"Bisakah kita segera menikah? Aku hamil." ucap Shea Marlove dengan kegugupan ia berusaha mengatakan hal itu.
Tak ada suara selain hembusan nafas, sampai akhirnya pria itu berani berucap.
"Jangan lahirkan bayinya, lagipula kita masih muda. Aku cukup mencintaimu tanpa perlu hadirnya bayi dalam kehidupan kita. Besok aku temani ke rumah sakit, lalu buang saja bayinya." balas pria dengan nama Aslan Maverick itu.
Seketika itu juga tangan Shea terkepal, bahkan jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelum ia gugup mengatakan soal kehamilannya.
"Bajingan kau Aslan! Ini bayi kita, calon Anak kita!" tegas Shea.
"Ya, tapi aku hanya cukup kau dalam hidupku bukan bayi!" ucapnya. Shea melangkah mundur, ia menjauh dari Aslan.
Mungkin jika ia tak bertemu dengan Aslan maka ia akan baik-baik saja, sayangnya takdir hidupnya cukup jahat. ......
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nagita Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29
___________
Malam itu Aslan keluar dari mobil miliknya, ia masuk ke dalam bangunan yang sangat mewah sekali.
Ada banyak para pria dengan pakaian serba hitam, salah satu dari mereka menyapa Aslan.
“Selamat malam Tuan Aslan, apa anda datang untuk mencari Tuan Dante?” tanya nya.
Aslan mengangguk dalam diam menatap pria itu dengan tatapan yang selalu datar.
“Tuan Dante saat ini ada di taman, Tuan sedang bersantai.” ucap pria itu.
Aslan menoleh ke arah taman, langkah kakinya langsung menuju ke taman itu tanpa berkata apapun.
Tap! Tap!
Aslan tatap seorang pria yang sudah berumur, rambutnya bahkan memutih. Tubuhnya terlihat masih sangat bagus, sekalipun dia sudah tua. Seolah di masa muda, pria itu sering berolahraga.
“Uncle.” sapa Aslan lalu duduk di taman itu tepatnya di hadapan pria dengan nama Dante itu.
Pria itu tampan, walau sekalipun wajahnya menua namun ketampanannya sama sekali tak pudar.
“Ah kau ya, ada apa datang malam begini Aslan?” tanya nya.
Aslan lebih dulu menuang wine ke dalam gelas itu membuat Dante mengamati wajah frustasi Aslan.
Tatapan Dante pada Aslan membawa ingatan lama dimana ia menemukan Aslan saat pria itu frustasi di masa lalu.
Entah sudah berapa tahun mereka saling mengenal, namun yang pasti kehidupan Aslan berubah berkat Dante.
Aslan yang penuh keraguan sejak ditinggalkan Shea kini sudah berbeda dari sosok yang lama itu.
Aslan menjadi pimpinan sebuah Organisasi hingga diangkat menjadi ketua Mafia juga karena dukungan Dante.
Banyak hal yang Dante ajarkan agar Aslan menjadi pria tangguh.
“Hari ini aku banyak pikiran Uncle, barusan aku menemui wanita yang paling aku cintai itu. Hingga sekarang dia terus menolak keberadaanku, dia sudah terlalu membenciku.” ucap Aslan bercerita usai meletakan gelas wine yang baru saja ia minum.
Dante mengukir senyum mendengar ucapan Aslan.
“Lalu, apa yang ingin kau lakukan jika dia membencimu terus?” tanya Dante.
Aslan mengangkat wajahnya, ia menatap wajah Dante.
“Aku akan melakukan segala cara agar Shea kembali mencintaiku.” jawab Aslan dengan yakin.
Tawa kecil Dante terdengar.
“Termasuk melukainya?” tanya Dante.
“Aku tak melukainya, aku hanya ingin dia terus disisiku. Aku mencintainya dan aku…”
“Apa cinta itu sebuah paksaan? Tidak bisakah kau mencoba sedikit berdamai Aslan? Jika kau terus mengejar dan memaksakan apa yang dia tak mau, kau hanya membuat luka baru untuknya. Baginya bisa jadi kau memang luka untuknya dimasa lalu, jadi…”
“Itu tidak benar, aku mencintai Shea. Sampai kapanpun, ini adalah cinta. Jika dia terluka karenaku, maka aku akan menutup luka itu.” ucap Aslan dengan pasti.
Dante mengangguk kecil, ia membawa gelas wine miliknya untuk ia minum. Menghadapi Aslan yang keras kepala memang cukup sulit.
Usai itu Dante memutar gelas wine di tangannya seraya kembali memperhatikan wajah Aslan.
“Aslan, terkadang tidak semua cinta bisa diperjuangkan. Alih-alih menceritakan setiap keluh kesahmu pada Uncle, kenapa kau tak menceritakan alasan dia membencimu hm?” tanya Dante.
Aslan langsung memutuskan tatapannya dari Dante. Tampaknya Aslan malah diam lalu meminum wine lagi, ia sama sekali tak menjawab pertanyaan dari Dante.
Tak mendapatkan jawaban dari Aslan, Dante sepertinya juga tidak mendesak agar Aslan menjawabnya.
Hingga satu jam berlalu…
Diamnya Aslan malah menghabiskan banyak kaleng bir di meja itu.
“Selalu saja begini, kau benar-benar merepotkan Uncle. Aku sudah tua tapi kau terus-terusan membuatku stress karena masalahmu Aslan.” keluh Dante menatap Aslan yang sudah mulai mabuk.
Aslan meraih ponselnya, mulut pria itu mulai berucap.
“Aku menemuinya dan aku mendapatkan nomor ponselnya. Shea ku itu sangat cantik, dia mempesona dan selalu membuatku tergila-gila. Aku membenci statusnya saat ini. Bagaimana bisa dia menikah dengan pria lain padahal sudah jelas bahwa aku adalah pria yang paling tampan dalam hidup Shea selama ini.” ucap Aslan.
Aslan tertawa kecil melihat nomor ponsel milik Shea ada di ponselnya.
“Uncle, saat aku tahu dia akan datang ke Los Angeles… aku langsung merapikan penampilanku. Rambut panjangku dan jambang milikku, aku hilangkan karena aku ingin selalu terlihat tampan untuk Shea tapi dia malah tak memuji sedikitpun penampilanku.” ucap Aslan.
Tak lama setelahnya Aslan mengirim pesan suara ke nomor ponsel Shea.
“Sayanggg, aku sangat mencintaimu. Tolong kembalilah padaku Shea Marlove. Aku…aku begitu mencintaimu, hampir setiap hari aku memikirkanmu. Hanya kau satu-satunya wanita dalam hidupku.” ucap Aslan.
Senyum Aslan terbit, ia mau mengirim pesan suara baru tapi Dante berucap.
“Aslan, apa kau ingin mengganggu waktu tidurnya? Biarkan wanitamu istirahat.” ucap Dante menasehati.
Mendengar ucapan Dante, Aslan kembali kepikiran tentang sakit Shea.
“Uncle, Shea mengkonsumsi obat depresi yang mengandung nark*ba. Saat ini kesehatan fungsi otak Shea memburuk, aku harus apa Uncle?” tanya Aslan tampak serius dalam keadaan mabuknya.
Dante mengernyitkan dahinya usai mendengar ucapan Aslan.
Aslan ini sedang mabuk, apa dia bicara benar? Dante jadi sedikit ragu.
Dante menarik ponsel Aslan lalu meletakkannya di meja.
“Dia tak akan membaca pesanmu kalau dia sangat membencimu. Jadi coba ceritakan pada Uncle, obat apa yang dikonsumsi oleh wanitamu itu?” tanya Dante.
Mata Aslan menatap Dante, setelahnya Aslan tersenyum lalu menjatuhkan kepalanya di meja itu.
Bruk!
Aslan malah tidur.
Helaan nafas Dante terdengar lelah, kalau Aslan sedang mabuk pasti pria itu selalu kacau.
Dante memanggil bawahannya untuk memindahkan Aslan ke kamar.
***
Di sisi lain.
Masih tentang malam itu, Shea tak bisa tidur sedangkan Sean sudah tidur.
Tangan Shea memegang ponsel miliknya.
Pesan suara dari Aslan baru saja ia dengarkan, suara Aslan serak khas orang mabuk dan kacau.
“Kenapa kau membuatku seperti ini Aslan?” tanya Shea bermonolog.
Di sisi Shea ada Sean yang terlelap dengan tenang, mata Shea menoleh menatap Putra semata wayangnya.
Dada Shea terasa sesak.
Bukankah takdir ini cukup menyakitkan? Kalau Aslan tahu tentang Sean, apa yang akan terjadi nanti? Lalu bagaimana jika Aslan mengambil Sean darinya? Shea bisa apa?
Jelas Shea bisa mati!
Sean itu adalah bagian hidup untuk Shea, bagi Shea Putranya adalah anugerah terhebat yang Tuhan kirim saat ia terluka.
“Mommy sangat menyayangimu Sean, jangan pernah tinggalkan Mommy.” ucap Shea mengelus puncak kepala Sean.
Shea letakan ponselnya ke meja, segera Shea bergabung tidur dengan Sean.
Shea memasukan Sean dalam pelukannya.
‘Tuhan aku mohon, jangan buat aku dan Putraku berpisah. Satu-satunya yang paling berharga untukku adalah Sean.’ ucap Shea membatin.
Air mata Shea menetes saat mata perempuan itu terpejam.
Terlihat Sean membalas pelukan Shea.
****
Pagi itu.
Aslan terbangun saat mendengar suara pintu terbuka, rupanya ia sudah berada dalam sebuah kamar. Aslan mengingat ke frustasiannya membuat ia mabuk.
Terlihat Dante datang bersama segelas minuman penghilang rasa mabuk untuk Aslan.
“Minumlah.” ucap Dante.
Aslan menyambutnya lalu meminumnya hingga habis.
Suara Dante kembali terdengar.
“Aslan, tadi malam kau membicarakan obat depresi yang wanitamu minum. Apa maksudnya itu?” tanya Dante.
“Aku mengatakan itu?” tanya Aslan.
Dante mengangguk.
“Kau juga mengirimkan pesan suara ke nomor wanitamu, ah Shea maksudnya.” lanjut Dante.
Shit! Aslan menggeram pelan, ia benar-benar kacau kalau sudah mabuk.
Aslan meraih ponselnya mendengar isi pesan suara yang sudah dilihat oleh Shea.
“Sialan! Aku pasti terdengar bodoh dari suara serak itu, gila kau Aslan!” ucap Aslan memaki dirinya seraya mengacak rambutnya kasar.
Dante terkekeh kecil melihat tingkah Aslan.
“Aslan jadi katakan apa maksudmu dengan obat…”
“Nanti, nanti aku cerita soal itu pada Uncle.” ucap Aslan seraya bangkit berdiri.
“Mau kemana kau?” tanya Dante cukup kesal.
Aslan ini selalu bertingkah semaunya. Terkadang datang tiba-tiba lalu pergi pun juga tiba-tiba.
“Aku mau menemui Shea, dia berjanji akan menghubungiku. Kami akan bicara hari ini.” ucap Aslan.
“Tapi apa dia sudah menghubungimu? Kalau belum maka tunggu saja. Setidaknya ia mengirimkan pesan padamu.” ucap Dante.
Aslan menggeleng.
“Tidak. Aku tak bisa menunggu, aku harus menemuinya secara langsung lalu menuntut janjinya, Shea bukan Shea yang dulu. Bisa jadi ia ingkar janji padaku.” ucap Aslan.
Aslan bersiap pergi namun langkahnya terhenti saat mendengar suara Dante.
“Apa kau tak berniat untuk melepaskannya saja? Bukankah terlalu jauh harapanmu untuk bisa memilikinya kembali? Keadaan kalian sangat berbeda, dia sudah memiliki suami sedangkan kau hanya mantan kekasihnya di masa lalu. Dia tak akan bisa kau miliki lagi Aslan, cobalah belajar untuk merelakan.” ucap Dante terdengar seperti nasehat.
Apakah mungkin Aslan bisa melepas Shea? Bagaimana kalau Aslan tahu ada seorang Putra ditengah hubungan kacau mereka?
Aslan menoleh namun ia tak menatap Dante, hingga jawaban Aslan terdengar.
“Jika aku tahu caranya untuk berhenti mencintainya, maka sejak kemarin sudah aku lakukan Uncle. Tapi semakin aku melihatnya maka semakin besar harapanku untuk memiliki Shea, apapun itu aku mau ia dan aku kembali seperti dulu. Kami harus saling mencintai lagi.” ucap Aslan.
Setelah mengatakan hal itu Aslan pergi.
Dante hanya bisa menarik nafas pelan, ia hembuskan dengan lelah.
"Aslan hanya orang asing, tapi setiap kali memikirkan masalahnya aku juga jadi ikut pusing. Dia benar-benar keras kepala." ucap Dante kesal sendiri.
Tiba-tiba Dante terpikirkan satu hal, mendadak ia jadi penasaran wanita seperti apa yang selalu dicintai oleh Aslan secara gila-gilaan itu.
Bersambung…