Sebuah rumah besar nan megah berdiri kokoh di tengah pedesaan yang jauh dari perkotaan. Rumah yang terlihat megah itu sebenarnya menyimpan banyak misteri. Rumah yang dikira biasa, nyatanya malah dihuni oleh ribuan makhluk halus.
Tidak ada yang tahu tentang misteri rumah megah itu, hingga satu keluarga pindah ke rumah tersebut. Lalu, mampukah mereka keluar dengan selamat dari rumah tempat Iblis bersemayam itu? Ikuti perjalanan mistis Bachtiar Purnomo bersama keluarganya!k
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 21
"Ngeliat apa kamu, Ren?" tanya Anggun.
Rendra berdiri menjauhi jendela kamar, tingkahnya jadi canggung sendiri.
"Enggak ngelihat apa-apa kok, Tante," jawabnya bohong.
Mbah Ijan terpana sesaat kala melihat kalung dengan batu merah delima melingkar di leher Bella.
Lelaki tua itu sangat akrab dengan batu tersebut, mbah Ijan mencoba memeganginya, namun kalung itu langsung memancarkan cahaya merah begitu dipegang oleh mbah Ijan.
Hal tersebut membuat semua orang terkesima dan tidak paham.
"Ada apa, Mbah? Kenapa kalungnya bisa bercahaya seperti itu?" tanya Dewi.
"Ini batu asli, masih ada belahan yang lain. Saya rasa satu lagi ada pada pemilik aslinya. Kalian mendapatkan batu ini dari mana?" tanya mbah Ijan.
"Itu miliknya Andini, Mbah. Dia bilang kalau kalung ini bisa menjauhkan Bella dari makhluk-makhluk itu, selama kalung ini masih sama dia, maka tidak ada yang bisa mengganggunya," jelas Anggun.
Mbah Ijan terdiam sesaat, hatinya mendadak tidak tenang.
"Kalung ini tidak bisa dipegang oleh orang yang memiliki ilmu seperti saya. Itu berarti hanya orang biasa yang dapat melepaskan kalung ini dari leher Bella. Jadi, kalian harus benar-benar bisa menjaga Bella sampai sukmanya dikembalikan," ujar mbah Ijan memberi tahu.
Malam ini dia dan Dewi menginap di rumah pak Bachtiar, mbah Ijan ingin tahu alasan Iblis itu membuat rumah mereka berada dalam kondisi tenang seperti ini.
Pasti ada sesuatu yang akan segera terjadi, ketenangan sebelum badai datang. Sepertinya Iblis itu menunggu keluarga Bachtiar lengah, dan saat itu barulah dia beraksi. Mereka akan keluar satu per satu dan meneror keluarga Bachtiar sampai mereka mau menjadi pewaris dari harta Purnomo.
"Din, coba lihat! Di sana ada cahaya obor!" tunjuk Sisi bersorak kegirangan.
"Ssttt!" Andini menyuruh Sisi untuk diam.
"Kecilkan volume suara lo, desa ini ada banyak pantangannya, Si." Andini menempelkan telunjuk di bibir Sisi.
Sisi langsung terdiam seketika, sepasang matanya melotot melihat obor-obor yang terpasang di sepanjang jalan setapak menuju desa winara.
"Andini, lo yakin enggak apa-apa kalau lewat jalan ini? Seharusnya kita lewat depan, bukan belakang. Nanti kita malah dikira pengintai lagi," cicit Sisi mulai gelisah.
"Lo tenang aja, gue udah memikirkan hal ini sebelum datang ke sini, jangan membuat suara apa pun saat masuk ke sana. Kita mengambil jalan pintas, ini memang berbahaya, tapi lebih berbahaya kalau lewat depan. Desa ini banyak penjaganya, peraturannya juga ketat. Kalau lewat jalan pintas, kita bisa cari alasan nantinya."
"Brengsek! Gue enggak mungkin di sini terus," geram seorang lelaki.
Andini buru-buru menarik lengan Sisi supaya menjauh dari jalan setapak itu.
"Gawat! Kita bisa mati di sini, Din." Sisi memegang erat tangan sahabatnya.
Dia takut, dan tidak tahu kalau saat ini yang berada di depan mereka juga sama seperti mereka, lelaki itu berasal dari kota, dan tersesat di sana.
"Jangan berisik," bisik Andini.
Mereka berada di balik semak-semak, jadi tidak akan ada yang menyadari keberadaannya.
Wajah lelaki itu tidak tampak begitu jelas, mereka hanya bisa melihat bentuk tubuhnya yang atletis dan juga baju kemeja kotak-kotak yang dipakai si lelaki itu.
"Ayo keluar, Din!" ajak Sisi begitu yang mereka hindari sudah kembali ke desa Winara.
Sisi dan Andini kembali melanjutkan perjalanan menuju desa itu, sepuluh menit berlalu, kini kaki mereka baru menginjak di desa winara.
Baru saja sampai, kedua gadis itu langsung ditodong pisau oleh sekelompok orang penghuni di desa itu.
Andini dan Sisi tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, kalau ditodong dengan kayu mereka tidak akan setakut ini, tapi sekarang mereka malah ditodong dengan senjata tajam.
Empat orang pemuda itu juga berwajah sangar, tidak ada satu pun di antara mereka yang menampakkan keramahan.
"Maaf, Mas. Kami tersesat, sepertinya kami salah jalan. Kami juga tidak tahu kenapa bisa ada di sini," ucap Andini, sebisa mungkin dia menghilangkan rasa takut di hatinya.
"Gimana? Apa dua gadis ini berkata jujur?" tanya salah satu dari mereka kepada temannya.
"Bawa aja mereka ke rumah kepala desa kita!"
Akhirnya Andini dan Sisi dibawa ke rumah kepala desa. Kedua gadis itu tidak melawan sama sekali, dengan patuh Andini dan Sisi mengikuti mereka.
Andini mengisyaratkan kepada Sisi agar tetap tenang, jangan sampai memancing kecurigaan mereka.
Jalan yang mereka tempuh untuk pergi ke kediaman kepala desa ternyata cukup jauh dan gelap.
Di desa itu belum ada listrik, sepanjang perjalanan hanya ada puluhan obor berjejer menemani langkah Andini dan Sisi juga beberapa pemuda itu.
Suara kicau burung hantu juga ikut menemani perjalanan yang menegangkan itu, desa winara ternyata tak kalah menyeramkannya dengan desa karang tempat Sisi tinggal.
"Jangan sembarangan masuk ke desa ini," ucap istri kepala desa.
"Kalian masih beruntung karena ditemukan oleh orang-orang yang bekerja di bawah perintah saya, kalau kalian ditemukan oleh anak buahnya pak Danang, belum tentu kalian bisa keluar dari desa ini." Pak Aji menatap Sisi dan Andini secara bergantian.
Beliau sudah menyadari sesuatu hal saat pertama mereka dibawa ke rumahnya.
"Maaf, Pak. Kami salah mengambil jalan, kami tidak sadar kalau ternyata kelompok kami mengambil arah lain," ucap Andini memberi penjelasan.
Bu Santi memanggil anak semata wayangnya untuk mengambil air yang sudah dibuatnya di atas meja dapur.
Anggi datang dan membawa air tersebut untuk kedua tamunya.
"Silakan diminum, Mbak!"
Tak sengaja tangan Anggi menyentuh jemari Andini saat meletakkan cangkir teh.
Andini langsung bisa melihat masa lalu Anggi, dialah gadis yang mereka cari.
Melihat reaksi syok Andini, pak Aji dan bu Santi jadi heran.
"Din, lo ngapain masang ekspresi kek gitu?" tanya Sisi seraya menyenggol lengan Andini.
"Enggak kenapa-kenapa, gue kaget aja karena tehnya panas gitu." Andini terkekeh, ia memberikan alasan yang cukup masuk akal.
"Hehehe, maaf, Mbak. Itu baru saya bikin lain tadi, karena teh yang ibu bikin tidak sengaja tumpah," ucap Anggi diiringi dengan senyuman manisnya.
Ternyata tanpa mata batin pun, Sisi juga bisa langsung mengenali Anggi, wajahnya tak jauh beda dari Mulan saat perempuan itu masih hidup.
Rupanya, kecantikan Mulan juga turun pada anaknya.
"Enggak apa-apa kok, nanti juga anget sendiri," jawab Sisi lembut.
"Anggi, malam ini kamu tidur di kamar ibu, biar kedua mbak ini tidur di kamar kamu, dan bapak tidur di kamar lain," ucap bu Santi memberikan arahan.
"Baik, Bu." Anggi mengangguk patuh.
"Eh, enggak apa-apa kok, Bu. Saya dan Sisi bisa tidur di luar, di ruang tengah ini juga enggak masalah," tolak Andini, dia merasa tidak enak karena merepotkan mereka.
"Loh, gimana toh ini? Kalian kan tamu, bapak enggak apa kok tidur di kamar lain. Kamar tamu di sini tempat tidurnya masih beralaskan tikar, belum bapak beli tempat tidurnya. Makanya ibu suruh kalian tidur di kamar Anggi," ucap pak Aji, kini ucapan beliau terdengar lebih akrab.