--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 3
“Bonus hadiahnya adalah ... Putri Ashiana!”
Xavier melebarkan mata. Wajahnya yang terus tenang kini melengak pada Kaisar.
“Kenapa harus Tuan Putri Ashiana, Yang Mulia?” Tidak ada alasan untuk takut, impulsif pertanyaan itu dilontarkannya. “Maksudku ... Grim Hills saja aku sudah merasa cukup!” sambungnya untuk menekan sumbang pertanyaan sebelumnya.
Semua orang yang ada di aula besar itu masih tercengang.
Kaisar tersenyum tanpa dosa, lalu menjawab pertanyaan Xavier dengan santainya, “Aku tidak ada maksud khusus, ini murni hadiah untukmu dari kebaikan kami sebagai keluarga kekaisaran. Karena bagaimana pun keadaannya, Putri Ashiana tetap seorang putri. Apa kau tidak bangga mendapat hadiah seorang wanita dari keturunan Kaisar?! Aku menghadiahkannya padamu secara mutlak.”
Tidak ada raut tersinggung atas penyikapan Xavier tentang hadiah kedua yang dia berikan, Kaisar sungguh dengan rela melepaskan keponakannya sebagai hadiah. Apa itu tidak berlebihan?
“Tapi tidak dengan putri Ashiana!” Semua orang mendebat itu, tapi tentu saja hanya bunyi teriakan di dalam hati.
Meskipun [katakan saja] mereka merasa jijik dengan kutukan bau amis busuk tubuh Xavier, tapi lelaki bermata darah itu tetap seorang panglima yang sudah berjasa besar membawa kemenangan penuh dalam sekian perang untuk kekaisaran.
Balthazar mengetatkan rahang, dua tangan di sisian tubuhnya mengepal keras. “Lagi-lagi aku harus dipermalukan seperti ini!”
“Baiklah, Yang Mulia. Terima kasih dengan tambahan hadiahnya. Saya merasa terhormat.”
Perkataan Xavier yang legawa itu mengejutkan semua orang, terlebih ayahnya sendiri.
“Merasa terhormat katanya?!”
Putri Ashiana adalah putri dari mendiang Kaisar Eugen Philaret--kakak kandung Bjorn--kaisar saat ini.
Kondisinya tidak baik-baik saja.
“Haha! Aku senang mendengarnya. Kau sungguh ksatria sejati, Kapten Blood!” Kaisar memuji senang.
“Terima kasih, Yang Mulia," tanggap Xavier, seakan menerima pujian itu dengan senang hati.
Sekilas melalui ekor mata saja, Xavier melihat raut samar Ratu Jennefit. “Kelicikan!"
Pikiran semua orang kini nyaris sama.
Panglima terbaik, Xavier si iblis perang, mendapat hadiah penghargaan yang tak terduga.
Tidak ada hadiah separuh utara seperti yang dirumorkan, tidak yang pantas dibanggakan dari yang diterimanya hari ini.
Prestasinya hanya seharga dua lukisan yang sudah rusak.
Grim Hills yang tandus, dan ... Putri Ashiana yang tidak waras.
“Aku putuskan ... Pernikahan Kapten Blood dan Putri Ashiana akan dilangsungkan dua pekan dari sekarang. Istana akan mengadakan pesta pernikahan terbaik untuk mereka.”
Mulut semua orang kembali berisik. Tepuk tangan yang lemah, wajah penuh tanya dalam keterkejutan, menjadi pemandangan satu rupa di ruangan itu.
Sedang Xavier diam dalam iramanya sendiri.
“Aku kira Kapten hanya diminta membawa Putri ke kediaman dan merawatnya, ternyata harus dinikahi juga!”
Itu yang paling mencuat ke permukaan dari sekian mulut yang berisik itu.
“Tidak di keluarga ayahku, tidak di istana Kaisar, pada akhir aku tetap menjadi sampah.”
Tapi apa tujuan Kaisar sebenarnya? Membuang Ashiana ... atau lainnya?
...----------------...
Dua hari berlalu.
Balthazar duduk resah di kursi ruang kerja kediamannya, tengah menunggu kedatangan seseorang.
Secangkir teh telah tandas dalam dua tegukan saja.
Lima menit kemudian ....
“Dia telah telah datang, Tuan Duke.” Orang kepercayaannya mengabarkan.
Tanpa mengangguki dan menimpal kata, gegas Balthazar keluar, beriringan dengan Esmera yang juga menyembul dari balik pintu kamarnya. Keduanya berjalan bersama menuruni tangga.
Dari jarak sekian meter sebelum sampai, aroma itu sudah menyengat. Esmera langsung menutup hidung.
“Cihh, aku benci bau sialan ini.”
Balthazar tak menimpali, terus melangkah untuk mendekat ke ruang keluarga yang sudah ada seorang yang dia tunggu di sana.
Sosok itu sudah terlihat.
Xavier.
Lelaki ini berdiri sembari menatap deretan foto keluarga yang tidak satu pun ada dirinya. Hanya Balthazar serta istri dan anak mereka-- Duke Muda Keelan De Jongh.
Suara hentak sepatu terdengar, lima detik kemudian dia menoleh dan mendapati ayah dan ibu tirinya sudah duduk di masing-masing sofa khusus mereka.
Dengan tenang Xavier mendekat, lalu duduk di tempatnya tanpa terbeban dengan tatapan keruh orang tuanya. “Aku cukup terkejut, Ayah sampai memanggilku kemari. Apakah kita akan membicarakan pernikahanku dengan Putri?”
Wajah Balthazar kelam membaja. “Bagaimana bisa kau menerima pernikahan itu? Apa kau sungguh ingin mengacau nama besar ayahmu?!”
Nada yang sangat tinggi untuk pembuka obrolan.
Xavier mengerut kening sembari memulas senyuman tipis. “Mengacaukan nama besar Ayah? .... Dari mana Ayah memetik kesimpulan itu?”
Mulut Balthazar terdiam, tapi tak lepas dari ekspresi geram. Belum ada jawaban di kepalanya untuk dilontar.
Malah Esmera yang tidak sabar. “Dengan hadiah Grim Hills saja kau sudah cukup membuat kami rendah, ditambah kau menerima menikahi putri yang gila itu! Bagaimana kau bisa memutuskan tanpa persetujuan kami?! Meskipun kau bukan lagi tuan muda utama di keluarga De Jongh, setidaknya orang-orang masih menganggap kau putra ayahmu! Dan kenyataan itu tidak akan pernah berubah!”
Xavier melengak sebentar saja, lalu ....
“Hahaha!” Tawanya meledak keras.
Melebarkan mata ayah kandung serta ibu tirinya.
Mereka sampai sulit berkata-kata.
Hanya sesaat, tawa Xavier sudah berhenti. Tatapannya kembali pada pasangan di hadapannya, orang tua yang mengerikan.
“Kalian sungguh merasa seperti itu?" tanyanya, santai namun terdengar sarkas.
Balthazar dan Esmera melotot lebar, lagi-lagi sulit untuk menjawab.
“Sayangnya aku tidak peduli,” tukas Xavier seraya membenturkan punggung ke sandaran sofa, lalu menyilang kaki. “Seharusnya kalian juga seperti aku, 'kan? ... Bukankah sudah jelas dan banyak orang mengetahuinya?" Dia menjeda beberapa saat. “Aku anak yang dibuang ayahnya sendiri.”
Balthazar dan istrinya terempas, diam dalam cemas dan keresahan. Bagaimana pun ... yang dikatakan Xavier adalah benar.
Tapi orang-orang di ibukota belum banyak yang tahu, dan mereka itu yang membuat Balthazar selalu merasa terjebak.
Antara kebanggaan dan rasa jijik atas kutukan, keduanya dimiliki Xavier. Balthazar dilema.
Tatapan Xavier kini berubah datar, sangat datar.
“Sejak hari itu ... hari dimana angka usiaku tepat 8 tahun. Hari di mana Ayah mencampakkanku ....” Xavier menjeda hanya untuk menenangkan lebih dulu hatinya yang bergemuruh. “.... aku sudah bukan lagi seorang De Jongh. Aku ... Xavier Blood. Aku seorang Blood.”
Balthazar menelan ludah.
Esmera membeku diam.
“Jadi jangan campuri apa pun urusanku. Aku menikah dengan siapa pun adalah pilihanku. Jika kalian ingin berperan sebagai orang tua, pasang wajah terbaik saat pernikahanku nanti.”
Xavier berdiri dari tempatnya, dua orang tua itu mengikuti pergerakannya dengan mulut terkunci.
“Masih banyak urusan yang harus aku tangani. Termasuk menemui calon pengantinku. Bukankah kalian juga harus mengurusi perjodohan Tuan Muda Keelan?”
Langkah-langkah lebar mendorong Xavier meninggalkan dua orang itu dalam kebekuan panjang.
Hujan turun deras saat pasang kaki Xavier melewati pintu keluar.
Proka sudah sigap dengan payung terbuka, diberikannya payung itu ke tangan sang tuan.
“Terima kasih, Proka.” Xavier menerimanya lalu menembus hujan yang deras, berjalan menuju mobilnya.
Proka mengikuti dari belakang dengan payung yang lain.
Sepanjang jalan, pikiran Xavier dipenuhi banyak hal yang melilit seperti coretan kacau. Tentang kelakuan ayahnya dan ibu tiri, hingga bayangan putri yang akan segera dinikahinya.
“Belum apa-apa aku sudah merindukan perang," cicit hatinya. “Keadaan sekarang sungguh membuat pusing.”
Saat pikiran itu bergelut di tengah bunyi derasnya hujan, pandangan Xavier tercuri oleh sesuatu di emperan sebuah toko, tepian jalan.
“Hentikan mobilnya!" titahnya pada Proka tanpa mengalihkan wajah dari pemandangan yang didapati.
Supir itu langsung menurut tanpa bertanya alasan tuannya.
Tatapan Xavier tertuju pada seorang wanita bertopeng dengan busana serba hitam, tengah melakukan sesuatu pada seorang pria tua yang kesakitan di hadapannya.
“Sihir penyembuhan ... dan pemurnian!” Mata merah Xavier membulat lebar. “Aku membutuhkan wanita itu!”
Di tangan Xavier, berubah menjadi tanah mematikan ( untuk musuh2nya )...
/Drool//Drool//Drool/
👍