Seperti artinya, Nur adalah cahaya. Dia adalah pelita untuk keluarganya. Pelita untuk suami dan anaknya.
Seharusnya ...
Namun, Nur di anggap terlalu menyilaukan hingga membuat mereka buta dan tak melihat kebaikannya.
Nur tetaplah Nur, di mana pun dia berada dia akan selalu bersinar, meski di buang oleh orang-orang yang telah di sinarinya.
Ikuti kisah Nur, wanita paruh baya yang di sia-siakan oleh suami dan anak-anaknya.
Di selingkuhi suami dan sahabatnya sudahlah berat, di tambah anak-anaknya yang justru membela mereka, membuat cahaya Nur hampir meredup.
Tapi kemudian dia sadar, akan arti namanya dan perlahan mulai bangkit dan mengembalikan sinarnya.
Apa yang akan Nur lakukan hingga membuat orang-orang yang dulu menyia-nyiakannya akhirnya menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Tak lama Wati ikut bergabung setelah meminta sang cucu untuk masuk ke dalam kamarnya.
"Ra, tolong buatkan tamu kita minum," pinta Farid demi bisa meredakan ketegangan di rumahnya.
Zahra beranjak, semarah-marahnya ia pada Pamungkas dan Sisil, dia mengerti bahwa menghormati tamu juga sebagai kewajiban.
"Ini siapa Mas Pam?" tanya Wati penasaran.
Wati memang beberapa kali pernah bertemu dengan Pamungkas meski tak sesering Nur. Meski dia sadar siapa wanita yang dibawa oleh kakak ipar putranya, dia tetap ingin bertanya.
"Ini—" ucap Pamungkas ragu.
Sungguh mengajak Sisil ke kediaman Zahra bukanlah rencananya.
Saat dirinya baru kembali ke rumah, lagi-lagi Sisil sudah berada di kediamannya dan terlihat senang saat membaca surat undangan dari pengadilan.
Dan waktu dirinya berkata ingin mengunjungi Nur di kediaman Zahra, tiba-tiba saja kekasihnya itu merajuk ingin ikut.
"Saya Sisil sahabatnya Nur bu," sela Sisil sembari mengulurkan tangannya.
Zahra segera meletakkan suguhannya di meja tanpa tersenyum.
"Terima kasih Ra, repot-repot," ucap Pamungkas jujur.
Zahra tak menjawab, dirinya memilih melengos karena kesal dengan dua manusia di depannya.
"Maaf kalau kedatangan kami menganggu, saya mau ketemu sama Nur, dimana dia?"
Zahra menatap sinis mantan kakak iparnya itu, "buat apa mas tanya Mbak Nur? Mau nunjukin kemesraan kalian?"
"Zahra," tegur Farid tak enak hati.
"Maaf mas Pam. Mbak Nur enggak ada disini, dia di rumah Sulton," jawab Farid menengahi.
Pamungkas menghela napas, gagal sudah dirinya bertemu dnegan mantan istrinya itu.
Dirinya juga bingung kenapa ingin sekali menemui mantan istrinya itu. Saat Sisil bertanya, dia juga memilih diam karena tak tahu jawabannya, sedangkan Sisil yang tahu kalau sahabatnya itu memang tak ada di sana tak terkejut sama sekali.
"Mas Pamungkas," sela Wati menatap Pamungkas dalam.
"Ibu ngga menyalahkan kamu kalau perasaan kamu mungkin memang udah pudar sama Nur," ucap Wati yang mendapat tatapan tak percaya Zahra.
Bisa-bisanya di saat seperti ini ibu mertua dan suaminya justru terlihat memihak kakak iparnya.
Melihat sang istri yang hendak memprotes ucapan ibunya, Farid segera menghentikannya dengan menggenggam tangan Zahra.
"Tapi se-enggaknya, berikan hak Nur. Mas Pam udah cukup menyakitinya, jangan juga serakah mau memiliki harta kalian sendirian. Mas Pam enggak kasihan sama dia?"
Mata Zahra berkaca-kaca saat mendengar ucapan ibu mertuanya. Dirinya tak menyangka mertua yang kemarin tega mengusir kakaknya justru kini membela sang kakak.
Hanya saja tanpa Zahra sadari, bukan seperti itu pikiran Wati.
Saat melihat keberadaan Pamungkas, tiba-tiba terlintas pikiran piciknya untuk memojokkan Pamungkas agar mau memberi sedikit hartanya pada Nur.
Wati berpikir jika Pamungkas terbujuk, maka dirinya tak segan akan kembali menarik Nur ke rumah putranya agar bisa sedikit merasakan harta milik Nur.
"Ingat perjuangan kalian, kalau enggak ada Nur, ngga mungkin juga kan mas Pamungkas ada di titik sekarang?"
Ucapan Wati sontak membuat Pamungkas membeku. Kenangan saat masih baru menikah terlintas dalam benaknya.
Pamungkas menunduk sendu. Bayangan bagaimana perjuangan Nur dulu dalam mahligai rumah tangganya tak urung membuatnya gelisah.
Ya, Nur dan dirinya yang dul tak punya apa-apa kini bisa memiliki segalanya adalah karena keuletan dan kesabaran wanita sederhana itu.
Namun apa yang dirinya berikan untuk membalas segala kebaikan dan ketaatan istrinya itu? Tak ada.
Yang ada justru dirinya memberikan sebuah pengkhianatan yang pasti melukai hati sang istri sangat dalam.
Wati bersorak senang dalam hati, tak sia-sia dirinya ikut bergabung di ruang tamu.
Berbeda dengan Sisil, wanita yang masih terlihat seperti anak remaja itu justru gelisah. Ia tak ingin kekasihnya terpengaruh ucapan wanita paruh baya yang ia yakin itu adalah mertua Zahra.
"Ibu yakin, hidup kamu enggak akan tenang. Ingat di dunia ini ada hukum tabur tuai, kamu yakin akan baik-baik aja setelah merampas haknya Nur?"
"Lagi pula, ibu jamin kalau kamu memberikan hak dia, pasti bisa mengurangi rasa bersalahmu," sambung Wati menggebu-gebu.
"Ah iya, terima kasih pencerahannya bu. Kalau memang Nur enggak ada di sini, saya pamit undur diri," ucap Pamungkas yang lama-lama tak tahan juga dengan ucapan Wati.
Tubuhnya sedikit bergetar kala diingatkan kembali tentang hukum tabur tuai.
Pertama oleh mantan istrinya, lalu sahabatnya, disusul oleh sang putra dan kini di tambah pula oleh mertua adik iparnya.
Meski bukan orang yang taat agama, tapi dirinya sedikit gemetar dengan kalimat-kalimat itu.
"Oh iya Mas Pamungkas, silakan, jangan lupa di pikirkan lagi ucapan saya, jangan sampai mas menyesal. Terkadang beda istri beda rezeki juga loh," sambung Wati yang semakin gencar membuat Pamungkas bimbang.
"Mas ayo!" ajak Sisil yang merasa panas dengan nasihat Wati.
Dirinya tak akan membiarkan hal itu terjadi. Kalau memang Nur kekurangan harta, maka pilihannya hanya kembali pada Pamungkas dan menerimanya jadi madu atau hidup sengsara tanpa harta dari mantan suaminya.
Kalau wanita itu tetap keras kepala, maka akan Sisil pastikan kalau beban Nur akan bertambah.
Saat akan melepas kepergian Pamungkas dan Sisil, Zahra mengatakan sesuatu yang membuat tubuh Pamungkas semakin menegang.
"Apa ibu mas Pam tahu kalau mas Pam dan mbak Nur akan bercerai? Apalagi karena wanita itu?"
Sisil menatap aneh pada keduanya. Sepertinya Zahra memiliki kartu as pamungkas hingga membuat sang kekasih tak berkutik.
"Aku penasaran bagaimana kalau ibu mas tahu? Dan ingat, mas punya kakak perempuan, berdoa aja kalau kakak mas ngga merasakan apa yang mbakku rasakan!"
Setelah mengatakan itu, Zahra segera menutup pintu rumahnya. Dirinya ingin membuat Pamungkas syok. Dari gerakannya tadi, Zahra yakin kalau ibu dari lelaki itu tak tahu kabar perceraian mereka.
.
.
Saat berada di dalam mobil, Pamungkas lebih banyak terdiam dan Sisil benci itu.
"Mas!" bentak Sisil putus asa, karena sejak tadi ingin mencairkan kegelisahan lelaki itu, justru yang ia dapati Pamungkas lebih memilih mengabaikannya.
"Kita bicara di rumah aja Sil. Mas lagi nyetir, tolong," pinta Pamungkas lirih.
Sisil mendengus tapi tak memprotes. Biarlah kini dia mengalah. Dirinya juga khawatir justru pembicaraan mereka akan berujung pada pertengkaran.
Sisil merasa aneh saat jalanan yang dituju bukanlah jalan menuju ke rumah Pamungkas melainkan ke rumahnya.
"Loh mas, ini mau ke rumahku?" tanya Sisil bingung.
"Ini udah malam Sil, sebaiknya kamu pulang dan segera istirahat. Besok kita harus kembali kerja kan?"
"Ngga bisa begini mas! Aku mau tahu kenapa tiba-tiba kamu menjadi begini!"
"Sil—" ucap Pamungkas putus asa.
Bayangan wajah sang ibu tiba-tiba terlintas, bohong jika dirinya tak memikirkan sang ibu saat memutuskan untuk bercerai dengan Nur.
Entah akan semurka apa wanita yang telah melahirkannya itu padanya.
Tenggorokan Pamungkas tercekat, dirinya ketakutan. Mau bagaimana pun, Nur adalah menantu kesayangannya. Bahkan mantan istrinya itu lebih di sayang oleh sang ibu ketimbang dirinya.
"Apa mas kepikiran kata-kata mertuanya zahra?" tebak Sisil.
"Ya dan juga ucapan Zahra tentang ibu," jawab Pamungkas lirih.
Sisil mencoba menahan amarahnya. Jika saat ini dirinya bersikap keras kepala, dia yakin sang kekasih akan memilih meninggalkannya.
Sungguh Sisil tak mau hal itu terjadi. Meski pertama dirinya yang justru bersikeras putus dari Pamungkas, tapi kini justru dirinya yang takut di tinggalkan.
"Kalau kata-kata Bu Wati tadi, mas enggak perlu cemas. Inikan cara mas agar Nur mau kembali bukan? Mas jangan goyah, lagi pula aku yakin Nur pasti ngga akan bertahan lama tanpa uang. Apalagi di tambah jika harus menghidupi Bisma kan?"
Pamungkas menatap sang kekasih dan mencerna kata-katanya.
Dulu memang dirinya memiliki keyakinan itu, tapi mendengar kata hukum tabur tuai mendadak nyalinya ciut. Baginya kini banyak orang yang menyumpahinya agar hancur.
"Mas percaya sama aku. Lagi pula aku akan terima Nur dengan tangan terbuka. Bukankah nanti posisinya aku yang jadi istri pertama?"
Sisil tak bohong dengan hal itu, dirinya akan rela berbagi dengan Nur. Bahkan kini posisinya terbalik menurutnya, jika kemarin Nur yang menjadi istri pertama, kini dirinya yang justru ingin menjadi istri pertama.
Biarkan Pamungkas bercerai lalu menikahinya terlebih dahulu, stelah itu mereka boleh kembali.
.
.
.
Lanjut