NovelToon NovelToon
Tepat Tujuh Belas

Tepat Tujuh Belas

Status: tamat
Genre:Teen / Horor / Romantis / Tamat / cintamanis / Kumpulan Cerita Horror / hantu
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: Biru Taro

Kamalla adalah siswi SMA biasa pada umumnya. Hidup dengan keluarga yang sederhana, memiliki dua sahabat baik, dan juga pacar yang cukup populer bernama Radhit.

Meski hubungan keduanya sering kali diusik oleh mantan dari kekasihnya yang bernama Monik, baginya hal itu bukan sebuah masalah besar.

Namun masalah lain kerap datang bergantian ketika usianya tepat tujuh belas tahun. Mulai dari hubungannya yang kandas dengan sang pacar, sahabat, bahkan terror mengerikan dari sosok tak kasat mata.

Tentu saja hal itu menjadi tanda tanya besar di kepalanya. Apakah semua ini ada hubungannya dengan mantan dari kekasihnya? Apa mungkin secara tak sadar ada kesalahan yang dia perbuat? Atau ada hal lain dibalik semua kejadian ini?

[Karya pertama bergendre horror romantis]

-Biru Taro-

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biru Taro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ruyuk Tepus [Dua Puluh Sembilan]

Langkah kaki Kamalla berhenti sesaat tepat di belakang sebuah bus berwarna putih hijau yang sedang menunggu penumpang di sebuah terminal. Kedua manik matanya menatap lekat ke kaca belakang bus yang bertuliskan Bintang Raya. Menurut tukang ojek pengkolan yang mengantarnya sampai terminal, itulah nama bus yang akan membawanya ke sebuah kota kecil di selatan provinsi.

Setelah menghela napas cukup panjang, gadis itu kembali melangkahkan kakinya sampai masuk ke dalam bus dan duduk di sebuah kursi dekat jendela. Sebetulnya Kamalla masih ragu dengan keputusannya. Tentu ada rasa takut yang terus menggelitik hatinya. Apa dia bisa sampai Ruyuk Tepus? Kalau pun bisa, siapa yang akan menampungnya untuk sementara ketika di sana?

Dari balik tirai bus, pandangannya menangkap sebuah adegan yang menyentuh hatinya. Tepat di kursi tunggu terminal, nampak seorang Ibu tengah menyuapi anak perempuannya yang mungkin baru berusia empat tahun dengan sebuah roti isi cokelat. Seulas senyum tersungging dibibir Kamalla dan tanpa dia sadari bulir bening dari matanya jatuh sampai membasahi jeans biru yang dia kenakan.

Keraguan yang sedari tadi bergumul dalam batinnya serta-merta hilang menyaksikan adegan itu. Dia kembali fokus pada tujuannya dan harus bisa berdiri di atas kakinya sendiri.

"Ongkosnya, Mbak," ujar seorang kernet bus dengan ramah pada Kamalla ketika laju bus sudah seperempat perjalanan. "Tujuh puluh ribu."

"Sendiri?" kernet itu menyerahkan beberapa lembar uang kembalian. Kamalla hanya mengangguk. "Mau kemana?"

"Desa Ruyuk Tepus, Bang."

"Oh lumayan jauh itu kalau dari kota."

"Abang tahu juga desa itu?"

"Tahu lah, Mbak. Udah lima tahun saya jadi kernet, jadi sedikit banyak saya tahu beberapa daerah," jelasnya. "Saya juga pernah ke sana sekali waktu ngantar rombongan besan yang kebetulan kerabat saya."

Kamalla hanya ber-oh panjang sambil mengangguk.

"Ada saudara atau gimana di sana?" tanya kernet itu lagi.

"Ayah saya asli sana," jawab Kamalla tanpa ragu. "Tapi saya lahir dan besar di sini."

"Oh jadi baru pertama kali mau ke sana?"

Kamalla mengangguk sambil tersenyum ramah. Meski baru pertama kali bertemu, Kamalla tak menaruh curiga sedikit pun. Dari sikap dan raut wajahnya, pemuda itu memang tampak ramah.

"Berarti Ayahnya Mbak kenal sama Pak Sardi dong?"

"Wah saya kurang tahu deh, Bang."

"Kalau memang asli sana, pasti kenal. Karena desa itu cukup terpencil dan penduduknya mungkin juga bisa dihitung jari."

"Begitu ya?"

Pemuda dengan satu tindik di telinga kanannya itu mengangguk. "Omong-omong, Mbak udah tahu nanti mau naik apa ke sana?"

"Belum Bang," Kamalla memamerkan deretan gigi putihnya.

"Kalau sudah sampai kota, Mbak naik angkutan umum nomor 32 menuju kecamatan. Nah untuk ke desanya, naik ojek aja supaya nggak kemalamaan, soalnya jarang angkutan umum di sana."

Kamalla mengangguk paham. Kernet itu pun berlalu dari hadapan Kamalla dan kembali melanjutkan tugas.

"Tujuh puluh ribu, Pak," katanya kepada salah seorang penumpang di belakang Kamalla.

...****************...

Selain angkutan umum yang jarang ditemui, akses jalan dari kota ke desa juga cukup buruk. Separuh perjalanan masih berlapis aspal, separuhnya lagi jalan makadam, kemudian akses sampai tepat di Ruyuk Tepus hanya berlapis tanah merah. Beruntung saat itu tidak sedang turun hujan.

"Kenapa berhenti, Pak?" Kamalla menautkan kedua alisnya ketika ojek yang dia tumpangi menghentikan lajunya di tengah jalan ukuran dua meter yang diapit oleh rimbunnya pohon bambu.

"Maaf pisan, Neng. Bukannya saya nggak mau antar sampai tujuan, soalnya saya takut kemalaman pas jalan balik," jawab tukang ojek itu dengan logat sundanya. "Bensin saya sudah hampir habis. Kalau saya teruskan, bisa-bisa mogok di tengah jalan."

"Oh ya udah nggak apa-apa, Pak," Kamalla turun dari boncengan karena mengerti seberapa jauh jalan yang tadi mereka lewati. Jika melintas di jalur satu-satunya itu pada siang hari memang sangat memanjakan mata, beda lagi jika malam hari. Hutan yang dibelah oleh jalan tanah itu akan membuat buluk kuduk merinding jika dilintasi pada malam hari.

"Dikurangi aja Neng ongkosnya," laki-laki paruh baya itu menyodorkan lagi uang yang barusan diberikan Kamalla.

"Nggak apa-apa, untuk Bapak beli bensin."

"Waduh, saya jadi nggak enak, Neng."

Gadis itu hanya tersenyum sambil mengeratkan tas punggungnya. "Kira-kira seberapa jauh lagi sampai saya ke Ruyuk Tepus Pak?"

"Nggak jauh kok. Neng lurus aja. Nanti ada gapura di ujung sana," pesan laki-laki itu. "Hati-hati ya, Neng."

Kamalla menatap lurus ke arah jalan di hadapannya setelah ojek itu berlalu. Langkah kakinya menapaki tiap jengkal jalan yang dipenuhi daun bambu kering. Tak ada seorang pun kecuali dia di sana. Hanya terdengar suara tonggeret dari sebuah ranting pohon yang memecah heningnya suasana sore itu.

Setengah jam berjalan kaki sama sekali tak membuat Kamalla merasa kelelahan. Energinya seperti terisi kembali setelah langkahnya berhenti tepat di depan sebuah gapura. Bangunan berbahan bambu usang setinggi empat meter itu berdiri kokoh dengan ijuk di tiap sambungannya.

Semilir angin menyapu wajah Kamalla ketika dia melintasi gapura itu seolah ada sesuatu yang sedang menyambut kedatangannya. Gadis itu terus berjalan sampai masuk ke pemukiman warga. Terlihat beberapa rumah yang terbuat dari anyaman bambu dengan daun kelapa kering sebagai atapnya. Desa itu begitu sunyi. Tak ada satu pun orang dewasa yang dia lihat di sana, hanya ada beberapa bocah yang seketika menghentikan kegiatan bermainnya ketika menyadari kedatangan Kamalla.

"Milari saha, Neng?" seorang wanita paruh baya berlogat sunda tiba-tiba muncul dari belakang Kamalla. Dibalik tubuhnya terlihat tumpukan kayu bakar yang sudah diikat dengan sehelai kain jarik.

"Sedang mencari siapa?" wanita itu mengulang pertanyaan ketika menyadari air muka gadis di hadapannya.

Kamalla mengulum bibirnya kemudian menjawab, "Pak Sardi. Saya sedang mencari Pak Sardi."

Wanita berkebaya lusuh itu menautkan kedua alisnya. Tanpa bertanya lagi, dia menuntun gadis di hadapanya untuk mengikuti langkahnya.

...****************...

Sore itu Kamalla duduk di atas bale bambu di depan sebuah rumah gubuk yang langsung menghadap ke sawah. Kedua matanya menatap lurus ke arah sawah yang tampak tandus itu, namun pikirannya masih dipenuhi tanda tanya. Dari awal wanita paruh baya itu mengajak untuk ke rumahnya sampai menjamunya dengan segelas air putih, tak ada sepatah kata pun yang terucap. Wanita itu benar-benar membiarkan Kamalla seorang diri di muka rumahnya.

Gadis itu beringsut dari posisinya dan berdiri sambil tersenyum kepada seorang laki-laki paruh baya yang baru saja tiba. Laki-laki itu membalas senyum Kamalla, namun raut wajahnya terlihat kebingunan karena kedatangan orang asing.

"Kadieu sakedap!" panggil wanita itu ketika menyadari sang suami telah pulang dari mengarit rumput.

"Eta anak saha?" tanya wanita itu dari dalam rumah. "Maneh kawin deui hah?"

Meskipun suara percakapan itu berintonasi rendah, namun Kamalla dapat merasakan amarah dari wanita itu.

"Naon sih? Saha anu rek kawin deui?" sungut laki-laki itu tak terima lantaran sang istri menuduhnya telah menikah lagi dan Kamalla adalah anak dari simpanan sang suami. "Saha anu daek ka lalaki malarat kos abdi!?"

Kamalla yang sedari tadi menguping pertengkaran mereka, buru-buru duduk di atas bale bambu dengan tampang sebiasa mungkin ketika mendengar langkah cepat menuju ke arahnya.

"Kamu siapa? Dari mana?" tanya laki-laki itu yang bisa Kamalla tebak adalah sosok Pak Sardi.

"Saya Kamalla," jawab gadis itu seramah mungkin. "Dari Jakarta."

"Tolong jelaskan kepada istri saya apa maksud tujuanmu mencari saya. Kedatanganmu membuatnya salah paham."

Pak Sardi masih saja mecibir sang istri setelah mendengar penjelasan Kamalla. Gadis itu hanya mengulum senyum ketika Bu Erna, istri Pak Sardi datang dengan sepiring singkong rebus yang masih mengepulkan asap.

"Sudah atuh Bah, saya 'kan jadi malu," Bu Erna meletakkan piring berisi kudapan sederhana itu di antara Kamalla dan suaminya yang tengah duduk bersila di atas bale bambu. "Silahkan dicicipi, mungkin di kota mah tidak ada singkong rebus."

"Ayo silahkan Nak Kamalla, jangan sungkan."

Gadis itu benar-benar merasa beruntung bisa bertemu dengan sepasang suami istri yang hanya tinggal berdua itu. Sebetulnya dia memiliki satu anak perempuan, namun putrinya itu sudah lama merantau ke kota untuk membantu kehidupan Pak Sardi dan Bu Erna.

"Mungkin kernet yang Neng maksud itu Nak Hendra," ujar Pak Sardi. "Tapi terus terang saja Neng, Bapak nggak kenal sama yang namanya Rukmi. Emak tahu siapa itu Rukmi?"

Bu Erna mengendikkan kedua bahunya. "Teu kenal, Bah. Asa teh tidak ada yang namanya Rukmi di kampung ini."

"Pak Galih mungkin saja kenal soal Ibumu itu."

"Pak Galih?"

"Ya. Anak tetua dari desa Ruyuk Tepus," jawab Pak Sardi.

"Kalau boleh, bisa antar saya ketemu dengan Pak Galih, Pak?"

"Besok ya, Neng. Neng Kamalla menginaplah semalam di sini," kata Pak Sardi. "Rumah Pak Galih ada di atas bukit itu, bisa kemalaman kalau kita ke sana sekarang."

"Apa nggak merepotkan kalau saya harus menginap di sini, Pak?"

"Lantas Neng mau bermalam di mana?" tanya Bu Erna. "Lagi pula sejak Lisa merantau tujuh tahun lalu, rumah kami jadi sepi."

Kamalla mengangguk sambil melempar senyuman ke arah sepasang suami istri itu.

"Silahkan dimakan singkong rebusnya, Neng. Kok dianggurin saja," ujar Pak Sardi dengan ramah.

Bersambung...

1
Diodi
nyesek bgt
Diodi
wkwkwk
Diodi
maraton baca. seru bgt bikin penasaran. tolong lanjut thor!!
birutaro: Makasih ya. Stay tune terus hehe
total 1 replies
Epitangdiampang
seru
birutaro: Makasih ya udah mampir. Ditunggu kelanjutan kisahnya..
total 1 replies
Mata Peña_✒️
jadi pasang 3?!..
Andini Andana: siyap2 disamperin u Thor 🤣🤣🤣
birutaro: Selama orangnya gak kesini, gak bakalan tau dia wkwk
total 10 replies
Rey
gagal modus mu ya Radhit 😁
Rey
manis banget kamu Radhit😊
birutaro: Makasih ya udah mampir. Ditunggu update selanjutnya.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!