NovelToon NovelToon
Stuck On You

Stuck On You

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / CEO / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: _Sri.R06

Kehidupan Agnia pada awalnya dipenuhi rasa bahagia. Kasih sayang dari keluarga angkatnya begitu melimpah. Sampai akhirnya dia tahu, jika selama ini kasih sayang yang ia dapatkan hanya sebuah kepalsuan.

Kejadian tidak terduga yang menorehkan luka berhasil membuatnya bertemu dengan dua hal yang membawa perubahan dalam hidupnya.

Kehadiran Abian yang ternyata berhasil membawa arti tersendiri dalam hati Agnia, hingga sosok Kaivan yang memiliki obsesi terhadapnya.

Ini bukan hanya tentang Agnia, tapi juga dua pria yang sama-sama terlibat dalam kisah hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Sri.R06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bertemu Orang-orang Baru

Agnia baru saja menikmati makanan di kantin kampus pada sore hari. Namun, harus terganggu saat masalah yang beberapa hari ia hindari itu benar-benar datang sendiri mencarinya.

Suara meja yang dipukul menggebrak nyaring membuat suasana kantin mendadak hening. Mereka yang ada di sana tampak menatap penuh tanya. Jelas, setiap orang yang ada di kantin mengetahui siapa 3 wanita yang baru saja datang itu, kini mereka lebih penasaran, siapa orang yang kini menjadi target selanjutnya dari ke-3 orang itu.

Agnia yang melihat Windy hendak berdiri untuk menegur sang pembawa masalah itu segera Agnia hentikan hanya dengan tatapan matanya. Agnia yakin, yang menjadi target mereka hanya Agnia. Dia tidak ingin menyeret windy terlalu jauh dalam masalahnya sendiri.

“Ada apa?” tanya Agnia, dengan raut datar di wajahnya.

Kemudian wanita yang Agnia kenali sebagai Bia tampak tertawa sarkas. Dia menatap Agnia dengan pandangan menghina.

Dia tidak menjawab, namun tangannya justru mengambil kecap di atas meja, membuka tutupnya, kemudian tanpa perasaan menaruh semua kecap yang tersisa di atas mangkuk berisi bakso pesanan Agnia.

Agnia menatap aksi wanita itu tanpa ekspresi, seolah dia tidak peduli dengan apa yang wanita itu ingin lakukan. Jelas itu sangat berbeda dengan kondisi hatinya yang berkobar dengan amarah.

“Aku tahu kamu menyukai manis, jadi berbaik hati membuatkanmu hidangan ini. Makan,” kata Bia, bibirnya menyunggingkan senyum tanpa rasa bersalah.

“Oh, sepertinya kau mencari tahu tentangku?” Agnia berkata ringan, dia lantas berdiri untuk mensejajarkan tinggi mereka. “Sepertinya aku memiliki satu penggemar di sini,” sambungnya, tersenyum kecil.

“Aku?” Bia tertawa, sembari menunjuk dirinya sendiri. “Apa kamu berada dalam mimpi, baiklah, aku akan membantumu untuk sadar!”

Kemudian Bia meraih minuman di atas meja terdekat. Hingga saat tangannya bersiap untuk menyiram Agnia dengan minuman itu, dia kalah cepat karena Agnia berhasil menghentikan tangannya.

“Tidak untuk kedua kalinya, Bia!” bisik Agnia, ada senyuman samar yang nyaris tersembunyi.

Kemudian keadaan jadi berbalik, Agnia dengan cepat mengambil minuman milik Windy, dalam satu kali gerakan, wajah dan pakaian atas Bia sudah basah oleh minuman yang Agnia berikan.

“Oops! tanganku licin,” kata Agnia, dibuat-buat. Ia mengembalikan kejadian terakhir kali pada Bia, kini hatinya bisa tenang setelah melakukannya.

“Kau—”

“Kalian yang mencari masalah dengan Agnia. Jadi bukan suatu kesalahan jika Agnia menanggapinya, kan?” Windy mengambil tempat di samping Agnia, dia tatap kondisi Bia yang saat ini terlihat menyedihkan.

Dia meringis jijik, dengan tatapan menyepelekan terhadap Bia, membuat wanita itu geram setengah mati.

Mendapati di sekitar mereka mulai berbisik-bisik, Bia tidak bisa menebalkan mukanya lagi. Jadi, menatap tajam pada Agnia untuk terakhir kali, hingga akhirnya pergi dari kantin sambil sesekali meneriaki beberapa orang yang menertawainya secara terang-terangan.

Kedua temannya jelas mengikuti Bia, sebelumnya mereka dilarang oleh Bia untuk ikut campur. Tentu saja mereka tidak keberatan, melihat biasanya Bia selalu bisa membuat jera musuhnya dengan mudah. Namun siapa sangka, Bisa malah dipermalukan dengan begitu buruk!

Agnia menatap nanar mangkuk bakso yang kini sudah berubah warna itu, bibir bawahnya maju sebagai tanda kekecewaan. Agnia selalu menyayangkan hal ini. Kenapa saat marah, dia justru malah melampiaskannya pada makanan yang tidak bersalah?!

***

Agnia keluar dari toko alat tulis. Ini adalah sabtu sore, setelah pulang dari tempat kerjanya, Agnia menyempatkan mampir ke toko ini untuk membeli beberapa barang.

Dia baru saja berjalan beberapa meter. Dan, kini justru menemukan kejadian tidak terduga di depan sana.

Seorang pria dewasa tampak keluar dari mobilnya, dia menerima telepon di sisi jalan. Agnia bisa mendengar bentakan dari pria itu karena keadaan jalanan yang cukup sepi. Pada awalnya semua baik-baik saja, hingga pria itu tampak memegangi dada dengan raut wajah yang dapat Agnia pastikan seperti menahan sakit.

Agnia pun dengan panik mendekati pria yang tampak dengan susah payah menopang tubuhnya di badan mobil. Hingga saat Agnia hendak bertanya, pria itu sudah terjatuh lebih dulu dalam keadaan tidak sadarkan diri.

“Pak? Ya ampun!” Agnia berteriak, mengguncang pelan pria itu. Dia melihat sekitar, dan begitu kebetulan ada sebuah mobil yang melintas kemudian tanpa ragu memberikan pertolongan pada mereka.

.

.

.

Agnia berjalan mondar-mandir di balik pintu ruang gawat darurat. Keningnya berkerut dalam, dengan rasa cemas yang melingkupi hatinya.

Semakin dipikir, Agnia rasanya merasa aneh. Kenapa dia selalu dipertemukan dengan situasi serupa, di mana dia harus menemukan seseorang dalam bahaya. Agnia tidak masalah untuk membantu, hanya saja, dia benar-benar takut jika sampai terlambat.

Agnia sedari tadi tidak bisa menenangkan diri, apalagi melihat beberapa suster keluar masuk dengan terburu-buru.

“Sebenarnya ada apa dengan orang itu? Kenapa bisa tiba-tiba pingsan di tengah jalan seperti tadi?” tanya Agnia pada dirinya sendiri. “Apa dia baik-baik saja sekarang?” Agnia bergumam resah, rasanya belum bisa duduk diam jika seseorang belum memberitahunya apa yang terjadi.

Setelah beberapa puluh menit menunggu, pintu ruangan terbuka menunjukan seorang pria dewasa dengan pakaian khas dokter. Agnia bisa melihat wajah lelah pria itu, tapi di saat bersamaan, rasa lega juga tersirat diantara sorot matanya.

“Apa Anda adalah keluarga pasien?” tanya dokter itu, saat berdiri di depan Agnia.

Agnia menggeleng. “Saya kebetulan bertemu dengan beliau, jadi membawanya ke rumah sakit,” kata Agnia, membuat sang dokter mengangguk. “Lalu, bagaimana keadaan bapak tadi, Dokter?” tanya Agnia, sudah tidak sabar.

Dokter tampak menghembuskan napas sejenak, kemudian menatap Agnia dengan serius. “Pasien masih dalam kondisi lemah, namun masa kritisnya telah terlewati. Kami masih akan memantaunya, guna melihat perkembangan kondisi pasien,” kata Dokter itu.

Agnia menghela napas lega. Lantas mengangguk. “Kalau begitu terima kasih banyak Dokter.”

“Itu sudah menjadi tugas Saya. Selanjutnya, Anda mungkin bisa mengurus terlebih dulu biaya rumah sakit, atau menghubungi keluarga pasien, pasti ada ponsel atau sesuatu yang bisa menunjukan identitas pasien, apa Anda memilikinya?”

Agnia mengangguk. “Iya, Saya menemukan ponsel yang terjatuh di samping tubuh Bapak itu sewaktu pingsan.” kata Agnia.

Dokter itu kembali mengangguk. “Kalau begitu saya permisi dulu.”

***

Agnia memperhatikan nama-nama kontak di ponsel pria yang dia bawa tadi. Dia langsung saja menekan nama bertuliskan ‘My Son’ diantara deretan nomor lain di sana. Untung saja ponsel itu tidak menggunakan sandi ataupun pola untuk membukanya.

Agnia menempelkan ponsel itu di telinga, dering pertama terdengar. Hingga di dering ke tiga, panggilan diangkat.

“Halo?”

Agnia tersentak. Dia tahu suara ini. “Abian?” tanya Agnia, memastikan kembali pendengarannya.

“Agnia?” Abian juga berpikir demikian. Di seberang sana Abian kembali melihat nomor yang memanggilnya itu, namun kerutan di keningnya semakin kentara saat dia yakin jika nomor itu adalah milik sang Papa. “Kenapa ponsel Papa ada padamu?” tanya Abian.

“Abian aku akan menjelaskan situasinya nanti. Tapi sekarang Tuan Bellamy ada di rumah sakit. Aku memanggilmu karena nomormu ada di ponsel ini,” kata Agnia.

Kemudian Agnia memberitahu di rumah sakit mana dia berada saat ini. Panggilan pun terputus saat Abian bilang dia akan tiba di sana dalam 10 menit.

Sebelumnya, Agnia sudah membayar biaya rumah sakit lebih dulu. Ah, jika memikirkan itu, dia bisa saja menangis karena ternyata biaya rumah sakitnya hampir menguras tabungan Agnia beberapa bulan ini.

Agnia kemudian kembali ke ruang UGD dan begitu dia sampai di sana, ternyata orang yang dia tolong tadi telah dipindahkan ke kamar rawat. Agnia sendiri tidak bisa memesan kamar rawat dengan fasilitas VVIP dia hanya memesan kamar VIP kelas 3.

Tentu saja, bisa ditempati beberapa pasien lain. Tapi saat itu, di sana hanya ada pria itu saja. Masih ada bangsal kosong di ruangan itu.

Agnia melihat dari balik kaca pintu ruangan. Pria di dalam sana tampak masih memejamkan mata dengan Dokter sebelumnya yang kembali memeriksa. Kemudian tidak lama, Dokter keluar. Agnia lagi-lagi bertanya tentang perkembangan kondisi orang itu.

“Semuanya dalam kondisi yang baik. Pasien hanya membutuhkan pemulihan selama beberapa hari. Untungnya Anda membawa pasien tepat waktu hingga nyawanya bisa terselamatkan.”

Agnia yang mendengar itu merasa jantungnya mencelos. Napasnya tercekat di tenggorokan. Ternyata … kondisi orang itu memang sempat berada dalam bahaya. Mendengar itu Agnia merasa begitu bersyukur. Apalagi setelah dia mengetahui orang itu adalah bagian dari keluarga Bellamy, Ayah Abian.

“Kalau begitu, terima kasih Dokter.”

Agnia kemudian mulai memasuki ruangan itu setelah Dokter pergi dari sana. Saat dia berdiri di samping ranjang, dia meletakkan Ponsel di atas nakas, Dompet yang sebelumnya diberikan padanya dari pihak rumah sakit setelah memeriksa pria ini juga Agnia letakkan di atas nakas.

Agnia sedang duduk di kursi yang ada di luar ruangan rawat saat dia mendengar banyak derap langkah mendekat. Wanita itu mendongak dengan cepat saat menemukan Abian sudah berdiri di depannya. Bukan hanya Abian, Agnia melihat hampir semua anggota keluarga Bellamy ada di sana, sampai Shena juga hadir, wanita itu berdiri tepat di belakang Abian.

“Agnia,” Suara Abian terdengar terlebih dulu.

“Kenapa kamu ada di sini?” Shena bertanya, mengerutkan kening saat sebuah pemikiran tiba-tiba terlintas di kepalanya, dia membulatkan mata. “Jangan-jangan kamu yang membuat Om Demian masuk rumah sakit!” Tuduh Shena begitu saja. 

Agnia merasa sudut matanya berkedut. Dia menatap Shena dengan sorot yang masih tenang di sana. 

 

“Kamu—”

Namun saat itu Agnia mengabaikan Shena, dia bahkan tidak membiarkan Felicia berbicara. Agnia menatap pada Abian, sebelum berkata. “Tuan Demian ada di dalam. Kondisinya sudah membaik sekarang,” kata Agnia. Dia menatap pada orang-orang yang tengah menatapnya dengan bermacam ekspresi. “Kalian sudah bisa melihatnya di dalam. tapi maaf, aku hanya bisa memesankan ruangan ini,” kata Agnia. Bagaimana pun dia tidak memiliki cukup uang untuk memesan kamar yang lebih nyaman.

Agnia merasakan cekalan pada pergelangan tangannya, saat dia hendak pergi dari sana. Agnia melihat pada Abian, pria itu tampak ingin mengatakan sesuatu. “Temui dulu Tuan Demian,” kata Agnia pelan, bersamaan dengan itu cekalan Abian terlepas dari pergelangan tangannya. Meskipun ragu, Abian mengikuti keluarganya yang lain yang sudah terlebih dulu memasuki ruangan tempat Tuan Demian dirawat.

Saat itu Agnia baru menyadari jika Arsenio tidak ada di sana. Beberapa waktu tidak bertemu, Agnia penasaran bagaimana keadaan Pria tua itu saat ini.

***

Agnia berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang tenang. Kakinya dibawa melangkah pelan dengan pikiran yang dipenuhi dengan berbagai kenangan. Jujur saja, dia benar-benar tersinggung dengan tuduhan Shena. Dari awal, dia tidak pernah mengharapkan pujian atau semacamnya, tapi mendapatkan tuduhan seperti itu Agnia nyaris tidak bisa menahan diri untuk bertindak, beruntung dia sadar ini adalah rumah sakit.

“Aku belum pernah bertemu dengan Tuan Demian sebelumnya,” gumam Agnia, mengingat kembali saat dia masih tinggal di keluarga Bellamy sebelumnya. Dan memang benar, Demian tidak pernah memunculkan wajahnya.

Agnia menatap lurus ke depan, namun dibuat tersentak saat melihat seorang wanita tampak berjalan dengan perlahan. Yang membuatnya khawatir adalah karena wanita di depannya tampak memegangi kepala dengan tangan yang lain berpegang pada tembok.

“Hati-hati.” Agnia dengan sigap menahan kedua bahu wanita itu dari belakang saat nyaris kehilangan keseimbangan.

Wanita itu tampak mengatur napas, dia lantas menatap ke samping di mana Agnia sedang memapahnya. Namun selanjutnya, dia tertegun begitu bertatapan dengan netra Amber Agnia. Namun itu hanya sesaat, sebelum wajah cantik itu menunjukkan raut lembut saat tersenyum pada Agnia.

“Terima kasih, untung ada kamu,” kata wanita itu.

Agnia tersenyum. Namun, hatinya menghangat secara perlahan, ada perasaan sesak saat dia menatap netra itu begitu lama. Begitu senyuman wanita itu berhasil Agnia tangkap, perasaan sesak yang menyentak dadanya justru membuat mata Agnia terasa berembun.

Ada gurat rindu, dan emosi yang tidak bisa Agnia jabarkan. Entah dari mana perasaan ini berasal. Tapi, air mata itu seolah berbicara sendiri. Tetesannya mulai tumpah tanpa bisa dibendung.

Agnia memutuskan kontak mata, dia tersenyum kaku sambil menyeka air matanya yang sekuat tenaga ia tahan.

“Kamu kenapa?” wanita itu tampak khawatir, namun Agnia segera tersenyum saat mereka kembali bersitatap.

“Tidak, mataku rasanya perih, jadi mengeluarkan air,” kata Agnia, jelas dia telah mengeluarkan alasan bodoh. Siapa juga yang akan mempercayai alasan seperti itu?

Wanita tadi melihat Agnia dalam diam, dia tidak lagi bertanya, mungkin wanita muda di sampingnya ini memiliki alasannya sendiri. Karena itu dia tidak ingin ikut campur.

Agnia kemudian menuntun wanita itu untuk duduk di kursi. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, Agnia mulai menerka-nerka. Sepertinya dia adalah salah satu pasien rumah sakit. Tapi, kenapa malah berjalan-jalan sendiri?

Kemudian saat Agnia akan bertanya, suara seseorang dari belakang tubuhnya tiba-tiba terdengar membuat Agnia berbalik.

“Ma!” Seorang pria muda dengan balutan jas formal tampak mendekat ke arah wanita itu, dia duduk di kursi di samping wanita itu dengan raut cemas di matanya. “Mama kenapa pergi sendiri? Aku mencari Mama ke mana-mana tadi,” pria itu menggenggam jemari itu dengan lembut.

“Mama tidak apa-apa,” balasnya, menepuk kecil punggung tangan pria tadi.

“Untung ada—” kemudian suara wanita itu terhenti, dia menatap pada Agnia dengan senyuman kecil. Sebelum melanjutkan, “siapa nama kamu, Sayang?” tanyanya.

“Agnia, Tante. Agnia Fara,” jawab Agnia dengan anggukan singkat.

Namun saat itu Agnia melihat raut wajah wanita itu tampak terkejut, dia menatap sekali lagi pada Agnia. “Si-siapa?” tanyanya, sedikit terbata.

“Agnia Fara,” Agnia mengulang namanya sendiri.

Dan, bukan hanya wanita itu yang terkejut, pria lain di samping wanita itu juga menatap Agnia begitu lama. Meski raut wajahnya masih tetap datar.

“I-iya, untung ada Agnia. Tadi Mama mau jalan-jalan hampir saja jatuh jika Agnia tidak membantu Mama saat itu,” kata wanita itu, menatap putranya.

Pria itu tampak mengangguk dengan senyuman kecil. Dia beralih pada Agnia kemudian berkata, “Terima kasih, karena sudah membantu Mama Saya,” kata pria itu, Agnia tersenyum canggung saat itu.

“Ma, kita kembali ke kamar, ya?”

Kemudian Agnia mendengar pria itu membujuk sang Mama. Namun saat Agnia juga akan berpamitan untuk pergi, pria tadi lebih dulu berbicara, “Nona … Agnia, bisa tunggu dulu sebentar. Setelah Saya mengantar Mama Saya, Saya ingin berbicara dengan Anda.”

Agnia bingung, namun tak urung tetap mengangguk, dia tidak tahu apa yang ingin pria itu bicarakan dengannya nanti.

***

Agnia terdiam memandang taman dari balik jendela besar. Sesekali wanita itu akan melirik ke arah kepergian ibu dan anak tadi, mencari tahu apakah pria yang tadi memintanya menunggu itu sudah datang. Namun lagi-lagi, tidak ada. Agnia kini mulai ragu, apa pria itu tidak jadi datang? Jika seperti itu haruskah Agnia pergi sekarang?

Namun untungnya, siluet seseorang tampak muncul di kejauhan, dan kini semakin jelas hingga Agnia bisa memastikan jika itu memang pria sebelumnya.

“Maaf membuatmu menunggu lama.” Pria itu kini berbicara dengan lebih santai.

Sementara itu Agnia menggeleng kecil. “Tidak apa-apa,” katanya.

“Sebelumnya, perkenalkan, nama Saya Varel.” Pria itu mengulurkan tangan, Agnia membalasnya  tanpa ragu.

“Agnia.”

Varel terlihat tersenyum. Dia melepaskan tangan Agnia sebelum kembali berbicara. “Saya ingin mengucapkan terima kasih karena telah menolong mama Saya. Jika kamu tidak ada, mama Saya mungkin bisa saja pingsan saat itu.”

Agnia meringis kecil, dia merasa tidak enak seseorang bersikap begitu sopan padanya.

“Itu hanya kebetulan. Tuan Varel tidak perlu berterima kasih,” kata Agnia.

“Panggil saja Varel.”

“Tapi …,” Agnia terdiam, namun sepertinya Varel tahu masalah Agnia.

“Kalau begitu panggil saja Kakak,” kata Varel, Agnia tertegun. Tapi selanjutnya tetap mengangguk menyetujui.

“Apa kamu memiliki seorang kenalan yang berada di rumah sakit ini?” tanya Varel.

Agnia menggeleng. “Tidak, tadi Saya tidak sengaja menemukan seseorang pingsan. Jadi membawanya ke rumah sakit,” kata Agnia, jujur.

“Kamu memang memiliki hati yang baik, Agnia.” Varel memuji, Agnia tersenyum saja sebagai tanggapan.

“Kalau begitu … apakah kamu akan pulang sekarang?” tanya Varel.

“Iya, aku memang berencana untuk pulang.”

“Kalau begitu, bagaimana jika Saya antar?”

Namun saat Agnia akan menjawab, suara seseorang malah mendahuluinya. “Dia akan pulang bersama Saya Tuan Varel, Anda tidak perlu repot.”

Agnia melihat ke arah suara yang begitu dia kenal. Dan Abian, pria itu sudah ada di sampingnya dengan tatapan lurus tertuju pada Varel.

“Ternyata Anda? Saya tidak memperhatikan tadi. Kalau begitu … apa Tuan Abian mengenal Agnia?”

Abian berdecih. Dia memanggilnya Agnia? Dekat sekali mereka?!

“Tentu saja, kami sangat dekat,” ujar Abian, matanya menatap tajam Varel. Namun pria itu hanya menatap Abian dengan sorot datar yang sama.

Sementara itu Agnia menyipitkan mata, merasa aneh dengan sikap Abian kali ini.

“Ayo—” Baru saja Abian akan menarik tangan Agnia, suara seseorang menghentikan pergerakannya.

“Abian!” Itu suara Shena, wanita itu langsung saja bergelayut di lengan Abian. Tentu saja, Abian yang merasa risih langsung melepaskan tangan Shena yang melingkar di lengannya.

“Ish!” Shena kesal, tapi tidak lagi melakukan hal serupa setelahnya. “Ayo, Tante Felicia menyuruhmu untuk mengantarkanku pulang,” ajak Shena, sudah menarik lengan Abian untuk mengikutinya.

“Kalau begitu Agnia—”

“Agnia, kan, sudah tidak tinggal di tempatmu lagi. Kenapa kamu harus mengajaknya?” Shena berkata sinis. Menatap Agnia begitu tajam.

“Agnia—”

“Abian, kamu sebaiknya antar Shena pulang, aku masih ada urusan,” kata Agnia, membuat alasan. Dia juga tidak mau menciptakan suasana tegang jika satu mobil dengan Shena.

“Tapi—”

“Ayo!” Shena sudah menarik lengan Abian dengan kuat, saat itu Agnia mendengar decakan samar yang keluar dari bibir Abian. Pria itu juga tampak berbicara sesuatu membuat Shena terdiam. Kemudian Agnia melihat punggung keduanya mulai menjauh, terakhir menghilang saat berbelok di lorong rumah sakit ini.

Agnia menatap nanar kepergian pria itu, bagaimanapun, perasaannya saat ini sudah berbeda. Dan, karena itu, ada rasa tidak rela saat melihat Abian bersama dengan wanita lain. Padahal Agnia bukanlah siapa-siapa pria itu.

Agnia menggelengkan pelan kepalanya, dia lantas tertawa miris. Kenapa aku menjadi egois seperti ini?

“Bagaimana? Kamu mau, kan, Saya antar pulang?” Suara Varel kembali terdengar. Dan itu berhasil membuat Agnia keluar dari lamunannya.

“Tidak usah, Saya bisa pulang menggunakan angkutan umum, atau ojek online.” Agnia menolak, meskipun dia tidak keberatan dengan ajakan itu, tapi tetap saja mereka tidak saling mengenal.

“Kalau begitu, Saya permisi.” Agnia kemudian pergi setelah berpamitan. Namun di sisi lain, Varel terdiam, matanya masih berfokus menatap kepergian Agnia yang kini menjauh.

“Apa itu benar-benar kamu, Agnia?” Suara Varel terdengar lirih, sorot matanya seolah berkata bahwa dia telah menemukan cahaya dalam kegelapan yang dulu selalu menutupi jawaban dari setiap pertanyaan yang dia ajukan.

1
Jam Jam
ceritanya bagus ka, dilanjut ya kak. Semangaaat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!