja menyakiti sang istri, Jim-in membalas pelukannya dan mengusap punggung rapuh itu pelan.
"Mianhae, aku tidak bermaksud membenatkmu."
Rania hanya mengangguk singkat tanpa mengatakan sepatah katapun lagi.
Untuk sesaat mereka berada dalam posisi saling berpelukan. Rania diambang kegelisahan.
Senja tidak lagi memberikan kebahagiaan, masih saja hujan setia mendiami matanya.
...🌦️DERAJAT🌦️...
GAK ETIS LANJUTIN NOVEL YANG SEHARUSNYA UDAH TAMAT, TAMAT YAH TAMAT JANGAN DI LANJUTIN. JADI KELUAR DARI ALUR.
makasih buat karyanya thor ,bunga sekebon buat thor 💜😍
rania itu jgn2 thor ya ,gpp thor semangat 😘