Raisya adalah seorang istri yang tidak pernah diberi nafkah lahir maupun batin oleh sang suami. Firman Ramadhan, adalah seorang arsitektur yang menikahi Raisya setelah empat tahun pertunangan mereka. Mereka dijodohkan oleh Nenek Raisya dan Ibu Firman. Selama masa perjodohan tak ada penolakan dari keduanya. Akan tetapi Fir sebutan dari seorang Firman, dia hanya menyembunyikan perasaannya demi sang Ibu. Sehingga akhirnya mereka menikah tanpa rasa cinta. Dalam pernikahannya, tidak ada kasih sayang yang Raisya dapat. Bahkan nafkah pun tidak pernah dia terima dari suaminya. Raisya sejatinya wanita yang kuat dengan komitmennya. Sejak ijab qobul itu dilaksanakan, tentu Raisya mulai belajar menerima dan mencintai Firman. Firman yang memiliki perasaan kepada wanita lain, hanya bisa menyia-nyiakan istrinya. Dan pernikahan mereka hanya seumur jagung, Raisya menjadi janda yang tidak tersentuh. Akankah Raisya menemukan kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda RH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Undangan
Kini hari-hariku disibukkan dengan pembuatan skripsi. Aku sudah menyerahkan proposal judul dan sudah ACC. Aku harus fokus agar maksimal dan tidak banyak revisi nantinya. Besar harapanku untuk lulus tahun ini juga.
Aku dan Putri kali ini berada di perpustakaan kampus. Kami sedang mencari beberapa buku untuk referensi skripsi kami. Setelah menemukan beberapa buku, kami meminjamnya dan keluar dari perpustakaan.
"Ke kantin dulu yuk Rai! Cari buku membuat perutku kosong, lapar jadinya."
"Lebay kamu Put! bilang aja memang doyan makan!" Kami pun menuju ke kantin. Di sana kami memesan bakso dan es jeruk.
Saat ini Putri sudah memakai jilbab, aku senang sekali pelan-pelan dia mau menutup aurat. Bukan aku sok suci, namun menutup aurat adalah wajib untuk seorang muslimah. Terlepas dari sifatnya yang mungkin masih kurang agamis. Semua butuh proses, dan kita tidak berhak menghakimi sifat seseorang.
"Rai pernikahan Sofi kurang berapa hari lagi?"
"20 hari lagi Put, makanya Orang rumah sudah mulai sibuk melakukan persiapan."
"Gimana perasaan kamu, Rai?"
"Ya nggak gimana-gimana Put! Aku cuma bisa berdo'a yang terbaik buat adikku."
"Sabar ya Rai, jangan dengarin kata orang!"
"Iya Put, aku sudah kebal dengan omongan orang. Ada yang bilang nggak bakal dapat jodoh lagi kalau didahuluin adiknya! macam-kacang pokoknya! mereka punya mulut nggak bisa aku bikin bungkam. Biar capek sendiri lah, masa bodoh aku mah."
"Rai kapan mau ngajuin Bab 1? Punyaku udah mau selesai, bareng ya kalau mau ngadep Bu Intan!"
"Punyaku sudah selesai, kalau besok gimana Put? Kira-kira sudah siap nggak?"
"Aku usahakan deh! Besok aku kabari, masuk dulu yuk! Sebentar lagi dosennya datang." Kami pun masuk ke dalam kelas untuk mengikuti perkuliahan.
Selesai mengikuti perkuliahan, Aku dan Putri masih betah di dalam kelas. Teman-teman yang lain juga sebagian belum keluar kelas. Termasuk Taufik yang riba-tiba menghampiri kami, dan duduk di kursi kong di depanku.
"Rai, ini ada titipan! Sebenarnya aku nggak mau ngasih ke kamu. Aku nggak mau kamu terganggu, tapi aku tidak mau jadi orang tidak amanah. Ini dari Ani! Yang penting sudah aku sampaikan Rai, mau kamu buang, bakar, terserah!" Taufik memberiku sebuah undangan pernikahan. Belum aku ambil, Putri sudah merebut dari tangan Taufik.
"Gila tuh orang! Fik, temanmu itu nggak ada otak apa ya? bisa-bisanya dia masih mau ngundang Raisya! Itu muka apa tembok sih! Udah nyakitin masih saja mengusik." Putri berbicara dengan penuh emosi.
"Entahlah mungkin otaknya sudah pindah ke dengkul! Aku sudah menasehatinya Put, tapi sepertinya dia tidak sadar akan kesalahannya. Dia pikir krna Raisya tidak membalas pesan terakhirnya, mungkin dia kira Raisya masa bodoh! Karena katanya hubungannya dan Raisya belum lama, jadi dia mungkin merasa Raisya tidak akan terlalu memikirkan kandasnya hubungan mereka."
"Wow hebat dia! Mungkin dia bisa menerawang perasaan orang. Raisya cuekin pesan darinya bukan karena tidak marah dan sakit hati! Dia terlanjur sangat kecewa. Kamu kan tahu sendiri Fik! Tapi ya gitu laki-kaki, mungkin kamu juga bakal ngebela temanmu itu!" Aku masih mendengarkan perdebatan Putri dan Taufik.
"Jangan disamakan dong Put! Meskipun aku ini laki-laki dan teman akrabnya Andi, aku tidak setuju dengannya. Males banget aku! tapi berhubung dia maksa nitip tadi, ya udah aku kasih saja! Atau sini biar aku yang buang undangannya. Nggak penting juga buat Raisya! Emang sialan si Sndi!" Umpat Taufik seraya merebut kembali undangan itu dari tangan Putri.
"Sudah-sudah! kok pada ribut sih, cuma perkara undangan kan? Sini undangannya Fik!Terima kasih sudah menyampaikan. Salam ke orangnya, undangannya sudah sampai gitu."Aku memasukkan undangan ke dalam tas.
"Jangn bilang kalau kamu mau hadir Rai?" Putri menimpali.
"Itu terserah nanti Put!" Jawabku seraya tersenyum.
"Maaf ya Rai, aku tidak bermaksud mengungkit hubunganmmu! Ya sudah aku pulang dulu ya, Rai, Put!" Taufik beranjak dari kursi dan keluar dari kelas.
"Rai! Pokoknya aku nggak setuju kalau kamu datang ya! Ingat Rai, itu hanya akan menambah sakit hatimu lagi!" itu laki-laki nggak ada akhlak deh, bisa-bisanya masih mau undang kamu. Nggak nyadar punya salah."
"Sabar Put, jangan emosi! Nanti kita sendiri yang rugi. Aku juga kesal dan marah sebenarnya, tapi kalau pun aku marah-marah, itu tidak akan mengembalikan keadaan. Hukum tanam tuai masih ada, biarlah Allah yang membalas. Kalau hadir nggaknya sih aku belum tahu, tapi kayaknya nggak deh! Aku nggak mau berhubungan dengan sesuatu yang sudah selesai."
"Nah cakep! Ini baru sahabatku. Jangan dikasih hati orang kayak gitu Rai! Entar besar kepala. Ya sudah yuk cabut! belum shalat ashar nih." Kami pun keluar menuju musholla untuk shalat ashar. Setelah shalat kami pulang ke rumah dengan kendaraan masing-masing.
Sampai di rumah, kulihat Abi, Ummi dan Sofi sedang berkumpul di ruang keluarga. Sepertinya sedang mencatat undangan.
"Gimana Rai, kuliahnya lancar?" Tanya Abi.
"Alhamdulillah lancar Bi."
"Rai ke kamar dulu ya, mau ganti baju." Setelah selesai ganti pakaian, aku keluar untuk gabung.
"Banyak banget undangannya Ummi?"
"Iya ini ada 500 undangan Ummi dan aba, 200 undangannya Sofi. Ini tinggal nempelin namanya Rai!"
"Iya, sini Rai bantu!"
Karna sudah adzan maghrib, kami menghentikan kegiatan dan segera shalat maghrib berjamaah. Besok kami lanjutkan lagi untuk memilah undangan yang akan dibagikan.
Setelah shalat isya, Sofi main ke kamarku Kami akan bercerita sepanjang malam sampai mengantuk. Tak jarang Sofi tertidur di kamarku. Itu hal yang biasa dia lakukan sejak aku bercerai, dan kalau tidak ada tugas kuliah. Nantinya aku akan rindu dengan suasana dan kebersamaan ini.
"Mbak, nanti kalau aku nikah dan tidak tinggal di rumah ini lagi, pasti aku akan rindu sama mbak. Coba aku nggak ikut Mas Irfan ya, tetap tinggal sama Ummi dan Abi gitu."
"Yang namanya istri ya harus ikut suami! Kita masih di kota yang sama, kamu masih bisa mengunjungi kami kapan pun. Kecuali ada satu dua hal yang mengharuskan suami ikut istri. Ingat dik! Kamu sudah mau jadi istri, kurangi shoping. Jangan belanja yang tidak penting! meskipun suamimu menuruti semua keinginanmu, tapi kamu harus pintar mengelola keuangan. Ingat masa depan masih panjang. Kalau masalah sikap, mbak yakin kamu sudah cukup dewasa. Kamu juga sudah pintar masak, dandan apa lagi hehe..."
"Ah, aku jadi pingin mewek mbak, sebenarnya aku masih pingin main-main gitu. Rasanya kurang lama aku jadi anak gadis, tapi apalah daya? Jodohku datang lebih cepat. Maafin aku ya mbak, sebenarnya aku pingin menikah setelah mbak menikah lagi, tapi takdir berkata lain."
"Ngomong apa sih dik! Sudah mbak bilang, mbak nggak apa-apa. Percayalah! Semua akan indah pada waktunya."
See you again kakak, terima kasih atas dukungannya.