Kalian Bisa Dukung aku di link ini :
https://saweria.co/KatsumiFerisu
Seorang pengguna roh legendaris, yang sepanjang hidupnya hanya mengenal darah dan pertempuran, akhirnya merasa jenuh dengan peperangan tanpa akhir. Dengan hati yang hancur dan jiwa yang letih, ia memutuskan mengakhiri hidupnya, berharap menemukan kedamaian abadi. Namun, takdir justru mempermainkannya—ia terlahir kembali sebagai Ferisu Von Velmoria, pangeran ketiga Kerajaan Velmoria.
Di dunia di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menjalin kontrak dengan roh, Ferisu justru dikenal sebagai "Pangeran Sampah." Tidak ada roh yang mau menjawab panggilannya. Dipandang sebagai aib keluarga kerajaan, ia menjalani hidup dalam kemalasan dan menerima ejekan tanpa perlawanan.
Tetapi saat ia masuk ke Akademi Astralis, tempat di mana para ahli roh belajar tentang sihir, teknik, dan cara bertarung dengan roh, sebuah tempat terbaik untuk menciptakan para ahli. Di sana Ferisu mengalami serangkaian peristiwa hingga akhirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20 : Percakapan Antara Dua Laki-laki
Hari itu, kelas 1-D benar-benar memukau. Mereka mengalahkan dua kelas yang menjadi lawan mereka dengan strategi matang dan kerja sama yang luar biasa hingga akhirnya mencapai babak final. Esok hari, mereka akan menghadapi kelas 1-A, yang dikenal sebagai kelas terkuat di tahun pertama.
Namun, perbincangan di akademi tidak hanya tentang kelas 1-D. Semua siswa mulai membicarakan potensi pertandingan final, mempertimbangkan kekuatan kedua tim.
"Pertandingan melawan kelas dari tahun kedua dan ketiga?" gumam salah satu siswa di tribun.
Seorang temannya menjawab dengan nada antusias, "Ya! Nanti setelah tiap tahun ajaran memiliki juara masing-masing mereka akan bertanding dengan kelas yang menjadi juara dari setiap tahun ajaran. Final besok akan menentukan siapa yang paling kuat di tahun pertama."
Ketika bel pulang berbunyi, suasana di akademi masih penuh antusiasme. Para siswa kelas 1-D berkumpul di ruang kelas mereka untuk mendiskusikan strategi esok hari.
"Kerja bagus hari ini," ujar Viana dengan tegas, merapikan buku-bukunya. Meski nada suaranya tenang, matanya penuh tekad. "Tapi kita tidak bisa lengah. Kelas 1-A terkenal dengan kekuatan individu dan strategi tim mereka."
Erica menyahut sambil menyilangkan tangan, "Mereka punya dua siswa dengan roh tingkat tinggi. Jika kita tidak berhati-hati, mereka bisa mendominasi pertandingan."
Markus, sambil memeriksa pedangnya, menambahkan, "Dan jangan lupa, pemimpin mereka dikenal sangat cerdas. Mereka pasti sudah mempelajari kelemahan kita sejak awal."
"Hei, jangan terlalu tegang," sela Licia, mencoba menenangkan suasana dengan senyuman lembut. "Kita sudah membuktikan bahwa kita punya kerja sama yang baik. Selama kita tetap solid, peluang kita besar."
Selena, yang terlihat sibuk menulis di sebuah buku kecil, menatap ke arah mereka. "Aku sedang memikirkan strategi. Jika kita bisa mengontrol tempo pertandingan, kita mungkin bisa menggoyahkan mereka."
Sementara itu, Ferisu duduk di sudut kelas, bersandar dengan santai di kursinya. Ia tampak tidak terlalu peduli dengan diskusi tersebut, meskipun matanya menyiratkan bahwa ia mendengar setiap kata.
"Anda sepertinya tidak berniat menonton pertandingan kita, Pangeran...," kata Viana, mendekatinya dengan nada tajam. "Apa kau tidak punya pendapat tentang pertandingan kita?"
Ferisu membuka matanya yang setengah terpejam, lalu menatap Viana dengan ekspresi datar. "Kalian sudah cukup bagus," jawabnya dengan nada santai. "Tapi besok... jangan terlalu percaya diri. Kelas 1-A bukan lawan yang mudah."
Viana terdiam, menatap Ferisu dengan alis yang sedikit berkerut. Meskipun nadanya terdengar santai, kata-kata Ferisu terasa seperti peringatan serius.
Erica yang duduk di dekat mereka hanya menghela napas, sementara Licia mengangkat bahu, memilih untuk tidak ikut campur. Markus dan Selena sudah meninggalkan ruangan untuk beristirahat dan mempersiapkan diri untuk besok.
Ketika para siswa mulai meninggalkan akademi, Ferisu berjalan santai menuju taman seperti biasanya. Namun, langkahnya terhenti di depan patung besar pendiri akademi yang berdiri megah di tengah lapangan.
Ia menatap patung itu dalam diam, matanya memancarkan sesuatu yang sulit ditebak. Ia melanjutkan langkahnya menuju taman, duduk di bawah pohon rindang, tampak santai seperti biasa.
Di sisi lain, kelas 1-A sedang mempersiapkan diri dengan intens. Mereka tahu bahwa kelas 1-D bukanlah lawan biasa. Bagi mereka, pertandingan final ini adalah ajang untuk membuktikan siapa yang pantas disebut sebagai kelas terbaik di tahun pertama.
.
.
.
Saat Ferisu sedang duduk santai di bawah pohon, menikmati udara sore yang tenang, seorang laki-laki mendekatinya.
"Hee~ siapa sangka saya bisa bertemu dengan pangeran yang begitu terkenal," ujar laki-laki itu dengan nada ramah dan senyum di wajahnya.
Ferisu membuka satu matanya, melihat siapa yang berbicara. Laki-laki tersebut memiliki rambut pirang, wajahnya tampan, dan auranya begitu ramah.
"Siapa?" balas Ferisu dengan nada datar, suaranya terdengar acuh.
"Ahaha... Maaf atas ketidaksopanannya. Perkenalkan, nama saya Sirius Astros, tahun ajaran pertama, kelas 1-A," ucapnya dengan sopan, memperkenalkan diri.
Ferisu hanya meliriknya sejenak, masih dengan ekspresi datar. "Ada perlu apa denganku?" tanya Ferisu tanpa antusiasme.
"Apa saya boleh duduk di samping Anda?" tanya Sirius dengan sopan.
Ferisu menghela napas ringan, lalu mengangguk pelan. "Hmm," jawabnya singkat.
"Sebenarnya, saya cukup mengagumi Anda," lanjut Sirius, tanpa ragu.
Ferisu menoleh ke arahnya, kini dengan tatapan yang lebih tajam. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan nada dingin.
Sirius tersenyum, tampaknya menikmati percakapan ini. "Sebenarnya, saya juga sering keluar ke kota diam-diam, dan saat itu saya melihat Anda. Warga kota begitu menghormati Anda. Mereka tersenyum dan berbicara dengan penuh kehangatan saat berbicara dengan Anda, jauh dari kata sampah yang sering saya dengar. Anda membuat mereka merasa bahagia."
Ferisu terdiam sejenak, matanya menatap Sirius dengan rasa ingin tahu yang muncul sedikit. "Kau... melihatku begitu?" tanya Ferisu, sedikit terkejut, meski suaranya tetap tenang.
Sirius mengangguk serius. "Saya tak pernah salah lihat. Mungkin di akademi, orang-orang hanya terfokus pada penampilan luar dan masa lalu, tapi saya rasa setiap orang berhak untuk dihargai lebih dari itu. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya ada di balik sikapmu."
Ferisu memiringkan kepala, berpikir sejenak. "Kau bicara banyak tentang hal-hal yang tidak ada hubungannya denganku," ucapnya, suara Ferisu tetap datar dan penuh jarak. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?"
Sirius tersenyum, tidak merasa terintimidasi sedikit pun oleh sikap Ferisu. "Saya hanya ingin berbicara. Saya penasaran, apa pendapatmu tentang pertandingan besok. Kelas 1-A sangat menantikan pertarungan melawan kelas 1-D, dan saya rasa, saling mengenal satu sama lain bisa membuat kita lebih kuat."
Ferisu meliriknya sesaat, lalu mengalihkan pandangannya ke langit, dengan sedikit rasa bosan. "Kelas 1-A kuat, memang. Tapi jangan terlalu percaya diri. Setiap pertarungan punya jalannya sendiri. Tidak selalu bisa diprediksi."
Sirius tertawa pelan. "Saya setuju. Itu sebabnya saya ingin tahu lebih banyak tentangmu, Pangeran Ferisu. Saya rasa, meskipun kita berada di pihak yang berbeda, ada banyak yang bisa dipelajari dari satu sama lain."
Ferisu hanya menatapnya sejenak, lalu kembali bersandar pada pohon dan menghela napas. "Belajar? Tidak ada yang perlu dipelajari dariku, lagi pula aku tidak berpartisipasi dalam pertandingan" jawabnya, terdengar lebih acuh.
Namun, Sirius tetap tersenyum. "Anda salah, Pangeran. Saya yakin ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik sikap acuh tak acuhmu. Mungkin itu yang membuatmu begitu menarik di mata orang-orang."
Ferisu diam, matanya kini terarah pada tanah, memikirkan kata-kata Sirius. "Hmm... Bisa jadi," jawabnya singkat, dengan suara rendah. "Tapi itu bukan urusanmu."
Sirius tertawa ringan, tanpa menunjukkan rasa tersinggung. "Tidak masalah, Pangeran. Saya hanya ingin mengenal Anda lebih dalam. Apapun yang terjadi besok, saya rasa kita akan bertemu lagi di masa depan."
Ferisu mengangkat bahu, matanya kembali menatap ke langit yang mulai gelap. "Kita lihat saja nanti," jawabnya dengan nada yang tak terduga, seolah memberi sedikit ruang untuk pertemuan lainnya.
Sirius tersenyum, seolah puas dengan percakapan itu, sebelum akhirnya berdiri dan melangkah pergi.
raja sihir gitu lho 🤩