Ini kisah yang terinspirasi dari kisah nyata seseorang, namun di kemas dalam versi yang berbeda sesuai pandangan author dan ada tambahan dari cerita yang lain.
Tentang Seorang Mutia ibu empat anak yang begitu totalitas dalam menjadi istri sekaligus orangtua.
Namun ternyata sikap itu saja tidak cukup untuk mempertahankan kesetiaan suaminya setelah puluhan tahun merangkai rumah tangga.
Kering sudah air mata Mutia, untuk yang kesekian kalinya, pengorbanan, keikhlasan, ketulusan yang luar biasa besarnya tak terbalas justru berakhir penghianatan.
Akan kah cinta suci itu Ada untuk Mutia??? Akankah bahagia bisa kembali dia genggam???
Bisakah rumah tangga berikutnya menuai kebahagiaan???
yuk simak cerita lebih lengkapnya.
Tentang akhir ceritanya adalah harapan Author pribadi ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon shakila kanza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Buka puasa pertama
Adzan berkumandang di masjid menandakan waktu berbuka di hari pertama puasa sudah tiba, di meja makan Mutia, nampak Mutia dan anak-anaknya sedang menikmati buka puasa.
"Maafin Bunda ya Sayangnya Bunda semua... Bunda belum bisa membuatkan makanan untuk kalian semua..." Kata Mutia sembari memakan makanan yang di beli intan.
"Iya Bun... Udah nanti Intan yang masak, maaf tadi intan beli soalnya mau masak tadi ada Ayah, belum pergi-pergi..." Jawab Intan sembari menuangkan air putih untuk adik-adiknya berbuka puasa.
Mutia terdiam, jujur rasanya dirinya merasa bersalah karena anak-anak semuanya bersikap tidak hangat pada Ayahnya. Seharusnya seperti apapun sikap Ayahnya anak-anak tetap harus hormat terhadapnya.
"Kak... Zea... Zia... sama Adek Kean... Bunda boleh minta satu permintaan...??" Kata Mutia setelah semua selesai berbuka.
Kompak seluruh anaknya memandang Bundanya dan menganggukkan kepalanya tanda setuju. Mutia pun menarik napas dan mengatur duduknya juga memandang satu persatu anak-anaknya.
"Bunda Minta kalian tetap hormat terhadap Ayah... Bagaimana pun siap Ayah saat ini, tolong jangan mengubah sikap kalian sama Ayah ya... Dulu Ayah sangat menyayangi kalian semuanya... Ayah selalu mencukupi kebutuhan kalian semua... Tanpa ada Ayah kalian tidak bisa lahir dari rahim Bunda dan tidak bisa mendampingi bunda sampai saat ini..." Kata Mutia dengan penuh harapan membuat seluruh anak-anak menundukkan kepalanya.
Susah bagi mereka untuk bersikap sama seperti sebelum tahu bagaimana sikap Ayahnya pada Bundanya, mereka juga punya hati, mereka juga terluka sama seperti Bundanya.
"Bunda Sedih... Jika kalian menghilangkan rasa hormat kalian kepada Ayah kalian... Bunda tidak pernah mengajari kalian untuk menjadi anak yang durhaka..." Kata Mutia lagi masih menatap mata anak-anaknya satu persatu.
Semua anak-anak membisu, tidak ada yang menjawab sama sekali, mereka akui sikap mereka ke Ayahnya tidak sopan tapi itu mereka lakukan juga karena sikap Ayahnya yang pantas di perlakukan seperti itu, mereka berharap Ayahnya sadar dari kesalahannya dan bisa berubah sepenuhnya.
Mutia menarik nafas dalam-dalam seperti bukan hanya dirinya yang terluka ternyata luka hati yang di miliki anak-anak justru jauh lebih dalam, trauma tentang kehancuran orang tuanya sepertinya membuat mereka menjadi orang yang keras hati dan keras kepala semua.
"Maafkan Kean Bun.... Kean kecewa dengan Ayah... Kean Benci sama Ayah... Ayah Jahat, Ayah tidak bisa melindungi Bunda... Kean tidak butuh Ayah, Kean ingin lekas besar dan menjadi garda depan pelindung Bunda dan Kakak-kakak semua..."Kata Kean membuat Mutia terkejut, ternyata segitu terlukanya Kean hingga begitu membenci Ayahnya. Dan Mutia pun terharu karena pikiran dewasa bungsunya yang menginginkan dirinya lekas besar dan bisa menjadi pelindung bagi keluarganya yang perempuan semua ini.
"Udah... Kean, Zia, Zea dan Kak intan fokus belajar... Jadi anak pintar hebat semua... Biar Bunda makin Bangga dan Kalian bisa melindungi Bunda kapan saja nanti..."Kata Mutia.
"Tapi Bunda tetap mohon rubah sikap tidak sopan kalian pada Ayah... Jangan menjadi Anak yang durhaka biar Allah juga tidak Marah ke Bunda... Ok..."Kata Mutia menegaskan sekali lagi.
Anak-anak hanya mengangguk namun di dalam hati mereka sesungguhnya tidak bisa berjanji jika bisa berubah seperti dulu lagi, mungkin bisa sedikit tapi tidak bisa sepenuhnya. Mutia pun tersenyum bahagia berharap anak-anaknya menepati janjinya seperti yang di lihatnya saat ini.
***
Sementara di rumah lain di meja makan nampak di orang yang sedang berbuka dengan wajah yang sama-sama masam. Haris lelah setelah pulang kerja dia pulang ke rumah yang dia belikan untuk Kiara, namun sampai rumah, rumahnya berantakan sekali banyak bungkus makanan berserakan, sepertinya Kiara tadi mendapat tamu dari teman-temannya dan mereka tidak ada yang puasa, sehingga makan-makan tanpa di bereskan.
Haris makin masam saat melihat meja makan kosong tanpa makanan, sekedar sirup atau pun sub buah atau teh panas untuk berbuka saja tidak ada. Haris kembali keluar lalu pulang kerumah utama untuk mengambil makanan dan di bawa kerumah Kiara.
Haris sendiri yang menghangatkan makanan lalu menyiapkan minumnya sendiri dan Kiara, Haris membisu tanpa bersuara. Lelah dan bosan berdebat dengan Kiara yang hamil dan dikit-dikit menangis juga marah-marah tak jelas membuat Haris malas bersuara.
Haris membaca doa dan berbuka puasa tanpa mengajak bicara Kiara yang tengah masam melihatnya karena sikap diam Haris padanya.
"Mas... "Kata Kiara sudah mulai nada tinggi, Haris mengangkat telunjuknya di depan bibir untuk menggantikan kata-katanya, meminta Kiara diam karena dirinya amat lapar dan ingin makan.
Kiara kesal karena semakin hari sikap Haris padanya semakin berubah dingin dan datar, tidak seperti dulu-dulu sebelum dirinya hamil. Kiara yakin semenjak sering bertemu dengan Mutia Haris semakin berubah seolah-olah di doktrin oleh Mutia dan anak-anaknya.
Haris sudah selesai makan lalu dirinya masuk ke kamar dan ke kamar mandi untuk mandi, tidak ada air hangat yang di siapkan, setelah mandi pun tidak ada baju ganti yang sudah tersedia, Haris mencari sendiri lalu memakainya dan keluar di ranjang sudah nampak Kiara dengan raut wajah tidak bersahabatnya.
"Mas Haris... Kita perlu bicara..." Kata Kiara menghalangi jalan Haris.
"Nanti saja , aku ingin ke Masjid shalat tarawih..." Kata Haris lalu hendak melangkah pergi.
"Tunggu Mas Haris kenapa dari tadi diam saja... Apa Salah ku hah???" Tanya Kiara sambil menahan baju Koko Haris.
Haris menahan nafasnya lalu memejamkan matanya, Ingin rasanya semua kesalahan dan kekurangan Kiara dia utarakan namun yang ada nanti justru berakhir dengan tangisan dan amarah Kiara jadi Haris hanya bisa membuang nafasnya kasar.
"Keburu telat... Sudah nanti saja... " Kata Haris pada Akhirnya lalu melepas tangan Kiara pada kokonya.
"Mas... Hah... Bagaimana aku tau salahku kalau kamu hanya diam..." Protes Kiara saat Haris sudah berlalu.
"Apa Salah mu... Huh... Rupanya kaca besar di kamar tidak cukup besar untukmu mengaca dan membaca kesalahanmu... " Gerutu Haris sembari keluar dari rumah itu untuk pergi menuju masjid.
Brakkk
Pranggg
Suara barang berterbangan di belakang Haris seperti dari dalam kamar Kiara, selalu seperti itu jika terjadi ketegangan, beda sekali dengan sikap Mutia yang lemah lembut.
Haris menggelengkan kepalanya lalu berjalan ke arah mobilnya untuk pergi ke masjid karena masjid lokasinya rada jauh dari rumah Kiara.
Haris melajukan mobilnya, dulu saat-saat seperti ini mobil ini akan ramai dengan suara anak-anaknya dan Mutia akan duduk di sisinya sembari mendengarkan lagu nasyid di mobilnya, sedang anak-anaknya berceloteh kesana kemari menceritakan kegiatan ramadhan di sekolahnya masing-masing dan kini yang terasa hanya hampa dan sepi.
memang benar kita akan merasakan sakitnya dan kehilangan ketika semua sdh pergi.
senang bacanya, sllu penasaran di setiap episode, banyak pembelajaran yg diambil,,,,Mksih yaa thor...🙏🥰
senang bacanya, sllu penasaran di setiap episode, banyak pembelajaran yg diambil,,,,Mksih yaa thor...🙏🥰