keinginannya untuk tidak masuk pesantren malah membuatnya terjebak begitu dalam dengan pesantren.
Namanya Mazaya Farha Kaina, biasa dipanggil Aza, anak dari seorang ustad. orang tuanya berniat mengirimnya ke pesantren milik sang kakek.
karena tidak tertarik masuk pesantren, ia memutuskan untuk kabur, tapi malah mempertemukannya dengan Gus Zidan dan membuatnya terjebak ke dalam pesantren karena sebuah pernikahan yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Ditinggal begitu saja
Aza merasa seperti baru saja tertidur sejenak ketika suara azan Subuh menggema di kamar hotel. Dia terjaga dengan cepat, matanya melirik ke sekeliling ruangan untuk memastikan tidak ada yang kurang dari pakaian yang ia kenakan. Dengan cemas, dia menatap ke arah sofa tempat Gus Zidan semalam berbaring. Namun, sofa itu sudah kosong—Gus Zidan tidak ada di sana.
Kemana dia perginya ...., gumam Aza dalam hati.
Meskipun hatinya masih berdebar karena malam yang penuh ketegangan, Aza mencoba tidak memikirkan keberadaan Gus Zidan terlalu dalam. Ini adalah pagi baru, dan dia harus memulai hari dengan sebaik mungkin.
Ahhhh, kenapa juga ambil pusing, lagipula bukankah bagus, aku bisa kabur ...., senyum tipis terukir di bibirnya.
Dengan langkah cepat namun hati-hati, dia beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Kesejukan air yang menyiram tubuhnya memberikan sedikit kenyamanan, seolah membersihkan tidak hanya debu fisik, tetapi juga kekacauan emosional yang menempel sejak kemarin.
Setelah selesai membersihkan diri, ia baru teringat jika bukan bajunya hanya yang dipakai saat ini, bahkan saat ijab Qabul pun ia memakai baju yang sama, hanya sebuah jilbab yang dibelikan oleh pamannya tadi malam.
"Bodoh, pakek bajunya siapa sekarang coba." gumamnya pelan mengutuki dirinya sendiri.
Aza kembali ke kamar hanya dengan memakai handuk saja, ia mengedarkan pandangannya, mencari-cari sesuatu, hingga sebuah koper teronggok di sudut kamar dengan cepat ia menghampirinya.
"Maaf ya, aku hanya mau pinjam baju." gumamnya pelan, beruntung koper tidak di kunci jadi ia bisa membukanya,
"Kenapa cuma kemaja sama celana sih adanya."
Akhirnya Aza memilih sebuah kemeja untuk dipakai dan menyiapkan tempat sholat di sudut ruangan. Sholat Subuh adalah rutinitas yang memberi ketenangan, dan dia merasa perlu menghadap Tuhan untuk mendapatkan kekuatan di tengah situasi yang begitu membingungkan.
Meskipun perasaan lelah dan cemas masih membayangi, Aza merasakan sedikit kedamaian saat memanjatkan doa. Suara azan yang terdengar jelas di pagi yang sunyi ini seolah mengingatkannya pada sesuatu yang lebih besar dari masalah-masalah pribadi yang dihadapinya.
Selesai sholat, Aza duduk sejenak di karpet, menenangkan pikirannya. Dia mencoba untuk merenungkan apa yang telah terjadi dan bagaimana dia bisa menghadapi hari yang baru ini dengan kepala tegak.
Pagi itu dimulai dengan penuh harapan, meskipun Aza masih harus berhadapan dengan banyak hal yang tidak terduga. Namun, untuk saat ini, ia merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi hari dengan segala ketidakpastian yang akan datang.
Aza menyelesaikan sholat, dan bersantai dengan penuh ketenangan pagi itu, ia tidak mungkin kabur dengan baju seperti itu.
Sudah setengah jam ia menunggu, namun Gus Zidan belum juga kembali ke kamar. Perasaan cemas mulai menghampiri pikirannya. "Jangan-jangan dia sudah pergi dan meninggalkanku di sini," pikirnya, khawatir akan apa yang mungkin terjadi jika dia benar-benar ditinggal sendirian.
"Apa aku pergi aja ya," gumamnya kemudian, ia pun kembali membuka koper memastikan ada yang bisa ia pakai selain kemeja, bajunya terlanjur basah di kamar mandi.
"Bahkan aku tidak pakek celana dalam, bagaimana bisa aku keluar," Aza semakin frustasi.
Baru saja hendak menyerah, tiba-tiba terdengar ketukan dari luar. Suara ketukan itu mengagetkannya, membuat jantungnya berdegup cepat sekali lagi.
Dengan cepat ia menghampiri pintu. Saat Aza membuka pintu, dia menemukan Wahyu, asisten pribadi Gus Zidan, berdiri di luar dengan ekspresi terkejut.
"Astaghfirullah hal azim," ucapnya sembari menutup wajahnya kemudian berbalik.
"Ada apa sih?" tanya Aza tanpa rasa bersalah.
"Assalamualaikum, nona. Maaf menggangu waktu anda,"
"Waalaikumsalam, kamu kenapa sih, kayak habis lihat hantu aja. Memang aku seserem itu?" jawab Aza ikut bingung.
"Saya ke sini ingin mengantar baju ini untuk anda." ucapnya tanpa berbalik dan menyerahkan sebuah paperbag besar.
"Ahh, kenapa nggak dari tadi sih," ucap Aza dan langsung mengambil paper bag itu dari tangan Wahyu.
Blakkk
Dan tanpa aba-aba, ia menutup dengan keras pintu dari dalam meninggalkan Wahyu yang masih memegangi jantungnya diluar kamar.
"Ahhh coba aja kalau Gus Zidan melihat pemandangan kayak gitu, aku yakin Gus Zidan nggak perlu waktu lama deh buat jatuh cinta sama istri kecilnya." gumam Wahyu masih dengan memegangi jantungnya.
Di dalam Aza segera memakai bajunya, sebenarnya ini baju baru bukan baju miliknya tapi tidak pa pa, asal ia tidak hanya pakek kemeja.
"Norak banget sih milih bajunya, kan jean ada, kaos juga banyak, ini mah susah jalannya." gerutu Aza saat sudah memakai baju dan rok panjangnya, jelas itu bukan gaya Aza yang terbiasa dengan kaos pendek dan celana jeans-nya.
Setelah selesai memakai baju, pintu kembali di ketuk dari luar, Aza dengan malas membuka pintu dan ia mendapati Wahyu lagi di depan kamar.
"Ada apa lagi, om?"
Wajah Wahyu seketika datar, "Om?"
"Lupakan." Aza tidak mau memperpanjang.
Wahyu mengangguk dengan hormat dan berkata, "Selamat pagi, Nona Aza. Maafkan saya jika mengganggu, tapi saya perlu memastikan jika Anda baik-baik saja."
Aza mengangguk, "Ya, saya baik-baik saja, terima kasih. Sudah kan?"
"Saya harus menemani nona sampai Gus Zidan kembali." ucap Wahyu lagi.
"Memang dia kemana?" tanyanya malas.
Wahyu menghela napas ringan dan menjelaskan, "Gus Zidan pergi untuk urusan penting pagi ini. Beliau akan segera kembali. Sementara itu, saya akan memastikan segala sesuatunya berjalan dengan lancar dan memastikan nona Aza nyaman."
"Terima kasih, om Wahyu. Jika Anda tidak keberatan, saya akan menunggu di sini hingga Gus Zidan kembali." ucapnya sok formal.
Wahyu tersenyum “Nona Aza,” kata Wahyu dengan sopan, “Gus Zidan meminta saya untuk menemani Anda sarapan sebelum beliau kembali.”
Aza mengerutkan dahi. “Sarapan?” tanyanya, agak terkejut. “Kapan Gus Zidan akan kembali?”
Wahyu tersenyum menenangkan. “Beliau belum bisa memastikan waktu pasti, tetapi sepertinya tidak akan lama. Sementara itu, Gus Zidan ingin memastikan Anda tidak sendirian dan dapat menikmati sarapan.”
Aza mengangguk, merasa sedikit lebih tenang dengan adanya perhatian tersebut. “Baiklah, om Wahyu. Aku juga lapar."
Wahyu mempersilakan Aza untuk mengikuti langkahnya ke area sarapan di hotel. Mereka berjalan menuju ruang makan yang terletak tidak jauh dari kamar. Di sana, meja sarapan telah disiapkan dengan berbagai pilihan makanan, dari roti segar dan buah-buahan hingga berbagai jenis hidangan hangat.
“Silakan, Nona Aza. Jika ada yang Anda butuhkan atau inginkan, jangan ragu untuk memberi tahu saya,” kata Wahyu, sambil membantu Aza memilih tempat duduk.
Aza duduk di meja yang dekat dengan jendela, menikmati pemandangan pagi yang cerah. Dia mengambil piring dan mulai menyajikan makanan, mencoba untuk menikmati sarapan yang telah disiapkan dengan baik.
"Mana kenyang kalau segini." gumamnya pelan saat melihat makanan di depannya, ini pertama kalinya ia makan di hotel. biasanya saat sang ayah mengajak menginap di hotel, mereka selalu memilih makan di luar hotel.
"Apa perlu saya memesan lagi untuk anda?" tanya Wahyu masih dengan nada formal.
"Enggak deh, kayaknya mahal." ucap Aza sambil mulai menyantap sarapannya, Kehadiran Wahyu sebagai teman berbicara, meskipun sebatas formal, juga membantu mengurangi rasa kesepian yang sempat dirasakannya.
“Assalamualaikum nona Aza,” sapa Gus Zidan sambil duduk di meja sarapan yang sama. “Maaf membuat Anda menunggu lama. Kira-kira apa nona Aza sudah merindukanku?”
"Waalaikumsalam, apaan sih. nggak lucu."
"Wahyu, pesankan aku yang sama." perintahnya pada sang asisten.
"Baik, Gus."
Aza mengerutkan dahi, memandangnya dengan tatapan jengkel. “Oh, jadi ini yang namanya ‘tepat waktu’ menurut Anda?” ujarnya, suaranya terdengar frustrasi namun tetap sopan. “Saya sudah menunggu hampir sepanjang pagi.”
Gus Zidan tertawa kecil, tidak tampak terganggu oleh keluhan Aza. “Wah, sepertinya Anda sangat merindukanku ya."
"Jangan membuatku semakin kesal ya."
Gus Zidan hanya tersenyum ringan, hingga pesanan Gus Zidan datang sedangkan makanan Aza sudah habis, tapi perutnya belum terisi sempurna.
"Sepertinya kamu tidak terlalu lapar!?" ujar Aza kemudian membuat Gus Zidan yang hendak menyendok makanannya mendongakkan kepalanya.
"Kenapa?"
"Tidak pa pa, jika kamu tidak mau aku bisa menghabiskan." ucap Aza dan Gus Zidan pun tanpa keberatan menggeser piringnya.
"Apa perlu saya pesankan makanan lagi, Gus?" tanya Wahyu dan Gus Zidan pengangkat tanganya memberi isyarat jika tidak perlu.
"Tidak perlu, aku sudah kenyang." ucapnya kemudian.
Selagi Aza menikmati makanannya, Gus Zidan hanya tersenyum, melihat bagaimana Aza begitu lahap saat makan.
Badannya kecil, tapi makannya banyak juga, batin Gus Zidan.
Bersambung
Happy reading
emak nya Farah siapa ya...🤔...
aku lupa🤦🏻♀️
yang sebelm nya ku baca ber ulang²....
hidayah lewat mz agus🤣🤣🤣🤣🤣🤣....
eh.... slah🤭.... mz Gus....😂😂😂
100 dst siapa ikut😂😂😂😂
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....