Alice Catlyn, seorang gadis culun yang selalu menjadi sasaran ejekan perundungan di sekolah, menemukan pelipur lara dalam sosok seseorang yang selalu hadir untuknya. ketulusan dan kepedulian orang itu membuat Alice diam-diam jatuh cinta. Namun perasaannya tetap tersimpan rapat, tak pernah di ungkapkan.
beberapa tahun kemudian, Alice berubah menjadi pribadi yang ceria dan penuh semangat. Di tengah kehidupannya yang baru, ia bertemu dengan seorang pria berhati dingin dan penuh misteri. tatapan tajam dan wajah datar pria itu tak mampu menyembunyikan cinta mendalam yang ia rasakan untuk Alice
Kemanakah hati Alice akan berlabuh? kepada seseorang yang dicintainya atau seseorang yang mencintainya?
Ikuti perjalanan cinta Alice yang penuh dengan Lika liku, dalam"Cinta Terakhir Alice". sebuah kisah yang menyentuh hati tentang pilihan dan takdir cinta.
Note: kisah ini terbagi menjadi 2 season, season pertama di masa sekolah SMA dan season kedua di masa dewasa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nda apri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langit kelabu
Alice semakin tidak tega melihat wajah Erlangga yang menahan sakit dan pucat."Papah jangan khawatir, aku akan menghubungi temanku yang lain. atau aku akan segera mencari pertolongan di sekitar sini."
Baru akan beranjak , tangan Alice di tahan oleh Erlangga.
"Tidak, Nak... tidak perlu. Mendekat lah papah ingin mengatakan sesuatu padamu," suara Erlangga lemah, napasnya tersengal-sengal.
Alice menahan tangis yang mulai menyesakkan dadanya, lalu menunduk untuk mendengar lebih jelas.
"Maafkan papah... papah tidak bisa menjagamu lagi seperti dulu. Seperti yang papah katakan kemarin, kamu harus bisa menghadapi semuanya, apapun yang terjadi." Suara Erlangga serak, setiap kata yang keluar terasa seperti pisau yang mengiris hati Alice.
"Dunia ini keras, dan kamu... kamu harus kuat menghadapinya. Papah berharap kamu akan menemukan seseorang yang bisa menjagamu, yang bisa menyayangimu... untuk menggantikan papahmu. Seseorang itu... akan segera datang dalam hidupmu. Papah yakin.. ." Erlangga berhenti sejenak, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menusuk.
"Jangan pernah merasa sendirian di dunia ini, Alice. Papah akan selalu hadir di dalam hatimu... di setiap langkahmu. Selalu," Erlangga mengucapkannya dengan sisa-sisa kekuatan
Air mata Alice mengalir tanpa henti. "Papah, tolong jangan bicara seperti itu... " ucapnya, suaranya pecah di antara isakan.
Erlangga menatap Alice dengan senyum yang begitu lemah, tapi penuh cinta. "Kamu sudah siap, Nak... kamu jauh lebih kuat dari yang kamu kira..."
Sesaat setelah mengucapkan kata-kata terakhir itu, napas Erlangga semakin melemah, matanya perlahan-lahan terpejam. Alice menggemparkan tubuh Erlangga, berteriak memanggil namanya, berharap papah nya masih mendengarnya.
"Papah... papah, jangan tinggalkan aku..." Alice menangis dengan hati yang hancur, menyadari bahwa dia baru saja kehilangan sosok yang paling dicintainya di dunia.
Alice merasa tak berdaya sekarang, dia terus menangis memeluk tubuh papahnya yang lemah dan sudah tidak bernyawa. Dia merasa nasib papahnya sangat tragis—meninggal di tengah situasi yang begitu menelan dan penuh penderitaan. Bukannya mendapatkan kenyamanan di saat-saat terakhirnya, papah Alice justru meninggalkan dunia ini dalam keadaan penuh kesulitan dan sakit, tanpa sedikit pun rasa damai.
Di lain sisi,
Sebelumnya, Anjani sempat meminta nomor ponsel milik Alice kepada Danzel.
Anjani terus menghubungi Alice dengan perasaan cemas dan khawatir, ntah mengapa perasaannya tidak enak. ia merasa bahwa sesuatu telah terjadi kepada Alice.
Panggilan demi panggilan tidak ada yang terjawab. Anjani mulai merasa putus asa ketika akhirnya, setelah beberapa saat, teleponnya bergetar menandakan bahwa panggilan terakhirnya telah diangkat. dia sempat berbicara dengan Alice di sebrang sana. hingga akhirnya
Takk.... ponselnya terjatuh merosot begitu saja dari tangannya saat mendapati kabar menyedihkan dari Alice.
**
Pagi hari,
Pagi itu, hujan gerimis mengguyur lembut seluruh kota, seolah ikut merasakan duka mendalam yang melingkupi pemakaman Erlangga. Udara terasa dingin, dan setiap tetes hujan yang jatuh ke tanah menciptakan suasana hening yang penuh kepedihan. Langit kelabu seakan menangis bersama Alice, mengiringi kepergian seseorang yang paling berharga dalam hidupnya.
Alice berada di tepi makam dengan wajah tertunduk, air mata terus mengalir tanpa henti, membasahi pipinya yang sudah sembab karena menangis. Tubuhnya terasa begitu lemah, seolah tak sanggup lagi berdiri tegak menghadapi kenyataan yang kini menghancurkan dunianya. Di sekelilingnya, orang-orang mulai meninggalkan pemakaman dengan bisikan-bisikan simpati.
Sebelumnya, Alice sudah kehilangan mama nya sejak kecil. hidup tanpa kasih sayang seorang ibu sudah sangat berat, apalagi sekarang Alice juga kehilangan sosok yang menjadi pelindung sekaligus penuntun hidupnya yaitu papahnya. dia benar-benar sendirian di dunia ini.
Setelah selesai meluapkan kesedihannya, Alice berdiri perlahan dari tempatnya. Tubuhnya terasa berat, seolah semua energi telah terkuras habis oleh tangis dan kesedihan yang begitu mendalam.
Alice menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk melangkah pergi. Saat Alice berbalik, dia melihat ibu Danzel yaitu Anjani dan juga Danzel yang ternyata sudah berada disana sejak tadi.
Danzel tampak canggung seperti tak tahu harus berbuat apa, matanya menyiratkan iba yang mendalam untuk Alice. Sedangkan Anjani melangkah pelan mendekat.
"Alice..."suara Anjani terdengar lirih."Kami turut berdukacita nak."ucapnya menggenggam erat kedua tangan Alice dengan lembut
Alice hanya mengangguk pelan, belum mampu mengeluarkan kata pun. Kehilangan papahnya seolah membuat lidahnya kelu, dunianya kosong.
"Dengar nak, kami tahu apa yang sedang terjadi padamu. ikutlah bersama kami dan tinggalah di rumah kami."pinta Anjani dengan tulus
Alice mendongak perlahan, matanya bertemu dengan Anjani. Ada kehangatan dalam tatapan wanita itu. Namun, Saat beralih ke Danzel. Pria itu tetap dalam kebisuannya, seolah tak tahu harus berkata apa. Tak ada ucapan kata ucapan duka atau sekadar ungkapan simpati yang keluar dari mulutnya.
"Tidak Bu, Jangan khawatir aku masih memiliki apartemen dan mungkin aku akan tinggal disana untuk sementara."ucap Alice menolak secara halus. sebenarnya dia berbohong soal apartemen. apartemen yang di milikinya juga telah disita
Dia tidak ingin merepotkan seseorang walaupun sebelumnya orang itu sudah di bantu olehnya.
"Tapi, Nak—"
"Terima kasih atas tawarannya, dan terima kasih sudah hadir di pemakaman Papahku. Semoga Ibu sekeluarga selalu dalam keadaan baik. Sampai jumpa," kata Alice sambil memotong kata Anjani dengan sopan.
Setelah itu, tanpa menoleh lagi ke arah Danzel, Alice berbalik. dia akhirnya meninggalkan pemakaman, langkahnya pelan namun pasti, melewati jalan setapak yang basah oleh gerimis. Angin berhembus lembut, seolah membisikkan perpisahan terakhir dari papahnya untuknya.
Anjani hanya bisa menatap kepergian Alice dengan perasaan sedih, Hatinya terasa perih melihat gadis itu begitu terluka dan memilih menghadapi semuanya sendirian.
"Danzel, kenapa kamu hanya diam saja melihat Alice seperti ini!"tanya Anjani dengan tatapan kecewa
"Seharusnya kamu menguatkannya, memberikannya sebuah dukungan penuh dan juga memeluknya."lanjut Anjani, suaranya mulai bergetar antara marah dan sedih.
Danzel hanya bisa menunduk, tak mampu menjawab
"Seandainya saja malam itu kamu langsung datang membantu Alice dan papahnya," Anjani melanjutkan dengan nada yang lebih berat, "mungkin papah Alice masih ada di sini sekarang."
Suasana menjadi semakin hening, seolah setiap kata yang diucapkan Anjani menjadi beban tambahan di hati Danzel.
"Ingatlah perbuatan baik Alice. Dia dan papahnya sudah membantu biaya operasi ibumu. Bayangkan, jika tidak ada Alice, mungkin Ibu juga sudah tiada."
Setelah mengakhiri ucapannya, Anjani menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri."Danzel," katanya tegas, "kejar Alice. Bawalah dia ke rumah kita. Dia butuh perlindungan, dia butuh dukungan... dan kamu yang harus memberikannya."
Namun, Danzel masih tetap bungkam. Matanya terfokus ke tanah, sementara tubuhnya kaku, seolah tak mampu bergerak meski sekadar melangkah.
Melihat reaksinya, Anjani menghela nafas kasar, ekspresi wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam. "Danzel, sampai kapan kamu akan tetap seperti ini? Alice sudah kehilangan segalanya. Kamu benar-benar tidak akan melakukan apa pun untuknya?"
"Baiklah jika ini memang keputusanmu, ibu tidak akan memaksamu lagi. kamu sudah benar jauh berbeda dari Danzel yang dulu, Rachel telah membawa pengaruh buruk pada putra ibu."
Anjani terlihat sangat kecewa kepada putranya itu, Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Danzel berdiri sendirian.
cara nya hanya wajib follow akun saya sebagai pemilik Gc Bcm. Maka saya akan undang Kakak untuk bergabung bersama kami. Terima kasih