Satu persatu teror datang mengancam keselamatan Gio dan istri keduanya, Mona. Teror itu juga menyasar Alita, seorang anak yang tidak tahu apa-apa. Konon, pernikahan kedua Gio menjadi puncak kengerian yang terjadi di rumah mewah milik Miranda, istri pertama Gio.
“Apakah pernikahan kedua identik dengan keresahan?”
Ada keresahan yang tidak bisa disembuhkan lagi, terus membaji dalam jiwa Miranda dan menjadi dendam kesumat.
Mati kah mereka sebagai tumbal kemewahan keluarga Condro Wongso yang terus menerus merenggut bahagia? Miranda dan Arik kuncinya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skavivi selfish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Kutukan Istri Pertama ²⁹
Condro Wongso paham, dan dia menuruti ajakan Miranda untuk menuntaskan keinginannya yang luar biasa memancing kemarahan.
“Wonten wekdal moncer, wonten wekdal kedah surut ingkang anak putu nglajengaken.” ( Ada saat mengalami masa keemasan, ada waktunya surut digantikan anak cucu. )
Kegelapan mengelilingi rumah orang tua Pak Bagyo. Portal gaib yang telah membentang dengan sedemikian pongah itu membelenggu mereka. Tak ada satupun yang bisa keluar dari sana sebelum pergantian hari terjadi. Dan tidak ada yang paling kuasa di sana, babak pertikaian membuat mereka berhak berkuasa atas diri masing-masing, melawan, atau kalah tanpa daya.
Miranda mundur selangkah dan bersiap melewati masa sukar itu dengan memegangi satu-satunya senjata. Sebuah parang.
“Aku nggak boleh lengah.” Miranda memegangi parang itu dengan kuat. “ARIK...”
Miranda berputar, mengikuti pergerakan sebuah bayangan yang mengitarinya dengan gesit.
Miranda tahu. Itu bukan ayahnya. Sebagai pengendali dan kunci dari kekuasaan keluarga Condro Wongso, ayahnya tidak akan bersedia terjun ke bulak peperangan. Tidak sudi. Dia punya kuasa bermartabat bagai seorang raja yang gampang memerintah pasukannya untuk maju bertarung. Sebab itu, pertarungan dengannya akan terjadi di dunia nyata. Dunia kerja.
Miranda berputar lebih cepat, menyadari ada dua sosok yang datang dari dua arah. Dan dia menangkap firasat buruk ketika dua sosok itu mendekatinya dengan gerakan cepat.
Miranda dengan tangkas menghindar. Membiarkan dua sosok itu saling bertubrukan.
“Siapa pun dirimu, kau telah mengganggu keluargaku!” Suara yang keluar terdengar lantang. Menambah ketegangan yang sempat tercipta, namun suara itu tak segera mendapatkan sambutan dari Arik yang sedang menahan keris Condro Wongso yang hampir menghunus dadanya.
Arik dan Condro Wongso saling bertatapan tanpa sedikit pun suara yang terlontar. Keadaan jadi lebih tegang. Hingga kemudian, tanpa di sangka-sangka, Miranda yang semula diam menyaksikan ayahnya turun ke bulak peperangan mendadak mengayunkan parangnya ke tengah-tengah keris. Benda itu melayang dengan cepat, membangkitkan perhatian Condro Wongso kepadanya.
“Durhaka kau, Miranda!”
Secepat kilat Miranda berlari menjauh dari Condro Wongso yang bersiap menyerangnya. Dia menggulingkan tubuh, meraih keris sakti ayahnya di tanah keras dan melemparnya ke Arik.
“Kamu harus lawan Ayah tanpa mempedulikan usianya, Rik.” serunya lantang.
Dengan cekatan Arik meraih keris yang hampir saja mematikan nyawanya. Namun tetap saja caranya meraih keris itu tidak mampu menyelamatkan telapak tangannya dari bilah keris yang terlempar dengan cepat itu. Darah segar keluar dari telapaknya.
Arik menggeram. “Kalian benar-benar merepotkan!” Tak ingin dirinya mengulur waktu sebagai sasaran amuk Condro Wongso, kakinya yang sudah tidak goyah, berlari ke arahnya.
Condro Wongso kesulitan menghindar. Tubuhnya terjungkal ke belakang sebelum berguling, menghindar jojohon keris yang berusaha Arik tancapkan ke dadanya.
“Asuu...” Sekonyong-konyong Condro Wongso bangkit, menyadari rupa-rupanya pemuda desa itu begitu patuh pada anaknya. Amukan pemuda itu selayaknya gambaran bagaimana Miranda telah menyiapkan pasukannya dengan matang. Begitu tangkas dan lihai dalam menyabet kerisnya.
“Kau benar-benar durhaka, Miranda!” Condro Wongso menjadi tidak main-main. Di satu kesempatan, lawan yang tengah mengincarnya dari dua arah berlari ke arahnya dengan membawa misi masing-masing.
Miranda berteriak keras. “Aku durhaka karena Papa juga pendosa!” Parangnya terayun sepenuh tenaga.
Condro Wongso menggeram sambil bergerak menghindar. Nyaris saja Miranda dan Arik saling bertubrukan jika Arik tidak segera berkelit menghindar dengan membuang tubuhnya ke kanan. Arik menggeram setelah berguling, “Aku bukan sasaranmu, Kak!”
Miranda tak acuh, dengan napas memburu dia berucap. “Tidak mudah membalikkan badan, Arik. Berat ini parangnya!”
“Alasan!” sembur Arik sambil berdiri. “Kakak mending diam saja. Doa.”
“Kamu nggak tahu siapa yang kamu hadapi, Arik. Nggak mungkin aku diam!” Karuan saja Miranda mendengus, di suruh diam? Mana asyik. Keteguhan melawan sang ayah sudah membabi buta. Mungkin betul tenaganya tidak bisa di andalkan, tapi serangan dan ambisinya dapat mempermainkan lawannya dua kali lebih besar dibandingkan jika dia hanya diam.
Arik telah berdiri di dekat Miranda. “Ini baru awal, jangan buang tenaga kakak dengan cuma-cuma!”
“Kamu khawatir sama aku?” Miranda menyeringai lebar meski tangan dan kakinya tetap bersiap menunggu serangan dan menyerang.
“Kita memang tidak spesial, tapi boleh juga ada kekhawatiran yang besar di antara kita.”
Butuh waktu untuk menyetabilkan napas dan butuh waktu untuk menjawab pertanyaan konyol itu. Tak berkedip Arik terus menatap Condro Wongso.
“Khawatir sudah pasti, jauh dari itu, aku bertanya? Mampukah Kakak menyelesaikan urusan pribadi dengan ayahmu sendiri?”
Miranda masih garang menyoroti ayahnya. Dan semakin garang pula sang ayah menatapnya. Di tengah sengitnya pertengkaran anak dan ayah itu. Arik dapat melihat kisah-kisah yang akan menjadi air mata di kemudian hari, menjadi benci, sesal dan rasa yang sulit dijabarkan dalam kata-kata mutiara.
Miranda menyipitkan mata. “Semenjak aku tersakiti oleh perselingkuhan suamiku, aku yakin inilah yang dirasakan ibuku. Inilah yang dirasakan kaum perempuan yang dijadikan ayahku alat. Ayahku sumber penyakit dan kekacauan di rumah!”
Seiring dengan tarikan napas panjang, langkah kaki Miranda juga bergerak ke arah Condro Wongso.
Pria sepuh itu menyeringai. Sebenarnya terlalu berbahaya bagi seorang perempuan berada di kubah gaib tanpa perlindungan. Segalanya bisa jadi tak terduga. Dan satu-satunya perlindungan bagi Miranda hanyalah Arik. Pemuda desa yang sedang digandrungi anaknya itu harus ditumpaskan lebih dulu.
Condro Wongso berjongkok, ayunan parang yang disertai kemarahan akan terlihat serampangan dan ngawur. Hal itu dengan mudah dia hindari dan dengan cepat pula, dia menjejakkan kakinya ke kaki Miranda.
Wanita itu memekik sakit, parang terlepas dari tangannya. Miranda memegangi kakinya yang ngilu dengan mata nanar dan jantungnya terkaget-kaget.
Condro Wongso menyeringai, dengan cepat bangkit dari tanah, merebut parang itu selagi Arik berlari ke arah putrinya.
“Aku bilang apa?” Arik memekik. “Gak ada salahnya doa aja daripada jadi anak durhaka. Biar aku yang lawan ayahmu!”
Tiba-tiba Arik tertegun, tubuhnya menjadi beku, ujung parang yang dibawa Condro Wongso menyentuh bahunya.
“Jika itu keinginanmu, ada baiknya kau berbalik dan melawanku sekarang. Satu lawan satu seperti yang lain!” seru Condro Wongso.
Arik melirik ujung parang di bahunya. Parang itu berbau anyir, sedang Miranda amat terusik dengan keadaan Arik meski tak berani mengeluarkan kata-kata yang bisa berimbas kepada Arik sendiri.
“Jika demikian adanya, Paman. Aku tidak berani mengajukan penolakan selain melawan Paman dengan tangan kosong.” Keris terbuang, perilaku itu menarik perhatian Condro Wongso hingga pada perhitungan yang Arik lakukan, putaran tubuhnya sekaligus dorongan tangannya pada bahu Miranda dapat menghindari Condro Wongso dalam sekejap.
-
next
👍 great...
menegangkan, seru
say Miranda
duh punya berondong manise disanding terus, alibi jadi sekretaris pribadi nih...
next
jgn2 miranda jd tumbl bpknya sndri. krn thu miranda sdg skit hati.