Dua tahun Sitha dan Danu berpacaran sebelum akhirnya pertunangan itu berlangsung. Banyak yang berkata status mereka lah yang menghubungkan dua sejoli itu, tapi Sitha tidak masalah karena Danu mencintainya.
Namun, apakah cinta dan status cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan?
Mungkin dari awal Sitha sudah salah karena malam itu, pengkhianatan sang tunangan berlangsung di depan matanya. Saat itu, Sitha paham cinta dan status tidak cukup.
Komitmen dan ketulusan adalah fondasi terkuat dari sebuah hubungan dan Dharma, seorang pria biasalah yang mengajarkannya.
Akankah takdir akhirnya menyatukan sepasang pria dan wanita berbeda kasta ini? Antara harkat martabat dan kebahagiaan, bolehkah Sitha bebas memilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kirana Pramudya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukti Bersungguh-sungguh
Sitha sesekali tersenyum melihat kue dengan tulisan 'Menikahlah denganku' yang berada di atas meja. Siapa sangka Dharma bisa bersikap begitu manis, sampai Sitha masih terbayang ketika bagian atas kue itu disulut api dan tampak tulisan seperti itu. Dharma yang duduk di hadapan Sitha, kemudian bertanya.
"Kenapa Dek?"
"Hm, kuenya cantik banget. Dekorasinya bunga-bunga," kata Sitha.
Dharma mengulum senyuman. Cantiknya kue di hadapannya itu tak secantik Sitha. Gadis yang duduk di depannya itu begitu cantik.
"Lebih cantik kamu," balas Dharma.
"Pasti kayak gitu deh," balas Sitha.
"Aku berkata serius kok."
Sitha memilih menyelesaikan makannya. Kenapa semua ini seolah sudah dipersiapkan. Tempat makan dengan nuansa kolonial, kue yang indah, bahkan suasana yang romantis. Sitha lagi-lagi tersenyum sendiri. Apakah karena sosok Dharma juga yang membuat Sitha tak meratapi gagalnya pernikahannya dengan Danu?
"Setelah ini ada tempat yang ingin kamu kunjungi enggak?" tanya Dharma.
"Enggak ada. Mas Dharma masih mau mampir?"
"Sebenarnya pengen mengenalkan kamu ke Bapak dan Ibuku, tapi nanti saja. Nunggu sudah ada restu dari Rama dan Ibu," balas Dharma.
"Yakin berani, Mas?"
"Harus berani. Aku akan berkata dan meminta baik-baik kepada Bapak Bima," kata Dharma.
Setelah itu, Dharma berdiri dan membayar semua makanannya termasuk flash cake yang sekarang dikemas kembali dan dibawa pulang oleh Sitha. Sitha sempat berkata lirih kepada Dharma.
"Mau split bill enggak, Mas?" tawarnya.
"Enggak lah. Sudah jadi kewajiban pria. Masak cuma begini aja minta split bill, bagaimana nanti kalau anak sekolah atau melahirkan, masak ya mau split bill. Jangan dong," balas Dharma.
"Maaf bukan bermaksud begitu, cuma kan makan tadi lebih banyak."
Dharma tersenyum ketika akan menaiki sepeda motor, dia kemudian berbicara. "Tidak apa-apa. Nanti kalau sudah serius dalam akad, semuanya juga milik kamu."
Sitha terkekeh walau dia malu. Bayangan Dharma sudah begitu jauh rasanya. Kemudian Sitha meminta izin memegang bahu Dharma lagi untuk menaiki sepeda motor. Gadis itu senyam-senyum seperti sedang Nyidam Sari, sedang jatuh cinta.
Menempuh perjalanan menuju ke kediaman Sitha, kali ini Dharma mampir masuk ke dalam karena langsung ingin berbicara dengan Rama Bima dan Bu Galuh.
"Sudah pulang, Mas Dharma?" tanya Bu Galuh.
"Iya, Ibu. Sudah," balasnya. "Bapak ada, Ibu? Saya ingin berbicara dengan Bapak dan Ibu," kata Dharma dengan sopan.
Bu Galuh akhirnya memanggilkan suaminya yang sedang berada di taman belakang rumah. Sekarang, mereka sudah bersama di ruang tamu. Ada Rama Bima, Bu Galuh, Dharma, dan juga Sitha.
"Ada apa, Mas?" tanya Rama Bima.
"Bapak kaliyan Ibu, sak derengipun Dharma matur nuwun sampun kepareng ngajak Dek Sitha. Ing dinten menika, kula badhe sanjang menawi kula tresna kaliyan Dek Sitha. Kula kerasa nyampeaken ketulusan manah kulo penggalih kulo kagem nglamar putrinipun Bapak kaliyan Ibu."
Dharma menuturkannya dalam bahasa Jawa halus. Sebagai wujud dia menghormati kedua orang tua Sitha, sekaligus Boss di perusahaan tempatnya bekerja. Rama Bima dan Bu Galuh saling pandang dan tersenyum. Orang tua itu sebenarnya sudah tahu apalagi ada gelagat yang tak biasa. Sudah memahami ada perasaan yang terpendam ketika Dharma datang dan menunjukkan perhatiannya kepada Sitha. Akhirnya, Dharma berani berbicara dan pemuda itu terlihat sangat serius.
"Saya memang pemuda biasa, dari keluarga yang sangat sederhana. Bukan lahir dengan hak istimewa dan berlimpah harta dunia, tapi saya sangat serius kepada Dek Sitha. Saya akan melindunginya dan berbagi perasaan indah ini sepanjang usia," kata Dharma lagi.
Ada anggukan kecil yang Bu Galuh berikan, Rama Bima juga menatap istrinya. Lalu, Rama Bima berbicara. "Rama sudah tahu kalau kamu menaruh perasaan kepada putri kami, Sitha. Rama dan Ibu itu tidak memandang seseorang dari kedarahbiruannya ketika mereka lahir atau karena harta kekayaan mereka. Rama dan Ibu itu menginginkan Sitha akan mendapatkan pria yang bertanggung jawab, yang dewasa, dan mengamalkan agamanya. Kamu bisa bertanggung jawab atas Sitha dengan melindunginya, menuntunnya, dan menjalani pasang surutnya kehidupan berumahtangga bersama-sama?" tanya Rama Bima.
"Ya, Dharma bisa, Bapak."
"Ya, Mas Dharma ... Bapak lan Ibu ngerteni penggalihmu. Bapak dan Ibu paring restu dinggo Mas Dharma lan Sitha," kata Rama Bima.
Ketika Rama Bima sudah mengatakan memberikan restu. Dharma merasa tegang, dan terharu. Bahkan ada air mata yang menitik begitu saja.
Rama Bima yang semula duduk, kemudian berdiri dan membuka tangannya. Dharma pun turut berdiri. Rupanya Rama Bima memberikan pelukan untuk Dharma.
"Nanti dijaga baik-baik, Sitha-nya yah, Mas. Jangan panggil Bapak, panggil Rama seperti Sitha memanggilnya."
"Nggih, Rama."
Bu Galuh juga berdiri. Dia bahkan turut memeluk Dharma. "Ibu juga menitipkan Sitha kepadamu. Dijaga, dipimpin, dan disayang yah, Mas."
"Nggih, Ibu."
Sitha yang melihat adegan itu saja terharu sampai meneteskan air mata. Tidak menyangka bahwa Dharma akan seserius itu.
Lalu, mereka sudah duduk kembali ke tempatnya masing-masing. Dharma kembali berbicara.
"Matur nuwun sangat Rama dan Ibu. Sekaligus, kalau diperkenankan saya tidak ingin berpacaran, langsung menikah saja. Takut dosa," katanya.
"Rama sudah memberi restu, Mas. Sitha sendiri bagaimana, mau langsung menikah?" tanya Rama Bima.
"Mau, Rama."
"Ya sudah, kalau memang sudah ada niat baik, disegerakan saja."
"Sama satu lagi, Dharma besok ingin mengajak Dek Sitha ke rumah untuk kenalan dengan kedua orang tua Dharma boleh Rama?" tanyanya.
"Boleh, Mas Dharma. Selama janur kuning belum melengkung, tetap harus menjaga dulu yah, Mas. Jangan melakukan hal-hal yang aneh-aneh. Rama juga berpesan, dalam pernikahan nanti tidak usah muluk-muluk, sekuatnya Mas Dharma saja. Tidak diberikan sesuatu yang berlebih tidak masalah, Mas Dharma. Sungguh, Rama itu tidak berorientasi ke pemberian Calon Pengantin Pria. Lihatlah Sitha sebagai Sitha saja," kata Rama Bima.
"Menawi Mahar tetap saya beri, Rama. Karena bentuk tanggung jawab calon suami kepada istrinya. Saya akan belajar terus bertanggung jawab, Rama."
Rama Bima menganggukkan kepalanya. Setidaknya dia sudah menyampaikan, dan tidak akan membebani Dharma dan keluarganya. Justru Rama Bima ingin Dharma melihat Sitha sebagai pribadinya bukan sebagai putri ningrat.
"Lansung Rama daftarkan ke KUA hari Senin nanti supaya cepat diproses," kata Rama Bima dengan tertawa.
"Matur nuwun sanget nggih Rama," katanya.
Kotak cincin yang semula dia bawa, sekarang dia keluarkan dari saku kemejanya. Rama Bima tersenyum rupanya Dharma sudah mempersiapkan semuanya dengan matang.
"Ini untuk Dek Sitha, tanda kalau saya serius," katanya.
"Dipakaikan dong, Mas. Harus Mas Dharma yang memakaikan."
Bu Galuh dan Rama Bima meminta keduanya berdiri dan menyematkan cincin itu di jari manis Sitha. Selain itu, Bu Galuh meminta tolong ART di rumah untuk mengambil foto, karena dia akan mengabari Satria. Walau hanya di rumah sekarang, tapi rasanya sangat bahagia.
tetap semangat ✊
Gusti Allah tansah mberkahi 🍀🌸❤🌸🍀
disyukuri walaupun hanya ada selintas ingatan yang masih samar di benak Shita
Terlebih didalamnya banyak terdapat sentuhan wawasan Budaya Jawa yang tentunya akan memperkaya pengetahuan si pembaca.
Saestu...sae sanget 👍