Reffan Satriya Bagaskara, CEO tampan yang memiliki segalanya untuk memikat wanita. Namun, sejak seorang gadis mengusik mimpinya hampir setiap hari membuat Reffan menjadikan gadis dalam mimpinya adalah tujuannya. Reffan sangat yakin dia akan menemukan gadis dalam mimpinya.
Tanpa diduga terjebak di dalam lift membuat Reffan bertemu dengan Safira Nadhifa Almaira. Reffan yang sangat bahagia sekaligus terkejut mendapati gadis dalam mimpinya hadir di depannyapun tak kuasa menahan lisannya,
“Safira…”
Tentu saja Safirapun terkejut namanya diucapkan oleh pria di depannya yang dia yakini tidak dikenalnya. Reffan yang mencari dan mengikuti keberadaan Safira di hotel miliknya harus melihat Bagas Aditama terang-terangan mendekati Safira.
Siapakah yang berhasil menjadikan Safira miliknya? Reffan yang suka memaksa atau Bagas yang selalu bertindak agresif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisy Zahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagaimana Jika Kita Menikah Sekarang?
Reffan mengepalkan tangannya, giginya saling beradu melampiaskan emosi yang sudah mencapai ubun-ubun. Apa yang dilakukan Bagas terhadap Safira? Beraninya dia menyentuh Safira. Nafasnya sudah memburu membayangkan Safira yang tidak baik-baik saja. Langkahnya sudah akan melesat namun tubuh mamanya menubruk tubuh tegap Reffan.
"Reffan tenanglah. Tidak akan terjadi apa-apa dengan Safira. Kau ingatkan Safira ada di kantor, Bagas tak mungkin melakukan apapun pada Safira." Tangan mama Raisa menahan tubuh anaknya." Duduklah dulu, tenangkan dirimu!"
Sementara Safira menatap Bagas waspada setelah tangan Bagas yang ditepisnya sebelum menyentuh tengkuknya.
"Apa yang anda lakukan Pak Bagas? Sebaiknya anda keluar sekarang." Suara Safira penuh penekanan.
"Kau tahu Safira betapa inginnya aku menyentuhmu tapi selalu kutahan karena aku menghormatimu. Dan sekarang bagaimana aku bisa merelakan dirimu akan menjadi milik orang lain." Bagas menatap Safira, pandangannya sudah berbeda dari biasanya.
Safira merasa percuma saja meladeni Bagas, pembicaraan mereka akan sia-sia karena Bagas tak akan mendengarkan apapun yang dikatakan Safira.
Safira keluar dari mejanya berniat keluar dari ruangan secepatnya. Tangan Bagas dengan cepat meraih lengan Safira, namun Safira berhasil memutar keadaan, tangannya memutar melepas cengkraman Bagas dan dengan cepat mendorong tubuh Bagas hingga Bagas jatuh terduduk. Bagas terkejut dengan perlawanan Safira dia tak menduga Safira bisa dengan mudah melakukan perlawanan.
"Safira.."
"Anda sudah melewati batas Pak Bagas. Anda tahu apa yang paling saya benci. Saya benci laki-laki yang tidak bisa menghormati wanita." Safira sudah melangkah jauh meninggalkan Bagas. Safira berlari ke kamar mandi sambil menghapus setitik cairan di sudut matanya. Hatinya terus beristighfar sampai tangannya meraih handle kamar mandi. Dinyalakannya kran wastafel. Setitik cairan yang menetes sudah berubah menjadi anak sungai terus mengalir melewati pipi mulusnya sampai membasahi jilbabnya yang terjulur indah hingga pinggang.
"Aku tak mau begini Ya Allah. Kau tahu aku hanya mau satu laki-laki yang setia mencintaiku. Tapi kenapa aku justru membuat dia mencintaiku dan menyakiti hatinya hingga dia tak berpikir lagi apa yang dilakukannya." Safira berulang kali menarik nafas dengan cepat mencoba mengalirkan banyak oksigen ke paru-parunya untuk menghilangkan rasa sesak di dadanya. Safira mencuci mukanya setelah tetesan air mata berhenti keluar dari sudut netranya.
Setelah dia yakin teman-teman seruangannya sudah berdatangan dia masuk kembali ke dalam ruang kerjanya. Tanpa menoleh ke kanan kiri, Safira fokus menatap mejanya dan kembali duduk di kursinya. Safira yang ingin menyelesaikan tugas secepatnya karena akan mengajukan cuti menikah malah membuatnya berhadapan dengan Bagas yang diluar kendali. Safira terus menundukkan wajahnya karena tak ingin memperlihatkan netranya yang memerah, siapapun yang melihatnya akan tahu jika Safira baru saja menangis. Sementara Bagas hanya bisa menatap Safira dari kejauhan. Ada rasa sesal di hatinya tapi rasa itu dikalahkan cemburu yang menguasai tubuhnya.
Reffan sudah bisa menguasai amarah yang tadi hampir tak terbendung. Kini dia kembali duduk di samping mama Raisa. Nafasnya sudah berangsur normal walaupun tangannya masih terus mengepal. Tapi hatinya tetap belum bisa tenang jika belum mengetahui kabar Safira.
Reffan meraih ponselnya kembali menghubungi Safira. Safira yang merasakan getaran ponselnya terkejut mencari keberadaan ponselnya. Saat dilihatnya ponsel di sebelah kursinya dia baru ingat ponselnya kemungkinan jatuh tadi.
"Assalamu'alaikum.." ucap Safira setelah memastikan siapa yang menghubunginya.
"Wa'alaikumsalam. Safira, kamu..." Sebenarnya Reffan sangat ingin memberondong Safira dengan pertanyaan yang beterbangan di benaknya. Namun diurungkannya. Mungkin lebih baik Safira tidak tahu jika dia dan mamanya mendengarkan kata-kata Bagas tadi. Reffan sudah cukup tenang Safira mengangkat telponnya. "Safira, kamu dimana sekarang?"
"Saya di kantor pak. Kan saya sedang bekerja."
"Hmmm... baiklah. Kamu baik-baik saja kan?"
"Iya pak." Safira mulai berpikir kenapa Reffan bertanya seperti itu. "Apakah tadi mama Raisa...." Safira menerka dalam hatinya.
"Ya sudah. Jaga diri kamu baik-baik."
"He em insyaAllah."
Reffan menutup panggilannya. Safira masih kuatir jika mama Raisa atau Reffan mendengar kejadian tadi.
Safira baru saja menyerahkan surat pengajuan cuti karena alasan menikah. Dan harus meladeni pertanyaan dari orang yang terkejut menerimanya. Kemudian segera melangkahkan kaki keluar dari kantornya. Secepatnya dia ingin keluar dari kantornya hari ini, ajakan Ira sahabatnya untuk jalan-jalan sore sambil mencari makan ditolaknya. Safira menghindari bersitatap dengan Bagas itulah sebabnya dia ingin segera pergi dari kantornya secepatnya.
Mobil yang dikendarai Safira harus berbaur dengan kemacetan di sore hari. Butuh waktu 40 menit untuk sampai di rumahnya padahal jika bukan jam macet hanya 20 menit jarak kantor dan rumahnya. Baru saja Safira akan menutup pagar setelah memasukkan mobilnya, seorang pria sudah berdiri di samping mobilnya.
"Pak Reffan." Safira terkejut melihat pria yang sekarang berdiri tepat di depannya.
"Safira, kamu baik-baik saja?" Reffan sudah menusuk tubuh Safira dengan pandangannya, diperhatikannya Safira dari ujung kepala yang tertutup hijab hingga ujung sepatunya, pakaiannya pun tak luput dari netra tajamnya.
Safira yang melihatnya menjadi ngeri dengan tatapan Reffan. Tangannya memeluk lengannya dan mencoba menutupi bagian depan tubuhnya. Padahal itu jelas sia-sia.
"Kenapa Pak Reffan ke sini?" Safira terbata mengucapkannya karena mata tajam Reffan masih tak mau beralih dari wanita di depannya yang sudah merasa sangat tak nyaman.
"Apa yang Bagas lakukan tadi padamu?" Reffan akhirnya tak bisa menahan dirinya untuk berpura-pura tidak mendengar kejadian tadi siang.
"Duar. Benarkan Reffan mendengar percakapannya tadi dengan Bagas sampai mana Pak Reffan mendengarnya. Ah?" Batin Safira, degub di dada Safira bertambah kencang.
"Safira, apa yang Bagas lakukan tadi? apa dia menyentuhmu?" Reffan sudah mengepalkan tangannya.
Safira hanya menggelengkan kepalanya.
"Kamu berbohong. Apa yang dilakukannya tadi?" Reffan sudah melangkah maju.
Safira jelas panik diapun memundurkan langkah yang bergetar. Entah kenapa Safira seperti kehilangan kekuatan saat berhadapan dengan Reffan hanya degub jantungnya yang mendominasi saat berada di dekat Reffan.
"Tidak ada pak. Cukup jangan mendekat lagi!"
Reffan baru menyadari apa yang dilakukannya. Wajah Safira memerah saat dia mendekat. Tanpa disadari Reffan tersenyum karena melihat wajah memerah yang dirindukannya.
"Katakan apa yang terjadi tadi, Safira." Reffan berhenti melangkah dan menyandarkan tubuhnya di mobil Safira.
"Tidak ada yang terjadi pak." Safira berusaha menjawab dengan tenang.
"Jangan bohong Safira. Di menyentuhmu? Kalau kau tidak mau mengatakannya akan aku buat dia yang mengatakannya. Ceritakan dengan benar semuanya." Reffan melirik ke arah Safira.
Safira terperanjat dengan kata-kata Reffan. Dia akhirnya menceritakan kejadian tadi karena tak ingin Reffan menemui Bagas.
"Beraninya dia menyentuhmu. Aku saja belum menyentuhmu."
Safira langsung menelan ludah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Reffan.
"Tidak untuk kedua kalinya. Jika dia berani menyentuhmu lagi, kau tidak bisa menahanku untuk mencari dan menghajarnya Safira."
Safira hanya diam, tangannya menggeledah tasnya mencari sebuah kunci.
"Safira bagaimana jika kita menikah sekarang. Aku akan lebih tenang jika kau tinggal bersamaku tidak sendirian di sini." Wajah Reffan sudah menampakkan senyum sejuta makna.
"Apa?" Terkejut Safira mendengar Reffan mengatakannya dengan mudah. Safira sudah memutar anak kunci dengan cepat.
"Kenapa... bukankah lebih cepat lebih baik jadi aku bisa selalu di sampingmu menjagamu dan..." Reffan berjalan mendekati Safira sengaja menggantung kalimatnya menikmati wajah merona yang berusaha disembunyikan Safira.
"Apa anda pikir anda sedang memesan makanan Pak Reffan." Safira sudah menutup pintu rumahnya dan menguncinya dari dalam. Meraba dadanya yang masih berdebar.
"Iya Safira, aku tak sabar memakanmu." Reffan tergelak di depan pintu rumah Safira.
secara pasangan menikah itu halal tp BKN muhrim jd ttp membatalkan wudhu...
pasal 2 boss salah, kembali ke pasal 1
wkwkwkwk
makasi yaa....
sukses terus utk outhorx semangat selalu utk berkarya lbh baik lg
next kisah anak² reffan lagi ya thor😁
Terimakasih semua sudah mendukung dan membaca hingga akhir.
Sempetin nengok novel Jejak di Pipi Membekas di Hati ya 😉