Mengejar mimpi, mencari kebahagiaan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, Raka harus menghadapi keadaan pahit atas dosa-dosa sosialnya, juga konflik kehidupan yang tak berkesudahan.
Meski ada luka dalam duka, ia harus tetap bersabar. Demi bertemu kemanfaatan juga kebahagiaannya yang jauh lebih besar dan panjang.
Raka rela mengulang kembali mimpi-mimpinya. Walaupun jalan yang akan dilaluinya semakin terjal. Mungkinkah semesta akan mengamini harapannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rurri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jeruji Besi Yang Pastinya Tahu
Semua diam. Entah, sedang merenungi perbuatannya atau terdiam karena takut.
Aku kembali berucap. "Untuk apa terus-terusan meratap. Itu hanya akan menjadi beban buat diri sendiri. Soal keluarga kita di rumah bagaimana? Untuk saat ini, kita nggak perlu mengkhawatirkannya. Mereka sudah ada yang menjamin, termasuk diri kita." Kami terus berjalan menuju ruangan sel tahanan di dampingi oleh Tamping kunci. "Apakah kalian pernah berpikir? Saat pertama kali, kalian dilahirkan ke dunia ini, bagaimana cara kalian bertahan hidup. Sejak kita balita, menjadi anak-anak, lalu menjadi remaja, tahu-tahu kita semua sudah menjadi dewasa dan pintar menipu antar sesama demi kepuasan sesaat." Kami tiba di depan pintu sel tahanan sektor dua, memasuki ruang tahanan dan beristirahat di tempatnya masing-masing.
Perdebatan antara aku, Tegar dan dua belas anak buahnya indra kuncoro berhenti. Suasana menjadi canggung. Kami berbaur kembali dengan Palkam dan para pengikutnya. Beberapa dari mereka bertanya tentang jalannya persidangan hari ini.
Hari telah senja, malam hari pun tiba. Agenda kami sama seperti malam-malam sebelumnya. Menyanyikan lagu-lagu yang kami hafal, diiringan musik dengan alat yang seadanya, menghibur diri, bercanda dan menertawakan nasib sendiri.
Obralanku dengan Tegar dan dua belas anak buahnya indra kuncoro berlanjut saat kami sedang berbagi segelas kopi.
"Nikmati saja, masa-masa kita di penjara. Anggap saja, ini sebagai penebus dosa-dosa kita di masa lalu," celetukku lirih pada mereka.
Tegar merespon. "Sori, Raka. Soal sikapku tadi siang."
"Iya, nggak apa-apa," Menyodorkan gelas pada Aryanto. "Barangkali mungkin, ini yang terbaik buat kita semua. Seandainya saja aksi kita nggak segera dihentikan. Bisa jadi, kerusakan yang kita buat akan semakin panjang dan parah." Memperbaiki posisi duduk. "Apakah kalian rela, kalau kelak anak-anak kalian, tumbuh dan besar menjadi bajingan seperti kita. Karena dari kecil sudah terbiasa diberi makan-makanan haram," ucapku pada mereka.
"Kamu betul, Raka. Kalau dipikir-pikir, iya juga," sahutnya Aryanto setelah menyeruput kopi. "Aku tumbuh dan besar di lingkaran hitam. Meskipun begitu, bapakku dulu pernah berpesan padaku agar kelak aku jangan mengikuti jejaknya. Tapi realita berkata lain. Apakah ini dosa keturunan?" tanyanya Aryanto.
"Entah, itu, dosa keturunan atau bukan. Kita nggak perlu menyandarkan perbuatan buruk kita pada kedua orang tua kita." Berpikir. "Waktu kita dilahirkan, kita nggak bisa memilih dari rahim siapa? kita ingin dilahirkan. Tetapi, setelah kita sudah dilahirkan. Kita dibekali akal untuk memilih? mana yang baik dan mana yang buruk. Hukum semesta sudah ditetapkan, apa yang sudah kita tanam. Maka, itu yang akan kita dapatkan," ungkapku.
Aryanto tertunduk.
"Aku bukan kamu, Raka!" serunya padaku. "Mungkin, bagimu mudah saja beralih posisi dengan cepat, dari hitam segera menjadi putih. Tapi, aku dan yang lainnya, belum pernah mendapatkan pendidikan seperti apa yang sudah kamu dapatkan. Wawasan kami juga terbatas. Wajar saja, kalau aku masih labil." Tegar menyanggah.
"Se'nggak-nya, kita masih sama, Tegar." Memperhatikan Tegar. "Kita sama-sama punya hati nurani. Apakah kamu nggak merasakan. Pemberontakan dari hatimu sendiri, saat berbuat kejahatan." Menata ekspresi wajah. "Aku yakin. Hati kita pasti memberontak, hanya saja, kita melawannya. Sehingga kita sudah nggak bisa lagi merasakan belas kasihan." Menghela nafas. "Barangkali mungkin, dengan keadaan kita di sini, hati nurani kita bisa hidup kembali dan kita bisa merasakan belas kasihan kepada sesama," ungkapku pada mereka.
"Apakah masih pantas, orang sepertiku berbuat baik?" tanyanya Supri yang sedari tadi merebahkan badan, dan hanya menatap langit-langit atap tahanan.
Aryanto membalasi. "Jelas pantas dan harus. Katanya, nggak ada kata terlambat buat siapapun untuk berbuat baik. Iya, nggak?" Melemparkan pandangan pada yang lain.
Aku menyeringai.
Suasana mendamai, kami kembali ke posisi masing-masing, beristirahat.
Dari balik jendela jeruji besi, pandanganku keluar. Malam di kepalaku menyisakan suara jangkrik yang terdengar nyaring dari luar ruang tahanan. Bulan purnama sempurna bersinar. Namun, bintang-bintang enggan mendekat. Aku sedang gelisah, diam-diam aku telah melukai saudara seiman. Aku merasa resah, resah bukan karena tubuhku terpenjara. Tapi, resah karena kehilangan diriku sendiri, sesaat terbentur kenyataan.
Malam semakin larut. Sisa-sisa laron yang terlahir dari kegelapan masih terpesona oleh cahaya. Saat malam tiba, mereka akan menjelma sebagai penari malam yang anggun. Mengitari lampu-lampu dengan semangat yang menggebu. Sayap-sayapnya yang rapuh berkilau dalam sinar. Seolah menari dalam keabadian. Kendati sesungguhnya, semua kemegahan itu hanya berlangsung dalam sesaat. Lebih dari itu, dibalik keindahannya yang mempesona terdapat takdir yang sangat tragis. Laron, sang pengembara malam harus terperangkap dalam terang yang mematikan. Dalam kilau cahaya yang memikat, mereka terhempas, juga tersungkur, dan akhirnya terhenti dalam pusaran.
karya² kk juga sama bagus²🌷🌷🌷
😅😅