Lahir, dan besar, di negara yang terkenal karena budaya tolong menolong terhadap sesama, tanpa sengaja Reina menolong seseorang yang sedang terluka, tepat ketika salju tengah turun, saat dirinya berkunjung ke negara asal ayah kandungnya.
Perbuatan baik, yang nantinya mungkin akan Reina sesali, atau mungkin justru disyukuri.
Karyaku yang kesekian kalinya, Jangan lupa mampir dan tinggalkan jejak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terpenjara
Terima kasih banyak udah pada mampir, jujur aja, aku hampir hopeless dengan cerita ini, tapi berkat kalian aku jadi semangat lagi.
Happy reading
Sembari menunggu kedatangan Ryu, Reina dan kedua putra kembarnya, ditempatkan pada sebuah rumah tradisional, yang cukup jauh dari tempat Daiki berada, saat mereka bertemu. Walau masih dalam satu area.
Reina sendiri tidak tau, nama daerah tempatnya berada saat ini, karena selama perjalanan menuju kesini, matanya selalu ditutup.
Ponsel dan semua barang-barangnya disita, termasuk paspor miliknya, juga milik putra-putranya.
Dia juga diberikan baju tradisional, selama berada di sana, meski tanpa riasan, atau hiasan rambut.
Sudah dua hari dia berada di sana, ini pertama kalinya, mereka hidup tanpa gawai, dan alat elektronik lainnya.
Rasanya seperti tertarik ke dalam zaman di mana manusia belum mengenal semua alat modern.
Bahkan saat malam tiba, penerangan hanya mengandalkan lentera yang mengeluarkan cahaya redup kekuningan.
Sebagai manusia modern, Reina dan si kembar, merasa tak betah, ingin lari, tapi kemana? Tembok di belakang rumah terlalu tinggi, dan lelaki berpakaian layaknya ninja, berjaga di depan pintu.
Sepenting itukah dirinya, dan kedua putranya? Hingga harus diperlakukan layaknya tahanan.
Bahkan masalah makanan yang mereka konsumsi pun, jauh dari selera. Meskipun Reina sering disuguhi makanan khas negara ini, tapi tetap saja, dari lahir dia sudah terbiasa dengan makanan berbumbu kuat.
Pelayan yang mengantarkan makanan untuk mereka, mengatakan jika hidangan yang disajikan, adalah makanan sehat, dan bergizi.
Lalu di sini terlalu hening, bagi mereka yang terbiasa hidup di pemukiman padat Jakarta. Suara petikan gitar pemuda sekitar rumahnya, lali Omelan tetangga sebelah pada anaknya, dan suara pedagang keliling, ingin sekali mereka dengar.
Terkadang sesuatu yang menurut sebagian orang cukup mengganggu, menjadi sangat dirindukan jika sudah tak lagi mereka lihat, dengar, dan rasakan.
Andai ada laptopnya, mungkin Reina akan mengetik belasan bab, untuk novelnya, tapi masalahnya benda penting itu, tak ada bersamanya.
Jika pagi dan siang, mereka diizinkan keluar rumah, tapi hanya di sekitar, karena ada pria berpakaian ninja mengawasi pergerakannya.
Satu-satunya hal yang menyenangkan untuk mereka, hanya melihat ikan koi berwarna-warni, dengan jumlah tak terhitung, tepat di samping rumah.
"Ma, sampai kapan kita di sini? Ei mulai bosan," keluh bocah berambut hitam, yang menumpu dagu pada kedua lututnya.
Reina juga melakukan hal yang sama, mereka duduk di teras samping rumah, sembari melihat ikan koi berlenggak-lenggok di kolam besar, "Mama juga nggak tau, Ei!" dia menghela napas lelah.
"Apa Papa akan datang menjemput kita?" Aizen yang pendiam, akhirnya bersuara.
Eizen bangkit, dan mengambil pakan ikan koi, dia menaburkannya ke kolam, "Kalau di sini terus, gimana sekolah, dan teman-teman di rumah? Ei rindu mereka,"
Aizen turut serta mengikuti adiknya, "Ai, rindu guling di rumah, harusnya saat kita ke sini, bawa aja ya!" ada satu benda kesukaan putra sulung Reina, yaitu sebuah guling bayi, yang wujudnya sudah tak layak, tapi karena suka, maka tak pernah dibuang, hanya sesekali dicuci.
Reina membernarkan letak kaca matanya, dia menatap kedua putranya, rasanya tak tega, tapi mau bagaimana lagi, dia juga tak bisa berbuat apa-apa.
"Mama nggak risih pake baju kayak gitu?" Eizen menoleh padanya.
Reina menunduk, melihat penampilannya sendiri, sebuah Yukata, berwarna biru dengan motif bunga putih, yang dilengkapi dengan Obi atau sabuk. Sebagai perempuan yang terbiasa menggunakan kaus, atau daster batik longgar, rasanya tak nyaman, tapi tak ada pilihan lain, hanya ada jenis pakaian seperti ini, yang ada di lemari. "Dari pada nggak pakai baju," jawabnya, "Kalian sendiri bagaimana?" tanyanya balik.
Kedua bocah itu saling pandang, Aizen mengenakan Jinbei berwarna biru, sedangkan Eizen berwarna cokelat muda.
"Nyaman aja sih, tapi enakan kaus Spongebob yang keteknya udah bolong, Ma," Eizen tertawa.
"Walau ada kakek asli Jepang, tetap aja kita ini orang Indonesia, kayaknya kita nggak cocok hidup di sini. Meski rumahnya gede, dan halaman luas, Ai lebih seneng rumah kita di gang sempit, banyak temen, bisa main bola siang-siang, biarpun entar Mbah So ngomel, gara-gara kita berisik."
Reina tertawa, putranya yang pendiam, dan jarang berbicara panjang lebar, akhirnya bisa menyampaikan unek-uneknya.
Eizen berjalan mendekati Reina, "Ma, gimana kalau Mama temui Tuan Daiki, minta kita dipulangkan ke Jakarta aja gitu. Lagian yang beliau butuhkan hanya Papa, kita nggak ada hubungannya," usulnya.
"Betul tuh, Ai setuju," Aizen berseru, dia sependapat dengan adiknya, "Apa untungnya mereka menahan kita? Kita ini nggak punya banyak uang, jadi ayo kita datangi Tuan Daiki itu."
Reina terdiam, dia berpikir, memang ada niatan seperti itu, tapi masalahnya pelayan yang mengantarkan makanan, menolak berbicara.
***
Menjelang makan malam salah seorang pelayan, meminta pada ketiganya untuk segera bersiap, Daiki meminta mereka menghadap.
Namun alangkah terkejutnya ketiganya, saat pintu geser itu terbuka, banyak sekali orang berada di ruangan besar itu.
Semacam aula, tapi dengan materi kayu sebagai tiang penjaga, dan meja-meja berjejer di kedua sisi.
Daiki duduk di paling ujung, masih dengan pakaian tradisional khas musim panas, dan orang-orang juga mengenakan pakaian yang sama, hanya berbeda warna.
Yang membuat Reina bingung, bukan hanya laki-laki, tapi ada seorang perempuan di sebelahnya, di belakangnya ada beberapa remaja dan anak-anak.
Pelayan di belakangnya, meminta pada Reina, dan si kembar untuk memberikan salam penghormatan. Dengan amat sangat terpaksa ketiganya menunduk hingga sembilan puluh derajat.
Daiki berkata dengan lantang, jika Reina, dan si kembar, adalah istri, dan anak dari saudara bungsu mereka. Lalu memintanya untuk duduk di meja kosong tepat di sisi kanan mereka.
Reina tak percaya dengan apa yang didengarnya baru saja. "Sejak kapan, gue nikah sama Ryu? Ngarang banget dasar bau tanah."
Reina duduk di depan, dengan sisi kosong sebelahnya, sedangkan dua putranya berada di meja belakangnya.
Daiki kembali bersuara, memperkenalkan satu-persatu saudara-saudara satu ayah dari Ryu. Yang dilakukan oleh Reina adalah memasang senyum, dan menunduk, pada setiap saudara yang dikenalkan.
"Ketemu di jalan, yakin banget, gue bakal lupa," katanya dalam hati, Reina tipe buruk dalam mengenali orang yang jarang berinteraksi dengannya.
Baru saja selesai berkenalan, pintu terbuka, otomatis mereka yang berada di ruangan itu menoleh ke satu titik yang sama.
Sesosok lelaki berpakaian berbeda, setelan jas serba hitam, dan postur tubuh jangkung, berdiri di depan pintu, dengan tatapan tajam, tertuju pada sosok paling ujung.
Makian terlontar begitu saja keluar dari mulut lelaki itu. Terlihat jelas kemarahan di wajahnya.
Baru kali ini Reina melihat ekspresi itu, seram sekali, tapi tak memudarkan ketampanan ayah dari anak-anaknya.
kak knp bukam Ryu aja yg ngidam biar tau rasa...
tp yaa sdhlah, Next kak💪🏻💪🏻🥰🥰