Bagaimana rasanya, jika kalian sebagai seorang anak yang di abaikan oleh orangtuamu sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harapan Adira
Di perjalanan, Afandi dan Ella seakan lupa tentang perjanjiannya dengan Adira. Mereka panik dan khawatir dengan keadaan Vania. Tadi Vania di temukan pingsan di lantai, dekat lemari oleh Ella.
"Bu ..." lirih Vania memegang kepalanya.
"Sabar ya nak, sebentar lagi kita sampai ke rumah sakit." ujar Ella yang memangku kepala Vania.
"Apa yang kamu rasakan sayang." tanya Afandi dari belakang setir.
"Cuma pusing Yah... Aku gak apa-apa." keluh Vania.
"Gak apa-apa bagaimana? Tadi kamu pingsan nak." sahut Ella.
"Aku gak apa-apa Bu, Ayah. Kita pulang aja ya. Kasihan Adira." lirih Vania, membuat Afandi dan Ella mengingat janji mereka.
"Tapi,,, kita mampir sebentar aja ya. Kita ke klinik aja, biar cepat. Kita cek keadaan kamu. Lagian Adira pasti paham." kata Afandi tegas.
Vania langsung tersenyum menang. Akhirnya niatnya untuk membatalkan rencana orang tuanya berhasil.
🍁🍁🍁🍁🍁
Adira memasuki kamar dan menguncinya. Tak lupa pula dia mengganjal pintunya dengan kunci buatan dari kayu, karena mewanti-wanti agar Ibunya tidak bisa masuk. Bukan apa-apa. Karena dia hanyalah ingin sendiri, meluapkan rasa kecewanya sendiri.
Adira langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur, tanpa mengantikan pakaiannya. Dia menangis dalam diam. Mengingat bagaimana Vania tersenyum penuh kemenangan ke arahnya.
"Andai harapanku bisa terkabulkan, tolong berikan aku penyakit yang lebih parah dari Kak Vania. Agar aku merasakan bagaimana mereka memelukku dan memperlakukan aku layaknya anak mereka sendiri." lirih Adira memejamkan matanya.
Jam sembilan malam, Afandi, Ella dan Vania sampai rumah. Kebetulan tadi pasien di klinik agak ramai. Afandi langsung menemani Vania masuk kamar. Sedangkan Ella, ingin melihat Adira di kamarnya.
Krik ,,, Ella mencoba membuka pintu kamar Adira. Namun, terkunci dari dalam, kemudian dia pergi mengambil kunci serep yang disimpannya tak jauh dari kamar Adira.
"Kenapa gak bisa dibuka." gumam Ella saat mencoba mendorong pintu kamar tersebut. "Adira, ini Ibu. Tolong bukain pintunya ya." bujuk Ella sambil mengetuk pintu kamar Adira.
Di dalam, Adira yang mengetahui Ibunya mencoba membuka pintu hanya duduk diam. Dia ingin menunggu, sejauh mana usaha Ibunya untuk membujuknya. Sejauh mana usaha Ibunya untuk berusaha membukakan pintu kamarnya.
"Adira, tolong bukain pintunya. Ibu mau bicara." masih mencoba mengetuk pintu. "Adira, Ibu tahu kamu pasti belum tidur. Bukain pintunya."
Setelah mencoba beberapa kali, akhirnya Ella menyerah. Dia mengganggap jika Adira sudah ketiduran, makanya tidak mau membukakan pintu untuknya.
Ella langsung turun dari lantai dua, dia memasuki kamar Vania. Di Sana terdapat Afandi yang masih duduk berbincang-bincang dangan Vania.
"Bagaimana dengan Adira Bu?" tanya Afandi melihat istrinya masuk.
"Sepertinya dia ketiduran." jawab Ella. "Kamu istirahat ya sayang. Ibu sama Ayah masuk kamar dulu." ucap Ella mengecup kening Vania. Kemudian disusul oleh Afandi.
Keesokan harinya, kebetulan hari minggu. Adira bangun dengan malas. Karena semalam dia menangis sampai ketiduran. Apa lagi saat melihat usaha ibunya seperti acuh tak acuh dalam merayunya.
Jam sudah menuju pukul sepuluh pagi, namun Adira belum juga keluar dari kamarnya. Dia enggan menatap wajah menjengkelkan dari saudarinya. Namun, karena sudah tidak tahan dengan perutnya yang terus-terusan minta di isi. Akhirnya Adira memutuskan untuk turun.
"Kemana semua orang?" gumam Adira melihat keadaan rumah yang sepi.
Adira langsung menuju dapur, disana ada Bu Mar yang lagi masak, dan Bu Siti sedang bersih-bersih.
"Kok sepi." tanya Adira.
"Eh, Adira baru bangun? Tadi Ibu sama Bapak kayaknya masuk kamar lagi deh." seru Bu Siti, memperhatikan penampilan Adira dengan mata sembab.
Ella memang menyuruh agar ART memanggil Vania dan Adira dengan sebutan nama, tanpa embel-embel di belakangnya.
"Ooo, Kak Vania?" tanya Adira lagi.
"Masuk kamar juga." balas Bu Mar yang mendengar pertanyaan Adira. "Adira mau makan? Bentar ya, Bu Mar siapkan dulu. Tadi, sebelum kesini Bu Siti membeli lontong sayur, khusus untuk Adira. Ya, kan Bu?" tanya Bu Mar, di angguki oleh Bu Siti.
Adira bersorak senang. Karena lontong merupakan salah satu menu sarapan favoritnya. Namun, dia jarang mendapatkannya. Karena kalau pagi urusan sarapan, Ibunya lah yang menyiapkannya.
"Habis dari ini, Bu Mar mau ke pasar. Mau belanja mingguan. Adira mau ikut?" tawar Bu Mar.
"Mau Bu, lagian aku bosan di rumah terus." seru Adira. "Tapi ..." mengingat harus meminta izin pada orang tuannya.
"Ibu sudah memberi izin kok, begitu juga dengan Bapak. Mereka memberi izin pada Bu Mar." kata Bu Mar seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Adira.
Setelah sarapan, Adira langsung berlari ke kamarnya untuk bersiap-siap. Sekarang disini lah, mereka. Di pasar yang sesak dan juga becek. Namun, Adira tidak mempermasalahkan itu. Baginya yang penting bisa jalan-jalan menikmati dunia luar. Tidak melulu rumah dan sekolah.
Setelah merasa belanjaannya cukup. Bu Mar pun membawa Adira ke sebuah kedai. Mereka mampir untuk menikmati bakso. Adira cukup senang saat bakso berada di hadapannya. Dia melahap habis makanan tersebut tanpa tersisa. Bu Mar, bisa melihat pancaran kebahagiaan dari gadis kecil di sampingnya.
"Kita pulang ya." ajak Bu Mar.
Sore harinya, Afandi, Ella dan Vania sedang menikmati minuman dan aneka cemilan yang di siapkan Bu Mar sebelum pulang. Mereka duduk di teras samping, dekat dengan ruang keluarga. Sedangkan Adira hanya menonton televisi di ruang keluarga. Dia malas bergabung dengan orang tuanya. Apalagi ada Vania di antara mereka.
Afandi bangkit dari duduknya. Dia duduk di samping Adira. Namun, Adira yang sedang fokus menonton tidak menghiraukan Ayahnya yang ikut duduk di sampingnya.
"Maaf ya untuk yang semalam." ujar Afandi merangkul pundak Adira.
Deg ,,, Mengingat kejadian semalam, entah kenapa mood Adira langsung berubah. Matanya langsung berembun. Namun, dia mati-matian menahan agar air matanya tidak tumpah. Apalagi bayangan senyum Kakaknya selalu saja terbayang.
"Sekarang siap-siap lah, karena kita akan berangkat sekarang juga." perintah Afandi.
"Gak usah Yah. Aku sudah bosan." lirih Adira beranjak sambil menekan remote untuk mematikan siaran televisi.
Afandi hanya menatap anaknya yang menjauh. Kemudian dia memilih untuk menyusul Adira ke kamarnya.
Vania yang sejak tadi menyadari Ayahnya mendekati Adira, hanya mengepalkan tangan geram. Pasalnya dia tidak ikhlas kalau kasih sayang dari orang tuanya terbagi. Dia hanya ingin menikmatinya sendiri. Mungkin karena dia terbiasa di manja dan juga disayang.
"Adira, Ayah masuk ya." pinta Afandi membuka setengah pintu. Namun, Adira tidak peduli. Dia sibuk dengan buku-bukunya.
Walau tanpa izin. Afandi tetap memaksa masuk. Dia melihat dengan jelas. Jika Adira menghapus air matanya dengan cepat.