Lanjutan dari novel Reinkarnasi Pendekar Dewa
Boqin Changing, pendekar terkuat yang pernah menguasai zamannya, memilih kembali ke masa lalu untuk menebus kegagalan dan kehancuran yang ia saksikan di kehidupan pertamanya. Berbekal ingatan masa depan, ia berhasil mengubah takdir, melindungi orang-orang yang ia cintai, dan menghancurkan ancaman besar yang seharusnya merenggut segalanya.
Namun, perubahan itu tidak menghadirkan kedamaian mutlak. Dunia yang kini ia jalani bukan lagi dunia yang ia kenal. Setiap keputusan yang ia buat melahirkan jalur sejarah baru, membuat ingatan masa lalunya tak lagi sepenuhnya dapat dipercaya. Sekutu bisa berubah, rahasia tersembunyi bermunculan, dan ancaman baru yang lebih licik mulai bergerak di balik bayang-bayang.
Kini, di dunia yang telah ia ubah dengan tangannya sendiri, Boqin Changing harus melangkah maju tanpa kepastian. Bukan lagi untuk memperbaiki masa lalu, melainkan untuk menghadapi masa depan yang belum pernah ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boqin Changing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Makan Giok Bulan
Mereka pun meninggalkan area kediaman Keluarga Feng dan kembali menyusuri jalanan menuju pusat kota. Matahari sudah condong ke atas kepala, panasnya menekan tanpa ampun. Debu beterbangan tipis setiap kali kaki mereka melangkah, dan perut yang sejak pagi hanya terisi seadanya mulai terasa menuntut perhatian.
Boqin Changing berjalan sedikit di depan. Setelah beberapa saat, ia melambat dan menoleh ke belakang.
“Kita makan dulu,” katanya tenang.
Tidak ada yang membantah. Bahkan Shang Mu yang biasanya paling keras kepala pun hanya mengangguk pelan. Langkah mereka kemudian diarahkan ke sebuah jalan yang lebih sempit, sedikit menyimpang dari arus utama keramaian pasar.
Boqin Changing berhenti di depan sebuah bangunan besar.
“Di sini,” ucapnya singkat.
Shang Mu, Shang Ni, dan Zhiang Chi menoleh bersamaan. Ketiganya sedikit mengernyit. Mereka berdiri tepat di depan sebuah rumah makan atau setidaknya, bangunan yang tampak seperti rumah makan.
“Apa kau yakin makanan di tempat ini enak?” tanya Zhiang Chi ragu.
Bangunannya memang besar, bahkan bisa dikatakan luas. Namun tampilannya jauh dari kesan mengundang. Dinding luarnya kusam, beberapa bagian kayu tampak lapuk dan retak. Di sudut atap, gentengnya terlihat bergeser, seolah belum pernah diperbaiki dalam waktu lama. Ada bekas tambalan seadanya di beberapa titik, dan sebagian tembok tampak mengelupas.
Meski begitu, pintu depannya terbuka. Boqin Changing tidak menjelaskan apa pun. Ia hanya melangkah masuk lebih dulu. Setelah saling pandang singkat, yang lain pun mengikuti.
Begitu masuk, seorang pelayan segera menyambut mereka. Pria paruh baya itu membungkuk hormat, meski sorot matanya jelas terkejut melihat rombongan dengan aura yang tidak biasa.
“Silakan,” ucapnya sopan.
Keadaan di dalam rumah makan itu terasa… sepi. Beberapa meja kosong berjajar rapi. Tidak terdengar suara ramai pelanggan, hanya langkah kaki mereka sendiri dan bunyi halus perabot kayu. Udara di dalam bersih, tidak apek, namun jelas tidak ramai seperti rumah makan pada jam makan siang.
Boqin Changing menatap sekeliling sebentar, lalu berkata pelan.
“Aku ingin ruangan pribadi terbaik.”
Pelayan itu tertegun. Ekspresinya membeku sepersekian detik, seolah tidak menyangka permintaan itu akan muncul. Namun ia segera menunduk lagi.
“Silakan ikut saya,” katanya akhirnya.
Ia berbalik dan memimpin mereka menaiki tangga kayu menuju lantai dua. Tangga itu berderit pelan, tapi masih kokoh. Di lantai atas, suasananya lebih sunyi lagi. Pelayan itu berhenti di depan sebuah pintu besar dan membukanya.
“Ini ruang makan khusus,” ujarnya.
Kelompok itu masuk. Ruangan itu luas, bersih, dan tertata rapi. Meja bundar besar berada di tengah, dengan kursi-kursi kayu berkualitas baik. Jauh berbeda dari kesan luar rumah makan.
Mereka segera duduk. Pelayan itu lalu meletakkan beberapa buku menu di atas meja sebelum kembali berdiri dengan sikap hormat.
Boqin Changing mengambil satu dan membukanya. Alisnya sedikit terangkat. Ada sesuatu yang ganjil. Sebagian besar menu di dalam buku itu dicoret tebal. Beberapa bahkan dicoret berlapis-lapis, meninggalkan hanya sedikit nama hidangan yang masih terbaca dan tampak tersedia.
Tanpa komentar, Boqin Changing menutup buku menu itu.
“Bawa saja makanan dan minuman yang tersedia,” katanya.
Pelayan itu membungkuk lebih dalam.
“Mohon maaf atas keterbatasannya,” ucapnya tulus, lalu segera berbalik dan keluar ruangan.
Zhiang Chi tidak bisa menahan diri. Ia menoleh ke sekeliling, lalu berkata pelan.
“Aneh. Rumah makannya besar, tapi seperti kurang terawat. Makanannya juga tidak lengkap.”
Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan nada heran.
“Apa pergantian kekuasaan bisa sampai membuat usaha rumah makan juga bangkrut?”
Boqin Changing hanya tersenyum tipis. Ia tidak menjawab satu kata pun.
Tidak lama kemudian, pelayan itu kembali bersama beberapa orang lain, membawa hidangan satu per satu. Makanan dihidangkan di tengah meja. Tampilannya sederhana, tanpa hiasan berlebihan, tanpa piring mewah, namun aromanya lembut dan menggugah selera.
Mereka mulai makan. Begitu suapan pertama masuk, ekspresi mereka berubah.
“Ini…” Shang Ni terdiam sejenak, lalu menatap hidangan di depannya dengan mata terkejut. “Enak.”
Zhiang Chi mengangguk cepat, bahkan sampai tertawa kecil tak percaya.
“Sederhana, tapi rasanya dalam. Bumbunya pas.”
Shang Mu pun makan dalam diam, namun jelas terkejut. Keheningan mereka bukan karena canggung, melainkan karena fokus menikmati makanan.
Zhiang Chi akhirnya mengangkat kepala dan bertanya.
“Sebenarnya… apa nama rumah makan ini?”
Boqin Changing meneguk tehnya dengan tenang sebelum menjawab.
“Seharusnya kalian mengenalinya.”
Ia mengangkat pandangan.
“Ini adalah Rumah Makan Giok Bulan.”
Zhiang Chi terkejut. Matanya membesar.
“Rumah Makan Gio Bulan?” ulangnya. “Yang itu? Bahkan di ibu kota ada cabangnya.”
Ia menatap sekeliling ruangan lagi, seolah mencoba menyamakan bayangan di kepalanya dengan kenyataan di depan mata.
“Setahuku,” lanjutnya pelan, “Rumah Makan Giok Bulan adalah rumah makan yang cukup mewah di ibukota.”
Boqin Changing menatap sekeliling dengan mata yang seketika bersinar samar. Semalam, ketika mereka melewati jalanan sempit ini, ia hampir tidak memperhatikan papan nama yang copot di dekat pintu dan tidak dipasang.
Jika saat itu ia tidak cukup peka, nama rumah makan ini mungkin akan luput dari ingatannya. Ia menunduk sejenak, mengingat bahwa di masa depan, rumah makan ini akan menjadi salah satu yang paling terkenal di Kekaisaran Shang.
Kelompok itu menyelesaikan santapannya dengan perlahan. Aroma makanan masih menggantung tipis di udara, namun mereka tahu waktunya untuk pergi semakin dekat. Boqin Changing dengan gerakan tenang memanggil pelayan yang melayani mereka.
“Ambil ini,” ucap Boqin sambil menyerahkan beberapa koin emas yang jumlahnya cukup besar. Pelayan itu menatap koin-koin itu dengan mata terbelalak. Ia belum pernah melihat seorang pemuda muda memberi bayaran sebesar itu, apalagi dengan sikap begitu tenang dan penuh wibawa.
“Terima kasih. Makanan di rumah makan ini sungguh memuaskan,” kata Boqin Changing sambil mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Sampaikan padanya, kepada penanggung jawab rumah makan, bahwa aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin memberi penghargaan secara langsung.”
Pelayan itu menelan ludah, sedikit ragu. Wajahnya menunjukkan ketidakyakinan, seolah menimbang antara mematuhi permintaan atau menganggapnya terlalu berlebihan. Namun akhirnya ia mengangguk pelan, bertekad menyampaikan maksud pemuda itu.
Tak lama kemudian, pintu samping ruangan dibuka, dan seorang pria paruh baya melangkah masuk. Penampilannya tenang, aura yang sederhana namun menenangkan terpancar darinya. Ia menatap rombongan itu, tersenyum ramah, lalu membungkuk sedikit sebagai tanda salam.
“Selamat siang. Apakah semuanya menikmati hidangannya?” sapa pria itu dengan suara hangat.
Mata Boqin Changing menatap tajam pria itu, dan seketika cahaya matanya menyala. Pria ini, ia kenal. Ia adalah Wu Ping.
Dalam kehidupan pertamanya, pria ini akan dikenal luas dengan julukan Kelelawar Putih, salah satu tokoh yang tak asing dalam dunia persilatan dan informasi.
“Ini Wu Ping?” gumam Boqin Changing dalam hati. Ia menahan senyum tipis, merasakan sedikit gelombang kenangan kehidupan pertamanya mengalir ke pikirannya.
Ia juga mengingat bahwa Rumah Makan Bulan Giok ini, selain terkenal dengan makanannya yang lezat dan pelayanan yang ramah, adalah tempat di mana informasi penting bisa diperoleh. Tidak jarang, pihak tertentu yang mencari kabar atau berita akan berkunjung ke rumah makan ini.
Boqin Changing tahu bahwa rumah makan ini dikelola oleh dua bersaudara, Wu Xia dan Wu Ping. Dan kini, pria yang berdiri di depannya adalah salah satunya, yang lebih tenang dan berhati-hati dalam bertindak, namun dalam waktu yang akan datang siap menjadi sosok penting dalam jalur informasi Kekaisaran Shang.
Shang Mu, Shang Ni, dan Zhiang Chi memperhatikan interaksi ini dengan sedikit kebingungan, tak sepenuhnya mengerti mengapa Boqin Changing menatap pria itu dengan intensitas seperti itu. Namun Boqin hanya tersenyum tipis, mengangguk hormat, lalu dengan suara yang rendah namun jelas berkata,
“Rasanya luar biasa. Aku ingin mengucapkan penghargaan langsung kepada penanggung jawab rumah makan ini. Terima kasih atas hidangan yang telah disajikan.”
Wu Ping menatap pemuda di depannya sejenak, lalu membalas senyum itu dengan ringan.
“Terima kasih Tuan Muda atas apresiasinya. Kami senang makanan kami disukai.”
Mata Boqin Changing bersinar sedikit lebih terang. Ia tahu, selain menikmati santapannya, pertemuan ini juga bisa menjadi awal mendapatkan informasi penting.
“Bolehkah kita berbincang sebentar Tuan? Ada yang ingin kubicarakan denganmu?” ujar Boqin Changing terus terang.
Ia menepuk meja dengan halus mempersilahkan Wu Ping duduk di dekatnya. Rumah Makan Bulan Giok bukan sekadar tempat makan biasa. Tempat ini akan menjadi saksi bisu pertemuan, rahasia, dan gosip yang bisa mengubah langkah mereka ke depan.
Shang Mu, masih sedikit penasaran, menoleh ke Boqin Changing.
“Bukankah kita harus pergi?” tanyanya pelan.
Boqin Changing hanya tersenyum tipis.
“Kau akan tahu nanti. Untuk sekarang, cukup nikmati suasananya.”