NovelToon NovelToon
Janji Dibawah Langit

Janji Dibawah Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Pengantin Pengganti Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: vin97

Alexa tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam satu malam. Tanpa pilihan, ia harus menikah dengan Angkasa-pria yang nyaris asing baginya. Bukan karena permintaan keluarga, bukan pula karena cinta, tetapi karena sebuah alasan yang tak bisa dijelaskan.

Alexa terjebak dalam kehidupan yang tak pernah ia inginkan, tapi semakin ia mencoba memahami pria itu, semakin banyak hal yang tak masuk akal dalam pernikahan mereka.

Di balik sorot mata tajam Angkasa, ada sesuatu yang tersembunyi. Sebuah kebenaran yang perlahan mulai terungkap. Saat Alexa mulai menerima takdirnya, ia menyadari bahwa pernikahan ini bukan sekadar ikatan biasa-ada janji yang harus ditepati, ada masa lalu yang belum selesai.

Namun, ketika semuanya mulai masuk akal, datanglah pilihan: bertahan dalam pernikahan yang penuh teka-teki atau melepaskan segalanya dan menghadapi konsekuensinya.

Di bawah langit yang sama, akankah hati mereka menemukan jalan untuk saling memahami?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon vin97, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pernikahan yang dirahasiakan

Angkasa, yang sejak tadi makan dengan tenang, tiba-tiba meletakkan sendok dan garpunya. Ia menegakkan tubuh, lalu menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi serius.

"Sebelumnya, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepada Papa, Mama, dan Elisabeth."

Suasana di meja makan berubah hening. Elisabeth, adik perempuannya, mengangkat alis, penasaran dengan apa yang akan dikatakan kakaknya.

"Soal apa?" tanya Clarissa, kini menatap putranya dengan ekspresi lebih serius.

Keheningan berlangsung beberapa detik, seolah Angkasa sedang menimbang-nimbang kata-katanya.

Akhirnya, dengan nada mantap, ia berkata, "Aku akan menikah."

Ruangan mendadak terasa lebih sunyi dari sebelumnya.

Clarissa dan Elisabeth saling berpandangan, sementara Pak Bima menatap putranya dengan sorot mata penuh arti.

"Kamu bilang apa?" tanya Clarissa, suaranya terdengar setengah terkejut, setengah tidak percaya.

"Aku akan menikah," ulang Angkasa, kali ini dengan lebih tegas.

Clarissa terdiam sejenak sebelum akhirnya menarik napas panjang. "Dengan siapa?"

"Bagaimana bisa Mama, Papa, bahkan adikmu tidak tahu siapa calonmu?"

Alexa. Nama itu hampir saja keluar dari bibirnya, tapi ia memilih menahan diri sejenak. Ia tahu, reaksi keluarganya tidak akan semudah itu menerima keputusannya.

"Aku akan memberi tahu lebih lanjut nanti," jawabnya singkat.

"Angkasa, kamu harus segera memberi tahu kami. Kamu tahu kan, kamu harus mencari pasangan yang cocok untuk keluarga kita? Kita harus melihat bibit, bebet, dan bobotnya," ujar Clarissa, nada suaranya terdengar menolak.

"Keluarga kita adalah keluarga terpandang, Angkasa."

Pak Bima meletakkan gelasnya, menatap putranya dengan sorot mata penuh pertimbangan. "Kamu sudah mempertimbangkan ini dengan matang?"

"Sudah, Pah."

"Kapan pernikahannya?"

"Kami masih mengatur waktunya," jawab Angkasa.

"Bukankah lebih baik kamu mempertemukan kami dengan keluarganya?"

"Sangat aneh ketika kita, sebagai pihak pria, tidak tahu seperti apa wanita yang akan kamu nikahi," ucap Pak Bima. Suaranya terdengar pelan, tapi tegas.

Angkasa tidak menjawab, seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan. Pak Bima tampaknya menyadari hal itu.

"Setelah selesai makan, ke ruangan Papa. Kita perlu bicara."

"Kenapa tidak bicara di sini saja?"

"Mama dan Elisabeth harus tahu," protes Clarissa, tampak tidak setuju dengan permintaan suaminya.

"Ada yang perlu kami bahas sebagai sesama pria."

"Mama dan Elisabeth tunggu saja setelah kami berdiskusi," ucap Pak Bima, membuat suasana di meja makan semakin tegang. Tidak ada yang berani membantah keputusan kepala keluarga itu.

Setelah makan malam selesai, Angkasa mengikuti ayahnya menuju ruang kerja. Ruangan itu dipenuhi rak buku yang tersusun rapi, dengan jendela besar yang menghadap halaman rumah. Lampu meja menerangi ruangan dengan cahaya hangat, sementara aroma teh yang baru diseduh menguar di udara.

Pak Bima duduk di kursinya, menatap putranya dengan tatapan penuh arti.

"Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan atau diskusikan dengan Papa?" tanyanya, memecah keheningan yang terasa canggung.

"Tidak ada, Pah," jawab Angkasa.

Pak Bima menghela napas pelan. "Siapa wanita itu?"

"Siapa wanita yang bisa membuatmu akhirnya mau menikah?"

"Papa sudah beberapa kali mengajakmu bertemu anak-anak teman Papa yang cantik dan dari keluarga baik-baik, tapi kamu tidak tertarik sama sekali."

"Awalnya Papa berpikir kamu memang belum memikirkan untuk menikah," lanjutnya.

"Jadi, siapa wanita hebat itu?" tanyanya sekali lagi, kini dengan nada lebih penasaran.

Angkasa menatap ayahnya. Ia tahu, inilah saatnya untuk mengungkapkan kebenaran.

"Sebenarnya… kami tidak berniat untuk mengumumkannya ke publik, Pah."

Pak Bima mengernyit, kini semakin tertarik dengan jawaban putranya. Ia sedikit mendekat, menatap Angkasa lebih tajam.

"Apa maksudmu?"

Angkasa menghembuskan napas pelan, lalu berkata, "Kami memutuskan untuk menikah tanpa mendaftarkannya ke negara."

Pak Bima terdiam. Wajahnya menunjukkan keterkejutan, tetapi ia tetap berusaha memahami maksud di balik keputusan Angkasa.

"Kenapa?"

"Kamu menikah untuk memberi tahu banyak orang bahwa kamu sudah memiliki pasangan, tapi kenapa tidak ingin mendaftarkan pernikahan itu secara sah?" tanyanya, masih tidak percaya.

"Aku hanya tidak ingin istriku merasa tidak nyaman. Papa tahu kan, banyak orang yang berusaha menjatuhkan kita," ujar Angkasa.

"Aku tidak ingin dia merasa terbebani dengan statusnya sebagai istriku," lanjutnya.

Pak Bima mendengarkan dengan saksama. Ia tahu, sejak Angkasa mengambil alih banyak proyek keluarga, banyak rival yang berusaha menjatuhkannya. Namun, putranya cukup cerdik untuk tidak masuk ke dalam perangkap mereka.

"Calonmu dan keluarganya sudah tahu?" tanyanya akhirnya.

"Dia sudah tahu… tapi keluarganya belum," jawab Angkasa.

"Dan dia setuju?"

Angkasa mengangguk.

Tentu saja Alexa akan setuju. Dia tidak punya pilihan untuk menolak lagi.

Pak Bima menghela napas panjang, lalu menatap putranya dengan penuh pertimbangan.

"Bicarakan dulu dengan baik. Jangan sampai ada kesalahpahaman yang terjadi."

"Pernikahan itu sangat penting, Angkasa. Sebagian orang mungkin tidak akan setuju dengan keputusanmu."

Angkasa terdiam, merenungkan kata-kata ayahnya.

--

"Mama mendengar sesuatu?" tanya Elisabeth.

Ia dan Carissa, ibunya, tengah menguping percakapan antara Angkasa dan ayahnya, Pak Bima.

"Tidak. Apa yang mereka bicarakan? Mama penasaran sekali," ucap Carissa dengan suara pelan.

"Sama! Aku juga penasaran. Siapa wanita yang bisa membuat Kak Angkasa ingin menikah?" ujar Elisabeth antusias.

Namun, sebelum mereka sempat mendengar lebih banyak, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Angkasa dan Pak Bima keluar, membuat ibu dan anak itu tersentak kaget.

Mereka berdua segera menjauh dari pintu, meskipun sudah jelas bahwa aksi menguping mereka telah ketahuan.

"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Pak Bima dengan tatapan curiga.

Alih-alih menjawab, Carissa justru semakin penasaran. "Apa yang kalian bicarakan?"

"Tentang rencana pernikahan Angkasa," jawab Pak Bima tenang.

Carissa menatap putranya dengan ekspresi terkejut. "Angkasa? Kamu serius akan menikah?"

Angkasa mengangguk mantap. "Iya, Ma."

"Pokoknya Mama tidak akan setuju sebelum bertemu dengan wanita itu," tegas Carissa.

Angkasa tersenyum tipis. "Aku akan mengatur pertemuan dengan dia."

Setelah itu, Angkasa berpamitan. "Aku masuk kamar dulu, ya."

Sesampainya di kamar, ia berbaring di atas kasur yang tampak nyaman. Namun, pikirannya tidak kunjung tenang. Kata-kata yang diucapkan ibu Alexa terus menggema di benaknya.

Perasaannya campur aduk. Ada banyak hal yang membuatnya gelisah malam itu, tetapi juga ada banyak alasan yang membuatnya mantap mengambil keputusan ini.

Keesokan harinya Elisabeth melangkah menuju gedung tempat Alam bekerja, membawa rantang makan siang seperti biasanya.

"Pak Alam ada di dalam, Mbak. Silakan masuk," ucap sekretaris Alam dengan ramah.

Elisabeth tersenyum senang. "Terima kasih."

Ia lalu mengetuk pintu sebelum membukanya. Dari balik pintu, ia melihat Alam yang tengah sibuk memeriksa berkas-berkas di mejanya.

"Siang, Kak Alam! Makan siangmu sudah sampai," katanya sambil berjalan menuju sofa dan meletakkan rantang di atas meja.

Alam menoleh dan tersenyum. "Terima kasih, Lis. Tapi aku belum bisa menyantapnya sekarang, sebentar lagi aku ada rapat."

"Tidak apa-apa, aku akan menunggumu," balas Elisabeth santai.

Lalu, seolah mengingat sesuatu, ia bertanya, "Ngomong-ngomong, selama di kantor, Kak Alam pernah melihat Kak Angkasa bersama seorang wanita?"

Ia menatap Alam dengan penuh selidik. "Atau… ada rumor kalau Kak Angkasa punya pacar?"

Alam menghentikan kegiatannya sejenak, lalu menatap Elisabeth. "Angkasa?"

Elisabeth mengangguk penuh antusias, menunggu jawaban dari Alam.

Alam mencoba mengingat, tetapi sejauh yang ia tahu, tidak ada tanda-tanda Angkasa memiliki kekasih di kantor.

Ia menggelengkan kepala. "Kurasa tidak ada. Memangnya kenapa?"

Elisabeth menghela napas pelan sebelum menjawab, "Kak Angkasa mau menikah."

Alam terkejut. "Menikah?"

To be continued..

1
vini vin
Terbaik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!