Mencari Daddy Sugar? Oh no!
Vina Rijayani, mahasiswi 21 tahun, diperhadapkan pada ekonomi sulit, serba berkekurangan ini dan itu. Selain dirinya, ia harus menafkahi dua adiknya yang masih sangat tanggung.
Bimo, presdir kaya dan tampan, menawarkan segala kenyamanan hidup, asal bersedia menjadi seorang sugar baby baginya.
Akankah Vina menerima tawaran Bimo? Yuk, ikuti kisahnya di SUGAR DATING!
Kisah ini hanya fantasi author semata😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Insiden Anggi
"Tidak boleh seperti ini! Aku bukan mainannya!"
Kuhentakan sepasang tanganku dengan sekuat tenaga, berhasil mendorong paksa rahang tegas itu menjauh dari wajahku, dan...
PLAK!
Wajah tuan Bimo berpaling, cukup lama ia berada diposisi itu.
Aku sudah siap menerima kemarahannya.
Tidak seperti dugaanku, tubuh tuan Bimo sedikit merunduk, lalu menurunkanku hati-hati. Aku langsung mundur begitu lepas darinya. Dapat kulihat bekas cap jariku menempel jelas dipipinya, sedikit membiru.
Aku memang menamparnya dengan segenap kekuatanku, segenap jiwa, dan segenap akal budiku!
Tanpa melihat wajahku, tuan Bimo berbalik, berjalan menuju pintu dan meninggalkanku lagi sendiri di penthouse ini tanpa mengucapkan apapun.
...***...
Di sofa, Anggi terlihat sulit bergerak saking kenyangnya, ingin berbaring pun tidak bisa.
Semua makanan diatas meja sudah berpindah sepenuhnya kedalam perutnya, bahkan melebih lambungnya hingga membuat wanita besar itu ingin muntah tapi tak bisa, napasnya sesak, serasa sangat menderita.
Langkah sepatu Bimo terdengar mendekat, Anggi memaksa untuk duduk tegak.
"Bu Anggi sudah kenyang?" Bimo kembali duduk ditempat sebelumnya.
Sekilas ia melirik nampan seloyang pizza dan enam gelas jus buah berukuran jumbo itu sudah licin tanpa sisa.
"Silahkan sampaikan apa yang menjadi tujuan bu Anggi datang kemari," lanjut Bimo, menatap Anggi yang berwajah sayu.
"Menagih hutang Vina senilai lima puluh juta!"
"Perempuan besar ini, kapan tobatnya?" Bimo seketika gemas.
"Berikan catatan hutangnya," sambil menadahkan tangannya.
"Tidak ada! Yang pasti, Vina berhutang lima puluh juta ke saya, dan harus segera dibayar hari ini! Atau saya laporkan dia ke polisi!" ancamnya.
"Silahkan," Bimo acuh sambil melipat tangan didepan dada.
"Jangan main-main dengan saya, saya bisa saja bertindak diluar kendali. Bayar sekarang!"
"Berikan dulu surat atau catatan hutangnya Vina, nanti saya bayar."
Sikap Bimo memicu emosi Anggi. Perempuan besar itu berpegangan pada sofa disisi kiri kanannya, dengan susah payah akhirnya ia berhasil berdiri dari duduknya.
"BAYAR TIDAK!" teriak Anggi penuh kedongkolan.
"Berikan surat hutang Vina dulu," Bimo masih teguh pada pendiriannya.
"SUDAH SAYA BILANG! TIDAK ADA SURAT HUTANG! TIDAK ADA CATATAN! HIAAAATT!"
KRAAAAK!!! PRAAAANK!!!
Meja kaca milik Bimo remuk tertimpa satu kaki besar Anggi yang sengaja perempuan itu injakkan disana.
Gelas dan nampan ikut jatuh berhambur dilantai.
Belum sempat Anggi bersuara untuk melanjutkan ancaman ala preman-nya, perempuan itu dikejutkan oleh suara Bimo yang sedang menelpon polisi.
Tidak sampai disitu saja, keterkejutan Anggi berlanjut saat beberapa personel polisi sudah menyergapnya hanya dalam hitungan detik.
"Lepas! Saya tidak bersalah!" Anggi meronta, luka dikaki akibat goresan pecahan kaca tidak ia rasakan.
"Bawa Ibu ini pak, dia sudah membuat onar dikantor saya. Lihat, kaca meja ini pecah karena ulahnya, juga pipi saya memar karena pukulan tangan gendutnya itu," lapor Bimo.
"APA?" Anggi melotot, tidak terima mendengar tuduhan terakhir Bimo.
"Bohong! Laki-laki ini bohong pak polisi! Saya tidak pernah menampar pipinya!" protes Anggi pada tuduhan yang tidak pernah ia lakukan.
"Ikut kami, terangkan dikantor polisi saja!" Para polisi itu menarik paksa tubuh Anggi yang berat itu.
"Saya tidak mau! Saya tidak mau! DIA BOHONG!"
Dengan mata berapi, Anggi mengamuk dan meronta-ronta, tidak terima ditangkap. Perlawanannya membuat dirinya dan beberapa polisi terjengkang. Mereka berjatuhan ke lantai, menimpa tubuh besar Anggi yang lebih dulu mendarat dilantai.
"Dia pingsan!" panik salah satu polisi.
Bimo ikut panik, segera menghubungi security menyiapkan ambulance hotel dan melarikan Anggi kerumah sakit.
...***...
Anderson tergelak sekian lama, setelah mendengar detail insiden yang diceritakan Bimo.
"Gue nggak habis pikir Bimo, bisa-bisanya loe punya ide, kalau yang nampar loe itu adalah si bibinya Vina. Ya, jelas dong dia nggak terima," Anderson kian tergelak.
Bimo yang ditertawai hanya bisa memutar bola matanya, tujuan dirinya menceritakan semuanya itu bukan untuk ditertawai oleh temannya itu.
"Gue mau liat bu Anggi dulu, sudah sadar apa belum? Vina bisa marah besar kalau tahu gue sudah membuat Bibinya pingsan," Bimo berdiri dari kursinya.
"Sudah, disini aja, temenin gue nanganin pasien. Perawat akan mengabari loe kalau bu Anggi sudah sadar," tahan Anderson.
"Bu Minati Armanita! Silahkan masuk!" terdengar suara perawat diluar ruangan Anderson memanggil nama pasien selanjutnya.
"Heh, mantan loe tuh!" Bimo berbisik, menunjuk pasien yang baru masuk.
Anderson terhenyak di kursinya.
Masa lalu yang telah lama terkubur kini tiba-tiba muncul kembali saat dia melihat sang mantan duduk didepannya, membangkitkan kenangan pahit yang dengan susah payah ia lupakan.
"Sakit Apa?" tanya Anderson dingin disertai wajah masamnya.
Bimo tegang memperhatikan keduanya.
"Sakit kepala Dok, panas dingin, mencret--" Minati menjawab lemah, menahan rasa kurang nyaman dalam tubuhnya akibat sakitnya.
"Operasi! Pengangkatan jantung!" potong Anderson sarkas dengan wajah sinis.
"T-tapi, saya hanya mencret Dok, kok harus operasi pengangkatan jantung?" bingung sang pasien.
"Jangan berdebat! Kalau tidak mau, pulang sana! Diam-diam aja dirumah! Kalau mau mati! Mati sendiri dirumah, jangan kesini lagi!" sentak Anderson.
Bimo ternganga, hampir saja tergelak. Serba salah berada diantara dua insan yang belum selesai dengan masa lalu mereka.
Bersambung...✍️