Mencintai pria dewasa yang umurnya jauh lebih matang sama sekali tidak terbesit pada diri Rania. Apalagi memikirkannya, semua tidak ada dalam daftar list kriterianya. Namun, semua berubah haluan saat pertemuan demi pertemuan yang cukup menyebalkan menjadikannya candu dan saling mengharapkan.
Rania Isyana mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang sedang menjalani jenjang profesi, terjebak cinta yang rumit dengan dokter pembimbingnya. Rayyan Akfarazel Wirawan.
Perjalanan mereka dimulai dari insiden yang tidak sengaja menimpa mobil mereka berdua, dan berujung tinggal bersama. Hingga suatu hari sebuah kejadian melampaui batas keduanya. Membuat keduanya tersesat, akankah mereka menemukan jalan cintanya untuk pulang? Atau memilih pergi mengakhiri kenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 29
Sayup-sayup mata lentik itu terbuka, gadis itu menatap langit-langit kamar dan menangkap tempat yang berbeda. Rania melebarkan matanya, menyapu ke seluruh penjuru ruangan. Rayyan nampak duduk di sofa dengan tenang, pria itu menyorot Rania dingin. Gadis itu langsung membuang muka mendapati tubuh kekar pria itu yang polos.
Kepalanya masih sedikit pening, melirik dirinya semakin curiga. Seketika ia meraba tubuhnya di balik selimut untuk memastikan. Saat itu juga gadis itu menjerit histeris mendapati dirinya tanpa sehelai benang pun. Menatap curiga dan waspada pada pria yang kini tengah menatapnya begitu lekat.
"Dok? Apa yang sudah kamu lakukan padaku!" geram Rania menahan kesal.
Rayyan mendekati ranjang, ia berdiri gagah lengkap dengan muka datar.
Rania terus menggeleng, tidak mungkin itu terjadi pada dirinya. Ia mulai menangis, bagaimana ini bisa terjadi, haruskah masa depannya hancur di tangan pria yang bahkan belum lama ia kenal itu. Gadis itu terus menggeleng, mencoba mencari kepastian dalam dirinya.
"Katakan padaku tidak terjadi apapun diantara kita!" ucap Rania dengan tangis.
"Emangnya kenapa Ra? Toh kalaupun terjadi aku juga mau bertanggung jawab," ucap Rayyan enteng dan santai.
"Brengsek!" umpat Rania saking kesalnya. Menggulung selimutnya lalu bangkit dari ranjang. Ia setengah berlari menuju kamarnya.
Tunggu-tunggu, Rania kembali meneliti tubuhnya. Ia tidak merasa sesuatu yang ganjil pada tubuhnya, bukankah pertama kali melakukan itu sakit? Seharusnya begitu kan? Tapi Rania tidak mendapati itu, itu artinya dirinya dan Dokter Ray tidak melakukan sesuatu yang dilarang bukan? Rania masih sibuk bermonolog mencari tahu apa yang terjadi.
Sampai suara deringan alarm mengusik telinganya, rupanya waktu sudah menunjuk di angka setengah lima pagi hari. Itu artinya, Rania membatalkan kencan bersama Jovan semalam tanpa sengaja. Seketika ia pun menjadi semakin gelisah, belum juga jelas nasib dirinya ditambah pertemuan yang sudah diagendakan batal, membuat gadis itu tambah frustrasi saja.
Sampai di dalam kamar mandi, Rania kembali meneliti tubuhnya sendiri. Ia tidak menemukan jejak apapun di tubuhnya, semoga saja pria itu benar adanya, tidak menyentuh dirinya. Kendati demikian, Rania tetap merasa takut, takut kalau-kalau mereka sudah melampaui batas. Selebihnya ia akan mencari tahu nanti di laman pencarian.
Sementara Rayyan, termangu di kamarnya. Pagi ini ia mulai tidak manja lagi, beraktivitas selayaknya bujangan sendiri. Melihat betapa marahnya Rania pagi ini, mungkin Ia tidak akan menyiapkan pakaian gantinya hari ini.
Pria itu mengerjakannya sendiri, memakai pakaian tanpa ada yang menyiapkan tentu saja ada yang berbeda, karena lebih dari seminggu ini hidupnya penuh warna, Rania selalu menyiapkan paginya dengan rapih. Ia tersenyum, kali ini rencananya pasti tidak akan meleset, walau sedikit kejam dan curang, tapi ia tidak peduli, ada kesempatan yang datang, tentu pria itu susun dengan benar.
"Maafin aku, Ra," gumam pria itu tersenyum sembari berkaca.
Di sisi lain, Rania sendiri sudah berangkat lebih awal dari jadwal yang tertera di atas kertas. Dengan mengesampingkan urusan pribadinya yang begitu rumit, ia mempunyai tanggung jawab kemanusiaan lainya. Pagi ini Rania masih bertugas di stase obgyn. Kurang dari jam enam pagi gadis itu sudah tiba di rumah sakit bersiap keliling bangsal meng follow up pasien. Sebelum jam tujuh, hasil pemeriksaan harus sudah diserahkan Residen.
"Ra, woe tunggu!" Jeje nampak berlari-lari kecil menghampirinya.
"Kenapa kemarin izin, sakit? Udah sembuh?" tanya Jeje meneliti wajahnya.
"Habis nangis ya, kok sembab?" tanyanya kepo.
"Tahu aja lo, concealer gue nggak ngefek ternyata," jawabnya datar.
"Nanti aja ghibahnya, gue harus merampungkan ini sebelum tuh dokter datang," sambung Rania lalu.
"Yuhu, nanti gue tagih, emang pada kerajinan tuh dokter, masa kurang dari jam setengah tujuh udah pada dateng. Merampas tidur cantik gue aja, gini amad ya jadi dedek koas," keluhnya mendrama.
"Kerja Je, fokus, gue ke ruangan dulu," ujar Rania lalu.
"Wokeh pasien gue di ruang sebelah," ucapnya sembari melangkah.
Siap, kurang dari jam tujuh Rania sudah menyerahkan hasil pemeriksaan. Ngumpul sebentar di ruang jaga, mereka siap apel pagi tepat pukul tujuh. Lanjut mengisi absensi kehadiran. Ikut kegiatan pemeriksaan di poliklinik. Hari ini bahkan Rania ikut kegiatan operasi sampai sore.
Lumayan lelah, dan cukup menguras tenaga, namun ada hikmahnya, seharian bersibuk ria membuat gadis itu lupa akan masalahnya di rumah yang belum terpecahkan.
"Mbak Rania?"
"Iya, Pak, saya."
"Ada titipan yang dititip resepsionis Mbak, buat Mbak Rania," ucap salah satu perawat yang kebetulan bertugas di sore hari.
"Apa?" Rania menerima dengan bingung.
"Buka aja Ra, kayaknya makanan deh," tebak Jeje yang tengah asyik nyemil.
"Makasih Pak," jawabnya dengan bingung. Setengah ragu membuka isinya, benar saja nasi kotak lengkap dengan buah dan sayurnya. Minuman kotak dalam kemasan, dan kopi dari starbuck.
"Wih ... mantep bener paketan makanan dari siapa Ran? Tahu aja kalau kamu jaga malam," celetuk Jeje yang sengaja ikut mengintip isinya.
"Nggak tahu, siapa yang kasih nggak ada tanda pengirimnya."
"Jovan kali," timpal Asa.
Tidak mau menduga, dan karena waktu istirahat sungguh terbatas, Rania segera mengisi perutnya tanpa mikir panjang.