Putri Kirana
Terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan menjadi tulang punggung keluarga, membuatnya menjadi sosok gadis yang mandiri dan dewasa. Tak ada waktu untuk cinta. Ia harus fokus membantu ibu. Ada tiga adiknya yang masih sekolah dan butuh perhatiannya.
"Put, aku gak bisa menunggumu tanpa kepastian." Satu persatu pria yang menyukainya menyerah karena Puput tidak jua membuka hati. Hingga hadirnya sosok pria yang perlahan merubah hari dan suasana hati. Kesal, benci, sebal, dan entah rasa apa lagi yang hinggap.
Rama Adyatama
Ia gamang untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan mengingat sikap tunangannya yang manja dan childish. Sangat jauh dari kriteria calon istri yang didambakannya. Menjadi mantap untuk mengakhiri hubungan usai bertemu gadis cuek yang membuat hati dan pikirannya terpaut. Dan ia akan berjuang untuk menyentuh hati gadis itu.
Kala Cinta Menggoda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Teleponan Sama Siapa?
Ketukan di pintu kamarnya terdengar. Disusul suara Rahmi memanggil-manggil. Puput beranjak bangun dari sajadah yang masih tergelar. Baru saja selesai melaksanan shalat isya. Ia pun balas berteriak menyuruh Ami masuk sambil melipat mukenanya.
"Teh, ada tamu tuh." Ami masuk dan meloncat naik ke atas kasur milik kakaknya itu.
"Tamu siapa?!" Puput melipat sajadah. Menyimpan sekalian dengan mukena ke tempat biasanya.
"Du di du di dam dam du di du di dam....🎵🎵🎵 Du di du di dam dam du di du di dam 🎵." Tangan Ami menari-nari sambil telentang di atas kasur.
"Aehh....kamu mah malah nyanyi. Ada siapa, Mi?" Puput berkacak pinggang menatap adik bungsunya itu. Gemas jadinya.
"Ihhh Teteh mah gak pinter. Masa gak ngerti kode sih." Dengan santai Ami malah berguling ke tengah memeluk guling.
"Oh, berarti nge prank. Gak ada tamu kan?!" Puput beralih duduk di kursi menghadap meja rias untuk menyisir rambutnya. Lanjut memakai bandana untuk tampilan lebih rapih.
Ami beralih bangun dan duduk sila menatap punggung sang kakak. "Aa Idam, teh....ada Aa Idam. Ih si teteh mah gak pinter aku nyanyiiin kode juga," ujarnya sambil memutar bola mata.
"Bilang dong yang jelas dari tadi." Puput menggelitik pinggang Ami yang suka bermanja padanya, sambil lalu. Membiarkan si bungsu berada di kamarnya.
Puput berbalik badan di ambang pintu. Teringat belum memberi ultimatum. "Mi, awas jangan mainin alat make up Teteh!"
"Asiyaaap, Tuan Putri!" Ami menyahut sambil memberi hormat. "Tapi aku pinjem hape Teteh ya...ada tugas bahasa Indonesia."
"Iyaaa---"
Puput menghampiri tamu yang tengah tersenyum menyambut kedatangannya. Ada Zaki yang menemani berbincang dan kini pamit meninggalkan Idam.
"Maaf ya lama nunggu." Puput duduk berhadapan dengan sang tamu pemilik mata elang yang tatapannya dalam dan menghanyutkan. Namun biasa saja bagi Puput.
"Santai aja, Put. Tadi ngobrol seru sama Zaky. Dia ngajak main bola di lapang desa sabtu besok." Idam tersenyum manis. Ada kegusaran kini tergambar di wajahnya setelah duduk berhadapan dengan Puput.
"A Idam, silakan di minum." Aul selalu siaga bertugas membuatkan minuman setiap ada tamu yang datang. Berlalu lagi setelah menyimpan dua gelas teh tawar di meja.
Obrolan basa basi sebagai pembuka mengalir santai antara Idam dan Puput. Saling bertanya kabar ibunya masing-masing, yang sama-sama sudah tidak memiliki ayah.
"Put, aku sengaja datang ke sini mau mengulang lagi permintaan dulu." Idam mulai masuk pada tujuan utama. Berkata serius. "Tahun ini umurku 26, Put. Target usia menikah. Gimana...apa sekarang sudah ada kepastian jawaban?! sambungnya dengan sorot mata penuh harapan. Dua tahun lamanya Idam sabar menunggu cintanya berbalas. Ia sudah mengenal Puput sejak SMA karena satu sekolah hanya beda kelas. Lalu terpisah lama karena kuliah berbeda kota.
Puput menggigit bibir. Mengerti kemana arah pembicaraan laki-laki berkulit sawo matang itu. Idam lelaki yang baik, namun masalah hati tidak bisa dipaksakan.
"Idam, sebaiknya jangan nunggu aku. Karena aku belum ada keinginan menikah dalam waktu dekat ini."
"Tambah lagi, sampai sekarang rasa aku ke kamu tidak lebih dari sekadar teman. Maaf ya...." Puput tersenyum meringis. Baginya, hal yang paling berat untuk dihadapi adalah saat harus menolak niat baik seorang lelaki yang ingin melamarnya. Dan Idam adalah lelaki kesekian yang ditolaknya secara halus.
Idam tersenyum kecut. "Baiklah, Put. Aku nyerah sekarang. Tadinya berharap seiring waktu pendirianmu berubah. Tapi sama aja ya," pungkasnya diiringi kekehan.
"Kalau udah ngomong gini kan enak. Awalnya kita baik, kedepannya hubungan pertemanan kita harus tetap baik ya, Put?" Pinta Idam.
"Tentu saja. Jangan lupa kalau mau nikah undang aku. Awas!!" Puput mengepalkan tangan. Tidak bermaksud mengancam serius. Hanya untuk mencairkan suasana agar tidak ada kekakuan diantara mereka.
"Kamu juga. Awas kalau nikah gak ngundang!" Idam balik mengancam. Tawa lepas pun berderai mengakhiri perjumpaan.
Di kamar Puput.
Ami serius mendengarkan dan menonton dongeng cerita rakyat berjudul Bawang Merah Bawang Putih. Cerita rakyat yang berasal dari Riau. Sudah kali ketiga ia memutar ulang cerita tersebut sambil menuliskan dan menghafal. Lalu mencoba mempraktekkan mendongeng dengan berdiri di depan cermin. Karena besok setiap siswa harus menarasikan lagi di depan kelas.
"Yes. Sudah hafal!" Ami bersorak sendiri. Membereskan bukunya. Merasa yakin sudah menguasai dongeng yang bercerita tentang dua orang gadis cantik, kakak beradik yang memiliki sifat yang bertolak belakang. Bawang Merah memiliki sifat yang negatif yaitu malas, sombong, dengki.
Sementara Bawang Putih memiliki sifat positif seperti rendah hati, tekun, rajin, dan jujur. Keduanya hidup dengan ibu tiri yang ternyata juga memiliki sifat seperti Bawang Merah. Seorang ibu tiri yang tidak adil dan pilih kasih.
Ponsel yang sudah disimpannya di atas nakas berdering. Ami yang bersiap numpang tidur di kamar kakaknya itu bangun lagi menghampiri sumber suara.
Param siapa ya?
Ami mengernyit bingung melihat nama pemanggil yang tampil di layar itu. Teh Puput belum kembali. Berarti masih bersama tamu. Dengan pertimbangan itu, Ami berinisiatif mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum---" Ami melekatkan ponsel di telinganya. Terdengar jawaban salam dari sebrang sana.
...***...
Rama mengernyitkan dahi mendengar suara anak kecil yang menjawab panggilannya. Khawatir salah pijit, dilihatnya lagi nama yang barusan ia hubungi. Benar, namanya Putri Kirana.
"Hallo, ini dengan siapa ya?"
Rama fokus lagi dengan sambungan teleponnya. Yang sebelumnya perang batin terlebih dulu baik buruknya menelpon Puput. Mengingat tidak ada hal penting menyangkut pekerjaan. Sampai harus berpikir keras dulu membuat alasan agar tidak curiga kalau ia sedang menebar modus.
"Ini dengan Rama. Ini---"
"Oh Kak Rama...pacarnya teh Puput ya?!" Suara riang anak gadis yang tak lain adalah Ami, memotong ucapan Rama.
"Aku Ami alias Rahmi, Kak. Adeknya Teh Puput yang cantik dan imut. Ingat gak, Kak?!"
Rama baru ingat dengan Rahmi. Antara senang dan kaget mendengar status yang disematkan adiknya Puput itu untuknya. Ini untuk yang kedua kalinya. Ditambah ucapan terakhir penuh percaya diri yang membuatnya terkekeh.
"Hai, Ami. Iya...ingat dong. Oh ya, Teh Puputnya lagi apa?!" Rama beralih duduk di kursi yang ada di balkon sambil menikmati pekatnya malam dan udara Jakarta yang panas.
"Teteh lagi ada tamu, Kak."
"Cewek atau cowok?"
"Cowok dong....namanya Aa Idam."
Rama spontan berdiri. Jelas terkejut mendengar informasi dari Ami itu. Apakah dia...
"Dia....pacarnya Teh Puput ya?!" Rama bertanya dengan hati-hati. Deg-degan mendengar jawaban seandainya....
"Bukan atuh Kak. Cuma Kak Rama aja pacarnya Teteh. Masa iya ada 2. Selingkuh itu namanya."
Membuat Rama tergelak. Menyenangkan juga bicara dengan adiknya Puput itu. Anak kecil sudah tahu dengan pengertian selingkuh. Haduh.
"Terus siapa dong?
"Aa Idam mah teman Teteh. Waktu Teteh ulang tahun, kita ditraktir ngebaso. Pokoknya baik deh."
"Kak...Kak Rama, kenapa namamya jadi Param di hape Teteh? Nggak banget ihh." sambung Ami dengan nada kecewa.
Rama mengernyit. Yang tentu saja tidak akan terlihat oleh Ami. "Masa sih?"
"Iya. Makanya....aku kira bukan Kak Rama."
"Kak Rama kapan mau ke rumah lagi? Aku kangen....ehehehe---"
Rama lagi-lagi tertawa. Polosnya sikap Ami mengingatkannya pada sikap polos Puput saat makan siang di hotel setelah meeting.
"Pak, nanti perhatiin wajah saya ya! Gara-gara cabe, saya jadi gak pede. Gimana kalo sekarang remah nasi yang nempelnya."
"Kakak lagi di Jakarta. Belum pasti kapan ke Ciamis nya lagi. Emang Ami beneran kangen?!" Rama menggoda bocah perempuan kelas enam SD itu.
"Iya, Kak. Kangen oleh-olehnya! Hi hi hi----"
Rama tertawa lepas. Tingkah dan ucapan polos Ami benar-benar menghiburnya malam ini.
"Tenang....nanti Kakak kirim oleh-oleh deh. Nanti Kak Cia yang nganter ke rumah ya. Ami emang pengen apa?"
"Hmm...kata Ibu gak boleh meminta. Tapi kalau dikasih harus diterima."
Rama mengapit ponsel antara telinga dan bahunya. Sambil berpindah masuk ke dalam kamar karena angin malam berhembus kencang.
"Ooh gitu ya---"
"Tapi kalau Kak Rama tanya apa kesukaan aku, aku suka donat madu....suka pizza juga. Kalau buah-buahan sukanya anggur, jeruk, pear, lengkeng. Tapi kata Ibu gak boleh minta. Kalau dikasih ya harus diterima."
Sudah kali ke berapa Rama tertawa lepas. Gemas sendiri dengan ucapan-ucapan Ami yang muter-muter penuh kode tersirat.
"Ami....lagi teleponan sama siapa?!"
Deg. Jantung Rama mendadak berdebar lebih kencang mendengar sayup-sayup suara Puput. Suara mojang yang sedang dirindukannya saat ini, kini terdengar tengah bertanya jawab dengan Ami.