Rumah sudah kokoh berdiri, kendaraan terparkir rapi, tabungan yang cukup. Setelah kehidupan mereka menjadi mapan, Arya justru meminta izin untuk menikah lagi. Istri mana yang akan terima?
Raya memilih bercerai dan berjuang untuk kehidupan barunya bersama sang putri.
Mampukah, Raya memberikan kehidupan yang lebih baik bagi putrinya? Apalagi, sang mantan suami hadir seperti teror untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Karma
"Aku menunggu di kantin dan kau malah makan diluar. Kau juga mematikan ponselmu?" ujar Tari, dengan tatapan singa betina yang kelaparan.
Dengan tenang, Arya menjawab, "aku bertemu Arga diluar, sekalian mengajaknya makan siang. Dia butuh uang, katanya mau bayar sesuatu. Entahlah, kau juga tidak tanya."
"Kamu tidak bohong kan, Mas?"
"Untuk apa, aku bohong. Ayo, masuk. Disini panas, sayang. Kamu sudah makan?"
"Sudah. Di kantin, ada cah sayur, aku sangat suka."
"Baguslah." Keduanya langsung menjauh seperti orang asing, saat menginjakkan kaki di lobi. Tidak tersenyum, apalagi bertegur sapa, saat berada dalam lift.
Seolah sudah terlatih untuk berbohong, tanpa takut ketahuan. Arya bahkan bisa tetap tenang, kedua matanya menatap lurus, saat bertatap muka dengan lawan bicaranya. Sekarang, ia hanya perlu mencari alasan lagi untuk malam nanti.
"Mas, aku tunggu ditempat biasa," ujar Tari melalui panggilan telepon.
"Iya. Aku lagi siap-siap."
Arya melaju dan menepikan kendaraan dipinggir trotoar, seolah ingin memberikan tumpangan pada rekan kerjanya, yang tengah berjalan kaki. Pemandangan itu tampak meyakinkan, sebab Tari tidak langsung masuk, melainkan mengobrol sejenak.
"Mas, makan diluar yuk?" ajak Tari dengan nada manja.
"Di rumah saja. Aku kan sudah belanja kemarin. Nanti aku minta ibu yang masak."
"Baiklah. Besok hari libur, enaknya kita kemana, Mas?"
"Tari. Di rumah, pakaian kita menumpuk. Besok kamu harus mencuci dan bersih-bersih rumah."
"Aku?" protes Tari, "terus, kamu mau bikin apa?"
"Kalau bukan kamu, lalu siapa? Aku kan sudah bilang memperkerjakan ART, tapi kamu tidak mau. Ya sudah, kamu yang harus mengerjakannya. Kamu tidak mau kan, dibanding-bandingkan terus dengan Raya."
"Tapi, kamu harus bantu juga. Masa iya, aku yang mengerjakan semua."
Arya hanya menghela napas panjang. Ia tahu, pada akhirnya, semua pekerjaan rumah, akan dikerjakannya seorang diri. Sang istri, yang awalnya akan membantu, berakhir dengan banyak keluhan dan tidak mengerjakan apa-apa. Jika seperti ini terus, sepertinya Arya mulai memikirkan nasib rumah tangganya. Jika Tari, tidak sedang mengandung, mungkin hanya akan seumur jagung.
"Arya, besok kamu libur kan, Nak?" tanya ibu, yang langsung menodong putranya dengan pertanyaan. Padahal, Arya baru saja menepikan mobil dan belum turun. Ia hanya menurunkan kaca, sebab ibunya berteriak.
"Iya, Bu. Kenapa?"
"Antar ibu ke rumah sakit. Tante Sella, dirawat semalam. Temani Ibu, jenguk dia."
"Tapi, besok Arya besok banyak kerjaan, Bu." Arya turun dari mobil, bersama Tari dari pintu sebelah.
"Kerja, apa?"
"Kerjaan di rumah menumpuk, Bu. Cucian banyak," jawab Tari dengan ketus.
"Terus, kegunaan kamu apa?" bentak ibu, "masa cucian numpuk, harus Arya yang nyuci. Keterlaluan kamu."
Tari memicingkan mata. Tanpa takut, ia berjalan menghampiri ibu mertuanya. "Bu, aku bukan pembantu. Mas Arya, harus bantuin dong. Mana bisa, kau mengerjakan semua dalam keadaan hamil begini."
"Kalau begitu, putraku tidak perlu menikah, jika dia yang harus melakukan pekerjaan rumah. Apa gunanya ada istri, kalau dia bisa sendiri?" Ibu menatap putranya. "Ceraikan dia! Diluar, masih banyak perempuan yang mau menjadi istri!"
Tari murka, dengan wajah memerah. Ia bahkan mengepalkan tangan dengan erat, sampai bergetar. Saat hendak melangkah, menyusul ibu mertuanya, Arya menarik lengannya.
"Dia ibuku! Sebaiknya, kamu merenung, Tari. Ingat, diluar sana, banyak perempuan yang bisa aku pilih."
"Kamu berani?" tantang Tari.
"Pikirkan sendiri!" ujar Arya, yang melangkahkan pergi.
Rasanya, ada sesuatu yang ingin meledak didalam dada. Tari merasakan sesak, karena tidak mampu membalas ucapan suami dan mertuanya. Ia tidak hanya ingin berteriak, tetapi memukul wajah seseorang.
Bukannya, menyusul langkah sang suami. Tari malah masuk ke dalam rumah ibu mertuanya.
"Mau apa kamu?" bentak ibu, yang tengah menyapu lantai dapur.
"Ibu menyuruh mas Arya menceraikanku dan ibu masih bertanya, mau apa?" desis Tari kasar.
"Kenapa? Kau takut?" Ibu malah menyeringai, merasa puas dengan reaksi sang menantu. "Ibu pikir, kamu lebih baik dari Raya. Ternyata, ibu salah. Kamu bahkan lebih buruk. Mengandalkan karir, agar tidak melakukan tugasmu sebagai istri."
"Dengar, ibu mertuaku yang terhormat. Aku dan mas Arya, bekerja di perusahaan yang sama. Ada aturan mengatakan, dua karyawan tidak boleh menikah di perusahaan yang sama. Ibu tahu, apa artinya?" Sudut bibir Tari terangkat. "Aku bisa melaporkan pernikahan kami dan tentu saja, yang diawali dengan cerita perselingkuhan. Aku tidak takut kehilangan apapun. Bercerai? Hahaha, diluar sana, juga banyak pria yang lebih baik dari putramu dan aku bisa mendapatkannya. Ingat, ibu. Jangan pernah ikut campur! Ibu tidak mau kan, kehilangan jatah bulanan?"
Ibu ternganga, hingga menjatuhkan sapu ijuk keatas lantai. Sepertinya, karma sedang berlangsung terhadap dirinya. Dulu menantu pertama, sangat penurut, tidak membantah apalagi bicara kasar. Namun, wanita itu berubah setelah diceraikan sang putra.
Kini ia dihadapkan dengan Tari, sosok peri yang pertama kali dilihatnya. Namun, ternyata siluman ular yang berbisa. Perbedaan yang diibaratkan bagai langit dan bumi.
"Mas, kamu lagi ngapain?" tanya Tari dengan nada lembut dan tersenyum. Seolah amarahnya sudah lenyap.
"Masak. Sana ganti baju."
"Oke. Nanti aku bantu.
Tari hanya menyiapkan peralatan makan, setelah membersihkan meja makan. Ada piring lengkap dengan sendok dan garpu, serta gelas berisi air putih. Tak lupa, mengangkat nasi dari rice cooker dan meletakkan diatas meja.
Kini ia duduk manis, sembari bermain ponsel. Sementara, Arya memasak hidangan entah apa. Ia hanya mengikuti video dalam aplikasi.
"Ini apa?" Tari merasa jijik dengan penampilan sayuran warna warni, tapi pucat. Dan piring sebelah, ada ayam goreng yang mendekati warna gosong.
"Kamu tidak mau kan, makan seperti ini terus?" tanya Arya, yang tidak peduli dengan pertanyaan sang istri.
"Iya, Mas. Apa ibu kamu tidak mau masak? Atau, bagaimana kalau kita beli diluar?"
"Dengar. Kita selalu berdebat karena masalah pekerjaan rumah. Jadi, gaji aku akan dipakai untuk menggaji ART. Dan gaji kamu, dipakai untuk kebutuhan rumah."
"Loh, kok gitu Mas? Kebutuhan aku banyak, masa iya pakai kebutuhan rumah. Lagian, gaji kamu kamu kan lebih banyak, ketimbang aku."
"Aku harus memberi ibuku, setiap bulan. Aku juga membiayai adikku yang kuliah dan sisanya untuk gaji ART, serta kebutuhan aku. Paham! Kalau kamu keberatan, sebaiknya kamu lakukan tugasmu sebagai ibu rumah tangga."
"Kalau aku hitung, masih banyak sisanya, Mas. Emang kebutuhan kamu, apa sih? Kamu juga jarang beli pakaian."
"Kita perlu tabungan, Tari. Kita bukan cuma hidup berdua nantinya. Aku juga punya kebutuhan. Kamu pikir, aku isi bensin pake air. Servis mobil, pake daun, gitu? Sudah, jangan protes."
Tari hanya bisa menerima keadaan, meski masih protes didalam hati. Sebenarnya, ia mulai sedikit menyesal, karena Arya tidak bisa diharapkan. Gaji besar nyatanya, bukan untuk ia nikmati sendiri. Melainkan dibagi-bagi, hingga mengurangi jumlah yang seharusnya ia terima.
🍁🍁🍁
tidak mau memperjuangkan raya
bntar lg km ketemu sm laki2 yg tulus yg mampu bahagiakan km.
plg suka crita klo perempuannya tangguh & kuat