NovelToon NovelToon
Inspace

Inspace

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Percintaan Konglomerat / Diam-Diam Cinta
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: camey smith

Dalam keheningan hidup yang terasa hampa, Thomas menemukan pelariannya dalam pekerjaan. Setiap hari menjadi serangkaian tugas yang harus diselesaikan, sebuah upaya untuk mengisi kekosongan yang menganga dalam dirinya. Namun, takdir memiliki rencana lain untuknya. Tanpa peringatan, ia dihadapkan pada sebuah perubahan yang tak terduga: pernikahan dengan Cecilia, seorang wanita misterius yang belum pernah ia temui sebelumnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon camey smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

So Honorable

Dengan langkah yang ragu dan pikiran yang penuh tanya, Thomas menapaki jalan kembali ke kediaman Margareta. Ponsel itu tak henti-hentinya berbunyi, suara deringnya memecah kesunyian, membawa pesan dari Mateo yang tak sabar menanti di seberang sana.

Dengan berat hati, Thomas membiarkan ponselnya terus berdering tanpa jawaban. Dia tahu, di ujung sana, Mateo hanya akan mengulang pertanyaan yang sama, pertanyaan tentang seorang cucu yang masih menjadi mimpi yang belum terwujud.

Dengan hati yang berat dan perasaan yang bercampur, Thomas mengambil keputusan untuk menghubungi Fabio. Meski ada keraguan yang mendalam karena Fabio adalah orang yang telah merusak bulan madunya, namun kebutuhan untuk berbagi dan berbicara mengalahkan segalanya. Dalam keheningan yang menyelimuti, ia menekan nomor yang sudah begitu akrab, menunggu suara sahabatnya itu menyapa dari seberang sambungan.

Fabio menjawab dengan nada yang berlebihan, "Akhirnya! Tommy, akhirnya kau menelponku! Aku pikir kau sudah diculik oleh alien atau mati dimakan semut raksasa. Kau di mana? Sembunyi di balik batu atau terjebak dalam cinta Cecilia?"

Thomas tidak bisa menahan tawa, "Aku di suatu tempat, Fabio. Semut-semut itu lebih sibuk mengurus ratu mereka daripada memikirkan untuk memakan aku."

Thomas dengan nada setengah berharap, berkata, “Fabio, aku butuh bantuanmu. Bisakah kau mengurus Mateo? Aku tahu ini permintaan yang sulit, tapi aku benar-benar tidak bisa menghadapinya sekarang.” Thomas membahas soal kerjasama yang dia bahas dengan Camila.

Fabio dengan nada serius namun masih dengan sentuhan humor menjawab, "Thomas, kawan, aku tahu Mateo itu seperti badai yang siap menerjang. Tapi kau tahu, aku bukan penyihir yang bisa menghilangkan badai. Aku hanya bisa memberimu payung. Jadi, hadapilah dia, bicaralah padanya. Aku yakin kau akan menemukan cara untuk meredakan amarahnya."

Thomas merenung dengan perasaan yang berat, "Aku tidak bisa bicara pada Mateo sekarang. Kau tahu. Aku belum berhasil memberinya cucu," gumamnya, sambil membayangkan wajah Mateo yang pasti akan terlihat sangat murka. Rasa kecewa dan tekanan untuk memenuhi harapan menjadi beban pikirannya.

"Tugasmu sangat sederhana, Tommy. Segera hamili Cecilia! Setelah itu, masalah dengan Mateo akan teratasi dengan sendirinya." Ucap Fabio.

Thomas hanya bisa menghela napas, tersenyum getir atas saran yang terdengar begitu mudah dari mulut sahabatnya itu. Thomas mengungkapkan keraguannya dengan suara yang rendah, "Bagaimana caranya? Aku bahkan belum menyentuhnya," katanya, menunjukkan betapa dia terjebak dalam situasi yang rumit dan penuh dilema.

"Astaga! kau belum berhasil juga? Tongkatmu tumpul atau apa?" ejek Fabio dengan terkekeh.

"Berhenti mengejekku, Fabio!" serunya, kata-katanya menggema seolah-olah menantang keheningan yang menindih. "Kau urus Mateo dan biarkan aku yang mengurus Cecilia. Tunggu dan lihat, istriku, Cecilia, akan membawa berita gembira; dia akan segera hamil." Dengan suara yang berat dan penuh emosi, Thomas menekan tombol merah pada ponselnya, mengakhiri panggilan yang telah memicu api dalam dirinya.

Thomas meletakkan ponselnya ke dalam saku dengan perasaan campur aduk, antara harapan dan ketegangan, menanti masa depan yang akan segera terbentang di hadapannya.

Diam-diam, Cecilia berdiri di balik pintu yang terbuka sedikit, napasnya tertahan, matanya melebar dalam keheningan yang tiba-tiba menjadi saksi bisu. Setiap kata yang terucap dari bibir Thomas, meski tidak ditujukan untuknya, menyeruak masuk ke dalam hatinya, menggema dengan kekuatan yang tak terduga. Percakapan itu, yang seharusnya terkunci dalam privasi, kini menjadi rahasia yang tak lagi tersembunyi bagi Cecilia.

Cecilia mengambil napas dalam, mengumpulkan keberanian yang telah ia kumpulkan setelah tidak sengaja menguping pembicaraan Thomas. "Kau dari mana saja?" tanyanya dengan suara yang bergetar sedikit, mencari kejelasan, mencari kebenaran di balik kata-kata yang telah ia dengar.

Thomas menoleh, tatapan matanya bertemu dengan Cecilia yang berdiri dengan aura kebingungan yang terpancar dari wajahnya. "Aku habis jalan-jalan, tadi pagi kau tidak ada jadi aku pergi sendiri." jawabnya, suaranya mencoba menyembunyikan gema percakapan yang baru saja terjadi. "Ada yang ingin kita bicarakan, Cecilia," lanjutnya, mengundangnya untuk duduk bersama, menyiapkan panggung untuk dialog yang akan menentukan arah masa depan mereka.

Cecilia menatap Thomas dengan mata yang mencari-cari, seakan-akan mencoba membaca pikiran yang tersembunyi di balik wajahnya yang tenang. “Kau dari mana saja?” tanyanya sekali lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak, membutuhkan jawaban yang lebih dari sekadar kata-kata.

Thomas menarik napas panjang, merasakan bobot dari pertanyaan yang Cecilia ajukan. "Aku hanya berjalan-jalan," ujarnya dengan nada yang mencoba menyembunyikan kegelisahan yang menderanya. "Jangan ajak aku bertengkar, aku sedang tidak mood," lanjutnya, suaranya rendah dan penuh dengan kelelahan yang tak hanya fisik, tetapi juga emosional.

“Siapa yang memintamu untuk bertengkar? Aku hanya bertanya,” katanya, suaranya lembut namun penuh dengan kekhawatiran yang tersembunyi, mencari kepastian di balik kata-kata Thomas yang terkesan menghindar. "Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Cecilia.

Thomas menatap Cecilia, matanya mencerminkan kerumitan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. "Ada banyak hal," jawabnya dengan suara yang berat. "Tentang kita, tentang masa depan yang mungkin kita bangun bersama, dan tentang kekhawatiran yang mungkin kita hadapi." Dia mengambil napas dalam, mencari keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya yang paling dalam.

Thomas berdiri di ambang keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Di dalam dadanya, ada perang antara keinginan dan kenyataan. Dia ingin memiliki keturunan, merasakan keajaiban menciptakan kehidupan baru, namun dia juga sadar bahwa pernikahan mereka tidak dibangun atas dasar cinta yang mendalam.

Perasaannya bercampur aduk; ada harapan yang berkecambah di sisi satu, Namun, di sisi lain, ada ketakutan yang menghantui, pertanyaan tentang apakah mereka bisa menjadi orang tua yang baik, apakah mereka bisa menumbuhkan cinta dalam hubungan yang praktis dan tanpa gairah.

Saat Thomas mencoba mengungkapkan keinginannya, dia merasa seperti berjalan di atas tali. Setiap kata yang dia pilih harus tepat, karena bisa menjadi langkah menuju masa depan yang lebih cerah atau jatuh ke dalam jurang kesalahpahaman. Dia tahu bahwa keinginan untuk memiliki anak adalah sesuatu yang sangat pribadi dan kuat, tetapi juga sesuatu yang harus dibagikan dan disetujui oleh kedua belah pihak.

Dengan napas yang tertahan, Thomas mencari kata-kata yang akan menyampaikan keinginannya dengan cara yang paling lembut dan penuh pengertian, berharap bahwa Cecilia akan mendengar dan memahami keinginan hatinya yang paling dalam.

Dengan tatapan yang penuh harap, Thomas menggenggam tangan Cecilia. "Maukah kau mengandung keturunanku?" tanyanya, suaranya bergetar dengan keberanian yang baru saja ia kumpulkan. Itu adalah pertanyaan yang membawa berat masa depan, sebuah permintaan yang menggantung di antara mereka, penuh dengan kemungkinan dan ketidakpastian.

Thomas menatap Cecilia dengan penuh pengertian, suaranya lembut namun tegas. "Kau mungkin adalah istriku, tapi calon keturunanku akan tumbuh di dalam dirimu, dan tubuhmu adalah hakmu sepenuhnya," katanya. "Aku tidak berhak memaksa." Kata-kata itu mengalir dari hatinya, mencerminkan rasa hormat dan cinta yang mungkin belum pernah ia ungkapkan sebelumnya.

Cecilia menatap Thomas dengan mata yang berbinar, tergerak oleh pengakuan dan penghormatan yang baru saja ia terima. "Thomas," katanya dengan suara yang penuh dengan emosi yang baru terbangun, "terima kasih karena menghargai keputusanku. Aku merasa terhormat bahwa kau mempertimbangkan perasaanku dalam hal ini."

Dia mengambil napas dalam, mencari kata-kata yang akan menunjukkan kedalaman perasaannya. "Aku akan memikirkan tentang apa yang kau katakan, tentang keinginanmu, dan tentang apa artinya bagi kita berdua. Apapun keputusanku, aku ingin kau tahu bahwa aku menghargai bahwa kau memberiku ruang untuk memilih."

Dengan itu, mereka berdua duduk dalam keheningan yang nyaman, masing-masing merenungkan kata-kata yang telah dibagikan dan jalan yang mungkin akan mereka tempuh bersama. Itu adalah momen kecil namun penting dalam perjalanan pernikahan mereka, sebuah langkah menuju pemahaman dan rasa hormat yang lebih dalam.

Margareta, yang selama ini bersembunyi di balik pintu, merasakan hatinya dipenuhi oleh kebahagiaan yang tak terkira. Percakapan antara Thomas dan Cecilia, yang penuh dengan pengertian dan rasa hormat, memberinya harapan baru tentang cinta dan keluarga. Dengan senyum yang tak bisa disembunyikan, ia beranjak pergi, membawa bersamanya rasa senang yang akan ia simpan dalam kenangan untuk waktu yang lama.

1
Leo6urlss
Camila bener bener lu yeeee 🤣🤣
Leo6urlss
Wkwk andai menikah semudah itu pasti gw udh punya anak 5
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!