Binar jatuh cinta pada kakak kelasnya sudah sangat lama, namun ketika ia merasa cintanya mulai terbalas, ada saja tingkah lelaki itu yang membuatnya naik darah atau bahkan mempertanyakan kembali perasaan itu.
Walau mereka pada kenyataannya kembali dekat, entah kenapa ia merasa bahwa Cakra tetap menjaga jarak darinya, hingga ia bertanya dan terus bertanya ..., Apa benar Cakrawala juga merasakan perasaan yang sama dengannya?
"Jika pada awalnya kita hanya dua orang asing yang bukan siapa-siapa, apa salahnya kembali ke awal dimana semua cukup baik dengan itu saja?"
Haruskah Binar bertahan demi membayar penantian? Atau menyerah dan menerima keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29. Surat
Binar sedang berendam dengan air hangat di bathub. Tatapan mata gadis itu kosong. Lalu tiap kali mengingat percakapannya dengan Cakra tadi, air matanya kembali menetes, rasanya lelah, namun semua sudah seperti ini, lebih baik tidak menahan perasaannya lagi.
Hati kecilnya bertanya-tanya, apa ini akhir hubungannya dengan Cakra? Meski ia tak mau ... atau meski Cakra tak mengucapkannya secara langsung, namun bukankah ia harus mengerti dan sadar diri?
***
Setelah membersihkan diri, Binar kini meringkuk di atas ranjang kamarnya sambil bergelung dalam selimut. Dengan kedua mata yang bengkak karena terlalu lama menangis. Hatinya masih sakit, dan rongga dadanya masih sesak seakan oksigen di sekitarnya telah menipis, meski tak ada lagi air mata yang menyusuri pipinya. Rasa sakitnya luar biasa, lebih dari saat dulu sempat mengira Cakra pacaran dengan Ravana.
Gadis itu kini meraih smartphone di atas nakas. Mulai menghidupkan dan membukanya. Kemudian, ia mencari sebuah kontak nomor seseorang. Dan setelah menemukannya, Binar menekan panggilan pada kontak itu.
Panggilan pertama, sibuk. Binar kembali berusaha menelpon Pelangi sampai tiga kali, tapi masih sibuk juga. Gadis itu menyerah dan kini melempar smartphone seenaknya sampai penutup dan baterainya berserakan di lantai.
Hati kecilnya nelangsa. Kenapa di saat seperti ini tidak ada seorang pun yang bisa ia andalkan? Binar pikir selama ini ia tak sendiri. Tapi ketika semua ini terjadi, apa benar seperti itu? Pelangi mungkin sedang telponan dengan Bima. Semua orang punya urusannya sendiri, dan kini, Binar merasa benar-benar sendiri dan tidak punya siapa-siapa.
Kepalanya terasa pening, gadis itu mengubah posisi menjadi duduk, ia mengambil gelas dan menuangkan air putih dari sebuah teko bening di atas nakas. Kemudian, meminum air putih itu sampai tersisa setengah gelas.
Ia kembali menaruh gelas. Tatapannya tak sengaja mengarah pada sebuah benda yang ia simpan dalam kotak kaca. Berusaha ia jaga agar tak tergores atau terkena debu sedikit pun.
Benda itu menyimpan salah satu kenangan indahnya bersama Cakra. Namun, benda itu bukan miliknya.
Ia kini berdiri dari duduknya. Melangkah menuju keberadaan benda yang terus ia tatap.
***
Cakra sedang tiduran di ranjang sambil menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Ketika kemudian, ada yang mengetuk pintu kamarnya, sehingga ia menoleh dengan kening mengernyit. Apakah yang datang papanya lagi? Tanyanya dalam hati.
Dengan malas, ia bangun dari tempat tidur. Lelaki itu kini melangkah gontai menuju pintu kamar. Setelah sesampainya di sana, ia membuka pintu dan melihat salah seorang pelayan sedang berdiri di luar kamarnya.
"Ada apa?" tanya Cakra.
"Ini Den, ada titipan. Barusan pembantu dari rumah non Binar ke sini, katanya dia disuruh buat ngasih ini ke Den Cakra."
Kening Cakra mengernyit ketika menerima sebuah paper bag dari maid itu.
"Kalau gitu, bibi pergi ya, Den."
"Oke," kata Cakra sambil mengangguk, membiarkan pelayan itu pergi.
Kemudian, ia masuk dan menutup pintu kamar, lalu menguncinya. Lelaki itu langsung membuka paper bag di tangannya, dan kini mengambil sebuah topi yang dulu pernah ia pinjamkan pada Binar.
Kemudian, ia melihat ke dalam paper bag lagi. Lelaki itu menemukan secarik kertas di sana, Cakra mengambilnya. Lelaki itu kini duduk di pinggir ranjang.
Untuk kak Cakra
Kak Cakra termasuk bagian terbaik yang ada di hidup aku. Makasih banyak atas semuanya, maaf kalau aku udah terlalu lancang masuk ke hidup kak Cakra.
Aku minta maaf kalau kak Cakra berkali dibuat kesal karena aku. Aku nulis ini sekalian karena aku pikir kak Cakra nggak akan mau baca chat aku.
Meski hubungan kita nggak lama, aku senang. Aku ngerti, mungkin sebaiknya kita memang putus.
Makasih dan maaf.
Binar.
Cakra masih diam ketika telah selesai membacanya. Namun perlahan, tangannya meremas kertas itu, lalu melemparkannya. Ia menghela napas berat lalu mengepalkan tangan. Kemudian, ia berdiri dan melempar topi miliknya. Lelaki itu berteriak sambil menendang apa pun yang ada di sekitarnya. Cakra mengacak-acak kamar, menarik selimut dan bantal, melemparnya sampai berserakan di lantai.
Ia mengalihkan pandangan, menatap pantulan dirinya di cermin. Cakra menghampiri cermin itu.
Sampai di sana, Cakra mengangkat kepalan tangannya. Melayangkan tinjuan pada kaca yang memantulkan dirinya. Bunyi kaca yang pecah langsung terdengar ketika tinjuan tangannya berbenturan dengan kaca itu.
Darah segar mengucur dari jari-jari dan punggung tangan kanan Cakra. Beberapa bagian kecil kaca yang pecah menusuk kulitnya.
Napas lelaki itu masih memburu. Dan perlahan, ia menarik tangannya. Kini menatap kaca yang retak di depannya.
"Kak? Kak Cakra ada di dalam?" ia bisa mendengar seruan Lavanya dari luar kamarnya. Sesekali, gadis itu juga mengetuk pintu.
"Kak Cakra nggak papa? Aku barusan dengar Kak Cakra teriak!"
Cakra tak menjawab. Ia sedang tidak baik-baik saja, lelaki itu memundurkan tubuh. Kini jatuh meluruh. Terduduk bersamaan dengan cairan hangat yang jatuh mulai menyusuri pipinya.
Tangan kirinya meraup rambut frustrasi, lelaki itu menyandar pada ranjang di belakangnya.
Ia mengacuhkan seruan Lavanya yang mulai terdengar panik dan terus menggedor pintu kamar. Gadis itu pasti mendengar teriakannya, juga suara dari kaca yang pecah terkena pukulan.
Sekali lagi, lelaki itu berteriak. Membiarkan darah perlahan merembes dari punggung jari tangan kanannya.
Ia merasa, bahkan itu tidak lebih sakit dari apa yang dirasakan hatinya saat ini. Binar tidak mencintainya sendirian, karena Cakra juga mencintainya. Jika Binar patah, ia juga. Binar hanya tak tahu.
***
Hembusan napas pelan keluar dari mulut Pelangi. Ia tak tahu apa yang terjadi pada Binar. Semenjak dengan Cakra ... gadis itu sering murung seperti ini. Masalah apa lagi sekarang? Kemarin, ia tak sempat mengangkat panggilan dari Binar karena ia juga sedang telponan dengan Bima. Ketika ia memanggil balik temannya itu, malah tidak aktif.
Mereka kini berada di balkon perpustakaan. Karena katanya Binar ingin mencari udara segar.
"Lo kok diam aja sih Bi? Seram tahu. Marah ya sama gue?" tanya Pelangi untuk ke sekian kalinya.
"Nggak papa, Na. Lagi malas aja, lo kalau mau ketemu kak Bima nggak papa kok. Lagian gue juga lagi pengen sendiri," ucap Binar.
"Kenapa sih? Lo ada masalah sama kak Cakra, ya? Soalnya suka tiba-tiba jadi pendiam gini."
Helaan napas pelan keluar dari mulut Binar. "Gue sama kak Cakra ..."
Gadis itu menelan ludah.
"... putus."
Kedua mata Pelangi membulat. "K-kok bisa?" tanyanya dengan ekspresi tak menyangka.
"Kemarin gue mau cerita masalah ini sama lo. Nanya pendapat lo apa yang sebaiknya gue lakuin. Tapi gue tahu, gue nggak bisa selalu mengandalkan lo, Na. Gue harus ngambil keputusan. Kemarin adalah puncaknya, kayaknya gue sama kak Cakra memang nggak bisa sama-sama. Dulu, atau pun sekarang," kata Binar pelan.