Buku Merah Maroon seolah menebar kutukan kebencian bagi siapapun yang membacanya. Kali ini buku itu menginspirasi kasus kejahatan yang terjadi di sebuah kegiatan perkemahan yang dilakukan oleh komunitas pecinta alam.
Kisah lanjutan dari Rumah Tepi Sungai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak kaki di sungai
Anggoro meneguk air sungai yang jernih. Dia sedikit terkejut dengan rasa dan aroma air yang lebih menyegarkan bahkan jika dibandingkan dengan air botol kemasan sekalipun. Dahaga hilang dalam sekejap, dan perasaannya jauh lebih tenang kini.
Rintik gerimis mulai turun. Anggoro menyandarkan tubuhnya pada batu besar di tepi sungai. Tangan kanan masih erat menggenggam palu kecil. Matanya nyalang memperhatikan sekeliling.
Anggoro memukul-mukul batu dengan palu di tangannya. Untuk sesaat dia membayangkan bagaimana jika tiba-tiba dirinya disergap oleh orang jahat. Palu itu satu-satunya senjata yang dimiliki. Bagian mana dari tubuh lawan yang harus dihantam dengan palu agar langsung terjatuh?
"Batok kepala. Bagaimanapun bagian terpenting dari tubuh manusia adalah otak," gumam Anggoro. Tanpa sadar sebongkah batu pecah dihantamnya.
Gerimis mulai berubah menjadi butiran-butiran air yang lebih besar. Anggoro mengambil jas hujan di ranselnya. Kemudian memakainya dengan sedikit terburu-buru. Dia teringat dengan buku-buku yang dia tinggalkan di dalam tenda.
Sebenarnya Anggoro telah menyusun sebuah rencana untuk membalas perlakuan Aldo dan gerombolannya. Semua dia catat di dalam buku. Namun Anggoro sama sekali tidak menduga rencana bodohnya seolah menjadi doa yang terkabulkan. Ada seorang psikopat yang berkeliaran. Anggoro merasa seperti hidup dalam sebuah cerita thriller.
Setelah memakai jas hujan, Anggoro kembali melangkah menyusuri sungai ke arah rumah Bu Anggun. Meski jalur yang dilewati cukup terjal penuh dengan bebatuan sungai yang licin berlumut, tetapi bagi Anggoro jalur itu yang paling aman. Sungai merupakan ruang terbuka yang mudah melihat sekeliling. Berbeda dengan melewati pepohonan hutan. Anggoro tidak akan pernah tahu jika ada seseorang yang berniat menyergapnya dari balik pepohonan.
Pada saat yang sama, Pak Nafi' mulai berlari di jalan setapak kecil di bagian atas sungai. Dia berusaha menghindari air hujan. Namun rambutnya terlanjur sudah basah, membuat kepalanya terasa sedikit pening. Beberapa kali guru BK itu bersin. Hidungnya tampak memerah.
"Celaka. Sepertinya aku masuk angin," gumam Pak Nafi'. Dia mengusap kacamatanya yang berembun.
Pak Nafi' tidak mempersiapkan jas hujan di tas ransel kecil yang dibawa. Dia hanya membawa pisau lipat kecil. Saat melihat daun talas berukuran besar di tepi jalan, Pak Nafi' memotongnya. Tidak ada rotan, akar pun jadi. Insting manusia untuk bertahan dalam segala kondisi di tengah hutan memberi ide untuk menggunakan daun talas sebagai payung.
Ketika Pak Nafi' memetik daun talas, ia melihat sebuah stiker tertempel pada batangnya. Hasil pekerjaan Anggoro untuk menandai tumbuhan di hutan. Ide pembelajaran di alam yang sebenarnya sangat beresiko. Apalagi club pecinta alam yang diketuai oleh Aldo baru terbentuk. Mereka harus menjelajah di tengah hutan yang sesungguhnya.
"Apa yang bisa kulakukan? Menolak permintaan anak kepala sekolah terlalu beresiko untuk pegawai tidak tetap sepertiku," gumam Pak Nafi' mengeluh.
Pak Nafi' sepenuhnya menyadari terkadang kenakalan Aldo sudah mencapai fase yang memuakkan. Guru BK itu tahu betul apa yang membuat Aldo bertingkah. Satu-satunya yang diperhatikan Aldo adalah ayahnya. Aldo menginginkan semua perhatian Sang Ayah tertuju padanya. Saat ada siswa lain yang dipuji, dianggap merebut perhatian Ayahnya, Aldo ingin menaklukkannya.
Pikiran Pak Nafi' kini beralih pada sosok Anggoro. Sebuah pukulan telak dilayangkan Aldo pada Anggoro. Tentu Pak Nafi' merasa bersalah tak mampu mencegahnya. Pada akhirnya ia hanya bisa membela Anggoro setelah bocah itu jatuh tersungkur. Namun sebenarnya Pak Nafi' tidak tahu siapa yang sudah melakukan sabotase stiker pada tanaman.
Pertanyaan berputar di benak Pak Nafi'. Apakah benar ada yang melakukan sabotase? Tapi kapan? Apa tujuannya? Atau jangan-jangan sebenarnya tidak ada sabotase. Anggoro memang menandai tumbuhan beracun untuk mengerjai Aldo dan kawan-kawannya. Kemungkinan itu ada, dan Pak Nafi' mempercayainya.
Lamunan Pak Nafi' buyar saat dia melihat jejak sepatu di tanah. Jejak itu tampak aneh, terbenam terlalu dalam. Langkah kaki seseorang menuju ke sungai, dengan sesuatu yang diseret. Ada bekas garis yang terputus-putus di belakang jejak sepatu.
Pak Nafi' membandingkan jejak aneh itu dengan jejak kakinya sendiri. Dan benar saja, sepatu yang berukuran sekitar 42 itu terbenam terlalu dalam. Pak Nafi' dapat menduga seseorang yang memakai sepatu itu tengah menggendong benda berat di punggungnya. Ujung benda itu tergesek pada tanah menciptakan garis putus-putus.
Meski rasa takut menggerogoti hatinya, Pak Nafi' tetap melangkah mengikuti jejak sepatu itu. Ia berjalan turun dari jalur setapak menuju ke sungai. Tidak ada jejak lain yang terlihat. Artinya hanya ada satu orang melewati tempat itu.
Jejak mengarah pada sebuah batu besar di bagian tepi sungai. Pak Nafi' memperlambat langkah. Dia meletakkan payung daun talasnya. Sedikit menunduk, Pak Nafi' melangkah berjingkat berusaha tidak menimbulkan suara. Tangannya menggenggam erat pisau kecil.
Detak jantung Pak Nafi' kian tidak beraturan kala mencapai batu berukuran lebih dari dua meter itu. Apa atau siapa yang ada di balik batu? Meski samar Pak Nafi' dapat mencium aroma anyir.
"Darah," pikir Pak Nafi' menelan ludah.
Hujan kian lebat. Hidung Pak Nafi' terasa gatal. Dia mengusapnya, menahan diri agar tidak bersin. Pak Nafi' menarik napas dalam dan bersiap mengayunkan pisaunya sembari melompat ke balik batu. Namun apa yang menyambutnya ternyata di luar perkiraan.
Tubuh manusia tergeletak di tepian sungai. Pak Nafi' terpaku di tempatnya berdiri saat mengamati tubuh bersimbah darah itu. Kulit pucat dengan kaki sebelah kanan tampak bengkok tepat di tengah tulang kering. Wajahnya tak terlihat terlindas batu berukuran dua kali dari ukuran kepala.
Terdengar suara langkah kaki berlari mendekat. Saat Pak Nafi' menoleh sembari menodongkan pisau, ternyata di hadapannya adalah sosok Anggoro yang mengenakan jas hujan. Siswa juara MIPA sekolah itu tampak menodongkan sebuah palu. Baik Pak Nafi' maupun Anggoro terdiam beberapa saat lamanya.
"Kamu yang melakukan ini Anggoro?" bentak Pak Nafi' sembari menunjuk mayat yang terlindas batu. Mata Anggoro membulat kala melihat tubuh pucat mengenaskan itu.
"Rana!" pekik Anggoro. Pak Nafi' pun tersadar, sosok mayat itu adalah Rana. Ia baru teringat setelan pakaian yang dikenakan anak didiknya. Satu hal yang pasti, tidak ada jejak sepatu lain di sekitar mayat Rana.
"Apa yang sudah kamu lakukan Pak Nafi'?" Anggoro tampak ketakutan. Dia nyaris menangis. Tangannya yang menggenggam palu bergetar hebat.
"Aku tidak melakukan apapun. Aku mengikuti jejak sepatu dan sampai di tempat ini," jawab Pak Nafi' meyakinkan.
"Bohong! Hanya ada dua jejak kaki disini. Satu jejak Rana, dan yang kedua adalah jejak kakimu," sergah Anggoro.
Pak Nafi' mengamati telapak sepatu yang dikenakan mayat Rana. Dan ternyata pola nya sama persis dengan jejak yang dia ikuti.
"Tidak ada jejak lain. Artinya, kalian berdua datang ke tempat ini, kemudian kamu menghabisi Rana. Kamu seorang penjahat." Usai berteriak demikian, Anggoro mundur beberapa langkah sambil tetap menodongkan palu kecil di tangan. Setelah menjaga jarak dengan Pak Nafi, Anggoro kabur melarikan diri.
"Woy Anggoro! Berhenti Anggoro!" teriak Pak Nafi' sekuat tenaga. Namun, diabaikan oleh Anggoro. Laki-laki itu berlari membabi buta masuk ke dalam hutan.
Wah, ada kuku? Kuku siapa yah 🤔🤔🤔
Mak Ijah kali ya yang grubak-grubuk mutusin kabel..