Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.
Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.
Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.
Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua sembilan
Napas Abraham memburu cepat karena emosi yang tak terkendali.
Sementara itu, Firda meremas kencang gaun yang saat ini dirinya kenakan sebagai pelampiasan rasa takutnya kepada pria itu.
Menghadapi Tuan Abraham yang dalam mode tenang saja, Firda sudah sangat ketakutan. Lantas bagaimana ketika dirinya harus dihadapkan dengan pria itu yang saat ini sedang menahan murka?
"Sekarang kamu adalah istriku. Menghina nyonya Abraham artinya sama dengan menghinaku,” tambah Abraham memberikan peringatan dengan nada serius.
Setelahnya, tanpa menunggu jawaban dari istrinya, ia sudah keluar dari gudang itu dengan langkah besar, matanya menyala penuh kemarahan.
Firda hanya bisa menatap punggung pria yang kini... dalam semalam telah menjelma menjadi suami sahnya menurut pandangan agama dan di mata Tuhan.
Hatinya berdebar sangat kencang. Meskipun takut, ada secercah rasa hangat di dadanya karena tahu bahwa ada seseorang yang, meskipun kasar dan pemaksa, benar-benar peduli padanya.
Abraham melangkah keluar dari gudang yang dijadikan kamar oleh Firda dengan langkah tenang namun penuh ketegasan. Firda mengikuti di belakangnya, wajahnya pucat pasi, sementara hatinya berdebar hebat. Ia tahu betul apa yang akan terjadi. Meski Tuan Abraham tidak pernah menunjukkan emosi yang meledak-ledak, tetapi aura dingin dan intensitasnya jauh lebih menakutkan daripada kemarahan biasa. Ia adalah pria yang tidak perlu berteriak untuk membuat orang tunduk ketakutan.
Di ruang tamu, Bambang, Wati, dan Laras duduk dengan canggung di sofa mereka. Ketiganya langsung berdiri saat melihat Tuan Abraham datang. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut pria itu saat ia mendekat. Namun, sorot matanya yang tajam seolah-olah menembus ke dasar jiwa mereka. Bambang berusaha tersenyum kaku, sementara Wati tampak gelisah, dan Laras hanya mampu menundukkan kepalanya, tidak berani menatap langsung.
Abraham berhenti tepat di hadapan mereka, menatap satu per satu dengan pandangan yang begitu dingin. Suasana mencekam memenuhi ruangan. Bambang akhirnya memberanikan diri untuk berbicara.
"Ada... ada sesuatu yang ingin Anda sampaikan, Tuan Abraham?" tanya pria paruh baya itu dengan nada gemetar.
Abraham tetap diam selama beberapa detik, membuat ketegangan semakin terasa. Kemudian, dengan suara datar dan tenang, ia berkata, "Apa kalian pikir pantas menempatkan seorang gadis di tempat seperti itu? Sebuah gudang yang penuh debu dan barang-barang rongsokan, tanpa cahaya layak, tanpa privasi? Itu bukan kamar. Itu penjara."
Wati menelan ludah, wajahnya memucat kian pasi. "T-tapi, Tuan... kami tidak punya pilihan lain. Rumah kami kecil, dan—"
"Pilihan?" Abraham memotong, suaranya tetap tenang tetapi nadanya menohok. "Kalian punya cukup ruang untuk kamar sendiri. Bahkan untuk anak kalian, Laras. Tapi kalian tidak punya ruang untuk Firda? Gadis yang seharusnya kalian rawat setelah orang tuanya meninggal?"
Laras, yang duduk di sudut sofa, menggigit bibir bawahnya dengan kencang, menunduk semakin dalam. Ia tidak berani membuka suara. Bambang mengangkat tangan, mencoba menjelaskan. "Kami... kami memang berniat memberikan yang terbaik untuk Firda, Tuan. Tapi, ya, keadaannya—"
"Berhenti berdalih," ujar Abraham dengan tegas, suaranya mulai menekan. "Keadaan? Keadaan bukan alasan untuk memperlakukan seseorang seperti ini. Apalagi keponakan sendiri." Sorot matanya tajam saat berpindah ke Wati. "Dan Anda, sebagai seorang wanita, tidak sedikit pun merasa malu atau bersalah membiarkan gadis itu tidur di tempat yang bahkan tidak layak disebut kamar?"
Wati gemetar, suaranya pecah. "Tuan Abraham, kami... kami tidak bermaksud seperti itu..."
"Tidak bermaksud seperti itu?" Abraham mengulangi, nadanya sarkastik. "Kalian membiarkannya bertahun-tahun. Itu bukan ketidaksengajaan. Itu keputusan."
Bambang dan Wati saling berpandangan dengan cemas. Laras tampak hampir menangis. Mereka bisa merasakan tekanan dari pria di depan mereka, seolah ruangan ini penuh dengan energi yang mencekik. Abraham tidak perlu mengangkat suara untuk membuat mereka merasa kecil.
Firda berdiri beberapa langkah di belakang Abraham, tubuhnya gemetar. Ia merasa seperti berada di tengah badai. Di satu sisi, ia merasakan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ada seseorang yang membelanya. Namun, di sisi lain, ia merasa takut. Meski bukan dia yang dimarahi, tetapi aura Abraham yang dingin dan intimidatif tetap membuatnya gentar.
"T-tuan Abraham..." Firda mencoba memanggil dengan suara kecil, berharap bisa meredakan situasi. Namun, pria itu bahkan tidak menoleh ke arahnya, fokus sepenuhnya pada Bambang, Wati, dan Laras.
"Saya tidak peduli dengan alasan kalian," lanjut Abraham. "Tapi mulai malam ini, Firda tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di tempat ini kecuali aku sendiri yang mengizinkannya. Dan satu hal yang harus kalian ingat baik-baik." Ia melangkah lebih dekat, hingga Bambang harus mundur setengah langkah. "Jangan pernah coba-coba mendekatinya tanpa seizinku. Jika kalian berani membuat masalah, kalian akan menghadapi konsekuensi yang tidak akan kalian lupakan seumur hidup."
Ancaman itu diucapkan dengan nada datar, tanpa emosi. Namun, justru itu yang membuatnya terasa lebih mengerikan. Bambang hanya bisa mengangguk dengan gemetar, sementara Wati menutup mulutnya, mencoba menahan isak tangis. Laras terlihat semakin kecil di kursinya, seperti ingin menghilang.
Firda menggigit bibir bawahnya, rasa bersalah seketika menyelinap ke dalam relung hatinya. "T-tuan..." ia memanggil dengan lebih pelan, matanya mulai berkaca-kaca. Ia merasa kasihan melihat paman, bibi, dan sepupunya yang begitu ketakutan. Namun, ia juga tahu bahwa Tuan Abraham benar. Pria itu bersikap tegas dan begitu berani, sebuah sikap yang tidak pernah berani untuk Firda tunjukkan karena dirinya hanyalah gadis penakut yang tidak punya nyali sebesar itu.
Karena pada kenyataannya... Keluarga Firda memang memperlakukan gadis itu dengan tidak adil selama ini.
Abraham akhirnya menoleh, sorot matanya yang tajam kini langsung bertemu dengan manik milik Firda yang tampak berpendar dan berkaca-kaca. "Kita pergi," ucapnya singkat, memberikan keputusan tanpa ruang untuk perdebatan. Firda mengangguk, meski hatinya masih penuh dengan perasaan campur aduk.
Saat mereka berjalan keluar rumah, Firda menoleh sekali lagi ke arah paman, bibi, dan sepupunya. Wajah mereka masih terlihat pucat dan ketakutan, namun mereka tidak mengatakan apa-apa. Firda tahu, mungkin ini adalah pertama kalinya dalam hidup mereka ada yang menentang mereka secara langsung. Dan untuk itu, ia merasa sedikit lega—bahwa setidaknya sekarang ada seseorang yang berdiri di sisinya.
Namun, di sisi lain, ia tidak bisa menghilangkan rasa takutnya terhadap Abraham. Meski pria itu sekarang adalah suaminya, sosoknya yang begitu dingin dan tegas tetap menjadi sesuatu yang sulit ia pahami.
Abraham dan Firda masuk ke dalam mobil hitam mewah yang terparkir di depan rumah. Firda duduk di sampingnya, masih dengan perasaan campur aduk antara lega, takut, dan kasihan pada keluarganya. Di sekeliling mereka, beberapa mobil pengawalan bersiap mengikuti.