Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEPIKIRAN
Demi memenangkan dirinya akibat mimpi barusan, Regita memilih turun untuk mengambil air dingin.
Malam itu terasa sunyi dan gelap, Ayah dan Bundanya pasti sudah tertidur. Saat melewati kamar Aksa, jantung Regita berdetak cepat. Wajahnya tiba-tiba saja memanas.
Sebelum jantungnya meledak, Regita buru-buru turun menuju dapur.
Dia membuka kulkas dan langsung meminum air dingin tanpa menuangnya ke gelas terlebih dahulu.
“Lo haus banget ya?” suara itu mengagetkan Regita.
Dia terlonjak dan melihat siapa yang baru saja mengagetkannya. Aksa. Pria itu tengah duduk di meja makan dalam keadaan gelap.
“K-kakak ngapain gelap-gelapan? Mengagetkanku saja!” kata Regita.
Dia masih memegang botol air mineral di tangannya, menatap Aksa dengan ekspresi campuran antara kaget dan kesal.
Lelaki itu duduk santai di meja makan, mengenakan kaus oblong putih dan celana pendek abu-abu, wajahnya tampak lelah namun tetap memancarkan senyum jahil yang sudah sangat dikenalnya.
"Gue nungguin lo," jawab Aksa santai, menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil menatap Regita dengan intens.
Regita mengerutkan kening, lalu meneguk airnya lagi untuk menyembunyikan rasa gugup. "Nungguin aku? Ngapain? Udah malem, Kak."
Aksa hanya tertawa kecil, suaranya terdengar lembut di tengah keheningan malam. "Tadi gue dengar langkah kaki lo lewat depan kamar. Kayaknya buru-buru banget. Mimpi buruk ya?"
Air yang baru saja diteguk Regita hampir saja tersedak.
Dia buru-buru menutup mulutnya dengan tangan sambil menatap Aksa dengan wajah panik. "Enggak, siapa bilang? Aku cuma haus!" jawabnya cepat, nada suaranya terlalu tinggi untuk terdengar santai.
Aksa mengangguk pelan, tapi ekspresinya penuh dengan rasa ingin tahu. "Oh, cuma haus, ya? Tapi kok kayaknya wajah lo merah banget? Udah minum air dingin, tapi mukanya masih kayak kepiting rebus."
"Kakak ngaco!" protes Regita, menepuk meja dapur kecil di sebelahnya. "Jangan sembarang ngomong, deh. Aku cuma kepanasan, tadi cuacanya gerah banget!"
Aksa bangkit dari kursinya dengan gerakan tenang, langkahnya mendekat ke arah Regita yang tiba-tiba merasa seperti seekor rusa kecil yang terpojok oleh predator.
Dia bersandar di meja dapur, jaraknya hanya beberapa langkah dari Regita, matanya menatap tajam seolah bisa membaca pikiran gadis itu.
"Kalau gitu, kenapa jantung lo kedengeran sampai sini?" tanya Aksa, bibirnya melengkung membentuk senyuman jahil.
Regita langsung memegang dadanya dengan refleks, mencoba menyembunyikan detak jantungnya yang memang berdegup kencang.
"Nggak kok! Itu perasaan Kakak aja!" jawabnya gugup, matanya melirik ke segala arah kecuali ke wajah Aksa.
Aksa menyilangkan tangan di dada, tetap menatap Regita tanpa mengalihkan pandangan. "Git, gue bukan anak kecil yang gampang dibohongin, tahu. Jangan-jangan lo mimpiin gue, ya?" tanyanya dengan nada menggoda.
Regita hampir saja menjatuhkan botol di tangannya. "Apa sih, Kak? Nggak jelas banget! Aku—aku cuma mau tidur lagi! Udah ya, aku naik!" katanya sambil berbalik dan berniat melangkah pergi.
Tapi sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, Aksa sudah meraih pergelangan tangannya dengan lembut namun tegas. Regita terhenti di tempat, tidak berani menoleh ke belakang.
"Git," panggil Aksa dengan suara yang lebih rendah, hampir berbisik. "Kenapa lo selalu lari tiap gue ngomongin hal kayak gini? Kalau emang nggak ada apa-apa, kenapa lo selalu panik?"
Regita menggigit bibirnya, menatap lantai dengan ekspresi penuh konflik. Dia tahu Aksa tidak akan melepaskannya sebelum mendapat jawaban. "Aku nggak panik. Aku cuma... nggak tahu harus gimana kalau Kakak terus ngomong yang aneh-aneh kayak tadi," katanya akhirnya, suaranya pelan.
Aksa tertawa kecil, menarik Regita sedikit lebih dekat hingga gadis itu mau tidak mau harus menatapnya. "Gimana kalau gue bilang gue suka bikin lo panik? Soalnya, lo kelihatan manis banget kalau lagi bingung kayak gini," goda Aksa, sudut bibirnya terangkat.
Wajah Regita memerah lagi, lebih parah dari sebelumnya. "K-kakak beneran nggak jelas! Udah ah, aku mau tidur!" katanya, mencoba menarik tangannya, tapi Aksa tetap menahannya.
"Git, gue serius," kata Aksa tiba-tiba, nadanya berubah lebih serius. "Gue cuma pengen tahu, lo beneran nggak ngerasain apa-apa kalau gue deketin lo kayak gini?"
Regita membeku, jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat.
Dia ingin menyangkal, ingin mengatakan sesuatu untuk menghindari pembicaraan ini, tapi matanya bertemu dengan mata Aksa yang terlihat begitu tulus.
"Aku... aku nggak tahu, Kak," jawabnya pelan, hampir seperti bisikan.
Aksa tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. "Kalau gitu, gue kasih waktu buat lo mikir. Tapi jangan terlalu lama, ya," katanya sambil melepaskan genggamannya perlahan.
Regita segera melangkah pergi, tapi hatinya masih berdebar kencang.
Di tengah keheningan malam, kata-kata Aksa terus terngiang di kepalanya, membuatnya tidak yakin apakah dia bisa benar-benar tidur malam ini.
•••
Pagi itu, Regita turun ke meja makan dengan langkah malas.
Wajahnya tampak lesu, dan lingkaran hitam di bawah matanya jelas terlihat akibat tidur yang tidak nyenyak.
Saat ia menarik kursi dan duduk, semua mata langsung menoleh padanya.
Ratih, yang sedang menyeduh teh, menatap putrinya dengan pandangan penuh tanya.
"Kok wajah kamu gitu, Git? Mata panda kamu itu, lho," komentarnya sambil menunjuk ke arah mata Regita.
Antonio, yang sedang membaca koran, menurunkan kacamatanya dan ikut menatap Regita. Namun, seperti kebiasaannya, ia tidak mengatakan apa-apa, hanya memandang dengan alis sedikit terangkat.
Regita merasa tidak nyaman dengan semua perhatian itu.
Ia buru-buru mengambil roti tawar dari tengah meja, mencoba sibuk mengoleskan selai cokelat untuk menghindari tatapan mereka.
“Iya, Bun. Aku begadang ngerjain tugas,” jawabnya cepat, tanpa menatap siapa pun.
Ratih mendekat dan duduk di sampingnya, matanya masih penuh kekhawatiran. "Tugas apa sampai segitunya? Bukannya kamu biasanya selesai lebih awal?" tanyanya lembut.
Regita menelan ludah. “Ehm... ada tambahan soal dari guru. Tiba-tiba aja ada deadline mendadak,” kilahnya, berharap Bundanya tidak akan bertanya lebih lanjut.
Namun, Ratih mengerutkan kening. “Git, jangan sampai kebiasaan begadang, ya. Itu nggak bagus buat kesehatan. Lihat tuh, sekarang kamu malah lemes kayak gitu. Sarapan yang banyak biar nggak sakit,” katanya sambil mendorong piring berisi telur dadar dan sosis ke depan Regita.
"Iya, Bun. Makasih," jawab Regita singkat. Ia mencuri pandang ke arah Aksa, yang duduk di seberangnya.
Namun, pemuda itu tampak tidak peduli, sibuk menggigit roti isi sambil melihat ponselnya.
Sama sekali tidak menoleh ke arahnya, bahkan sekilas pun tidak.
Kenapa sikapnya kayak gini pagi-pagi? batin Regita, merasa sedikit kesal sekaligus bingung.
Ia berharap ada sedikit perhatian atau setidaknya reaksi, mengingat apa yang terjadi semalam di dapur. Tapi, Aksa tampak begitu cuek, seolah tidak ada yang terjadi.
“Git, makan yang benar,” tegur Antonio tiba-tiba, memecah lamunan Regita.
Nada suaranya tegas seperti biasa. Regita tersentak, buru-buru memasukkan potongan roti ke mulutnya.
Ratih mengangguk setuju. "Iya, dengar tuh kata Ayah kamu. Kalau nggak, nanti malah makin pucat."
"Aku makan, kok," gumam Regita pelan, sambil berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
Aksa akhirnya bersuara, tapi bukan ke arah Regita. "Bun, tadi aku nyari kaos olahraga di lemari. Kayaknya lupa dicuci ya?" tanyanya santai, menatap Ratih sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.
"Ah, iya. Bunda lupa masukin ke laundry," jawab Ratih sambil menepuk dahinya. "Nanti Bunda cuci deh, atau kamu mau cari di tempat jemuran?"
Aksa mengangguk santai. “Aku cari aja nanti. Biar nggak repot.”
Regita merasa seperti diabaikan sepenuhnya, membuat dadanya sedikit sesak.
Apa dia marah sama aku? Tapi kan, semalam aku nggak salah apa-apa… pikirnya.
Ia melirik lagi ke arah Aksa, berharap pria itu akan menoleh atau memberi sinyal apa pun. Tapi tidak.
"Aksa," panggil Antonio tiba-tiba. "Hari ini kamu ikut ke kantor nggak?"
Aksa menatap ayahnya sekilas, lalu menggeleng. "Nggak, Yah. Aku ada janji sama teman di gym siang nanti."
"Jangan lupa bantuin angkat barang ke mobil dulu, ya," ujar Antonio sambil melipat korannya.
"Iya, siap," jawab Aksa tanpa ragu.
Sementara itu, Regita hanya bisa duduk diam, merasa seperti orang asing di antara keluarganya tersebut. Ia menghabiskan sarapannya dengan cepat, lalu bangkit dari kursi.
"Aku naik dulu, Bun. Mau siap-siap ke sekolah," katanya sambil membawa piringnya ke dapur.
"Jangan lupa minum vitamin, Git!" teriak Ratih dari meja makan.
"Iya, Bun," jawab Regita setengah hati, melangkah menuju tangga.
Sebelum melewati meja makan, ia kembali melirik Aksa.
Namun, pria itu masih tidak menatapnya, bahkan saat ia melewatinya dari jarak yang begitu dekat.
Apa aku salah ngomong semalam? Apa dia beneran marah sama aku? pikir Regita, langkahnya terasa berat menaiki tangga.
Jantungnya dipenuhi rasa gelisah yang sulit ia mengerti.