Liu Wei, sang kultivator bayangan, bangkit dari abu klannya yang dibantai dengan Pedang Penyerap Jiwa di tangannya. Dibimbing oleh dendam dan ambisi akan kekuatan absolut, dia mengarungi dunia kultivasi yang kejam untuk mengungkap konspirasi di balik pembantaian keluarganya. Teknik-teknik terlarang yang dia kuasai memberinya kekuatan tak terbayangkan, namun dengan harga kemanusiaannya sendiri. Di tengah pertarungan antara takdir dan ambisi, Liu Wei harus memilih: apakah membalas dendam dan mencapai keabadian lebih penting daripada mempertahankan sisa-sisa jiwa manusianya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pralam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bulan Merah
Langit senja berubah merah darah saat Liu Wei tiba di pinggiran Lembah Bulan Berdarah. Sejauh mata memandang, tanah berbatu dan tandus membentang, diselingi kolam-kolam kecil yang airnya merah pekat. Udara terasa berat oleh energi spiritual yang kental, membuat bahkan bernafas pun terasa seperti menelan cairan kental.
Liu Wei berdiri di tepi tebing, memandang ke bawah ke arah lembah yang akan menjadi panggung pertarungannya. Kalung jade di lehernya berdenyut dengan ritme yang semakin cepat - seolah merasakan kedekatan dengan bagian-bagiannya yang hilang.
"Sudah lama aku menunggumu, Wei'er."
Suara itu - suara yang telah menghantuinya selama lima belas tahun. Liu Wei berbalik perlahan, matanya yang hitam pekat bertemu dengan sosok Lao Tianwei yang berdiri beberapa langkah darinya.
"Lima belas tahun," Liu Wei berkata, suaranya tenang namun mengandung ketajaman pisau. "Lima belas tahun aku mempersiapkan diri untuk moment ini."
Lao Tianwei tersenyum - senyum yang sama seperti malam pembantaian itu. "Dan lihatlah dirimu sekarang. Begitu kuat, begitu... sempurna." Dia mengulurkan tangannya. "Kembalilah padaku, Wei'er. Masih belum terlambat."
Liu Wei hampir tertawa. "Kembali? Setelah semua yang kau lakukan?"
"Semua yang kulakukan?" Lao Tianwei menggelengkan kepala. "Semua yang kulakukan adalah untuk mempersiapkanmu, Anak Muda. Kau pikir kebetulan Pedang Penyerap Jiwa jatuh ke tanganmu? Kau pikir kebetulan kau menemukan teknik-teknik terlarang itu?"
Sesuatu yang dingin merayap di punggung Liu Wei. "Apa maksudmu?"
"Sejak awal, kau adalah yang terpilih." Lao Tianwei melangkah mendekat. "Darahmu, dendammu - semuanya adalah bagian dari rencana yang lebih besar."
"BOHONG!" Liu Wei menghunuskan Pedang Penyerap Jiwa, aura membunuh memancar dari tubuhnya seperti badai hitam. "Kau membantai keluargaku!"
"Untuk membuatmu kuat!" Lao Tianwei membalas. "Untuk membuatmu layak!"
Sebelum Liu Wei bisa menyerang, tanah di bawah kaki mereka bergetar. Dari kedalaman lembah, sebuah suara gemuruh terdengar, diikuti dengan munculnya pilar-pilar cahaya merah yang menjulang ke langit.
"Ah, sudah dimulai." Lao Tianwei tersenyum. "Lihatlah, Wei'er. Lihatlah takdirmu!"
Di tengah lembah, tanah terbelah, menampakkan sebuah formasi kuno yang ukurannya mencakup seluruh dasar lembah. Dan di tengah formasi itu...
"Ibu?" Liu Wei berbisik, matanya melebar melihat sosok yang tergantung di tengah formasi - Liu Mei Xue, masih sama seperti lima belas tahun lalu, seolah waktu tak menyentuhnya.
"Ya, ibumu." Lao Tianwei mengangguk. "Atau lebih tepatnya, wadah untuk ibumu."
"Apa yang kau lakukan padanya?" Liu Wei menggeram, killing intent-nya semakin pekat.
"Aku menjaganya tetap 'hidup', menunggu moment ini." Lao Tianwei menjelaskan. "Kau lihat, Wei'er, untuk ritual Pencapaian Keabadian, kita membutuhkan tiga elemen: Darah murni dari klan kuno, jiwa yang telah melampaui kematian, dan..." dia menatap Liu Wei penuh arti, "...kebencian yang absolut."
Liu Wei merasakan energi dari Pedang Penyerap Jiwa bergejolak, merespon kata-kata Lao Tianwei. Ribuan jiwa yang terperangkap di dalamnya menjerit, seolah mengenali sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari kematian.
"Dan kau telah memberikan semuanya pada kami," sebuah suara baru terdengar - suara yang sedingin es abadi.
Dari balik pilar cahaya, sosok berjubah putih tanpa wajah muncul, melayang beberapa kaki di atas tanah. "Selamat datang, Liu Wei. Atau haruskah kupanggil kau... Wadah Kebencian?"
"Siapa..." Liu Wei terhenti. Ada sesuatu yang familiar dari sosok ini, sesuatu yang mengingatkannya pada mimpi-mimpi buruknya.
"Aku adalah yang Abadi," sosok itu menjawab. "Yang telah ada sejak awal waktu, yang telah melihat ribuan dunia lahir dan mati." Dia mengulurkan tangannya yang pucat. "Dan kau, Anak Muda, adalah kunci terakhir yang kubutuhkan."
Mendadak, seluruh tubuh Liu Wei terasa kaku. Energi spiritual yang selama ini dia bangga akan kekuatannya, kini terasa asing dan memberontak.
"Teknik-teknik terlarang yang kau pelajari," Lao Tianwei menjelaskan, "ritual-ritual yang kau lakukan dengan Pedang Penyerap Jiwa - semuanya adalah untuk mempersiapkan tubuh dan jiwamu."
"Mempersiapkan... untuk apa?" Liu Wei bertanya, meski dia takut akan jawabannya.
"Untuk menjadi wadah sempurna," sosok putih itu menjawab. "Wadah untuk kebencian sejati, untuk kekuatan yang bahkan para dewa pun takutkan."
Bulan purnama akhirnya muncul sepenuhnya, cahayanya yang keperakan berubah merah saat melewati pilar-pilar cahaya. Dan saat itu juga, Liu Wei merasakan seluruh dunianya runtuh.
Karena di bawah cahaya bulan merah itu, dia akhirnya melihat kebenaran - bahwa selama lima belas tahun, setiap langkah yang dia ambil, setiap jiwa yang dia renggut, setiap tetes kebencian yang dia pelihara... semuanya telah membawanya tepat ke tempat yang mereka inginkan.
Tapi pertanyaannya sekarang: apakah dia akan menerima takdir ini? Atau...
Liu Wei menggenggam erat Pedang Penyerap Jiwa, merasakan ribuan jiwa di dalamnya bergejolak. Di hadapannya, pilihan yang telah diramalkan sang wanita tua kini terbentang.
Dan di bawah bulan yang berdarah, Liu Wei harus memutuskan - akankah dia menjadi wadah kehancuran, atau akankah dia menemukan jalan ketiganya sendiri?
Karena terkadang, dalam dunia yang diatur oleh hukum-hukum kuno dan takdir yang tak terelakkan, pemberontakan terbesar adalah menolak untuk memilih sama sekali.