Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#28
[Rumah Orang tua Alden]
Alden berbaring telungkup di kamarnya. Rasa malas untuk keluar kamar kembali menguasai dirinya. Malam ini, ia memutuskan untuk menginap di rumah orang tuanya, sebab pikirannya tak tenang jika menginap di rumahnya karena bayangan Naysila selalu hadir.
Setelah bertemu Naysila tadi, Alden langsung pulang ke rumah orang tuanya. Ia tidak bicara banyak kepada mereka, selain memberitahukan apa saja yang dibicarakan dengan Naysila saat pertemuan tadi.
Bu Tamara dan Pak Haldy juga tidak banyak bertanya, mereka memahami perasaan Alden saat ini.
Tok, tok, tok!
Pintu kamar Alden diketuk.
Pria itu tidak merespon, hanya menenggelamkan wajahnya lebih dalam ke bantal.
"Al, apa kamu sudah tidur?" Suara Bu Tamara memanggil.
Alden tidak menjawab. Ia cukup malas untuk berbicara lagi.
Kriettt...
Pintu kamarnya di buka perlahan. Bu Tamara sempat berdiri di ambang pintu menatap punggung putranya. Ia pun masuk dan berjalan mendekat ke arah ranjang Alden.
Ia kemudian duduk di pinggir ranjang dan menyentuh bahu Alden. "Al, kamu belum tidur kan? Ibu mau mengatakan sesuatu."
Alden membuka mata yang tersembunyi di balik bantalnya. Ia mengubah posisi tidurnya jadi telentang dan menatap Bu Tamara. "Ada apa?"
Bu Tamara tersenyum dan berkata, "Al... barusan Naysila telepon Ibu..."
Alden tidak memotong, ia hanya menatap sang ibu seolah menunggu ibunya melanjutkan kalimatnya.
"Naysila bilang, dia bersedia untuk ikut dengan kita ke Medan," tambahnya.
Alden terdiam, matanya membesar tak percaya. Ia segera bangkit duduk, menatap ibunya dengan sorot mata yang penuh campuran rasa lega, bahagia, sekaligus masih menyimpan keraguan.
"Ibu… serius Nay bilang seperti itu?" suaranya parau, seolah takut kabar itu hanya khayalan belaka.
Bu Tamara mengangguk mantap, senyumnya hangat. "Iya, Al. Tadi dia yang bilang sendiri. Katanya, dia bersedia untuk ikut menghadiri acara pernikahan Aura. Dia juga sudah meminta izin pada orang tuanya."
Alden merasakan dadanya menghangat, seolah beban berat yang menghimpitnya sedikit terangkat. Senyum tipis akhirnya terbit di wajahnya, senyum yang sudah lama tidak muncul. Ia bangkit dan duduk menghadap sang ibu.
"Alhamdulillah ya Allah…" gumamnya lirih.
Bu Tamara menepuk lembut bahu putranya. "Al, ini kesempatan untukmu. Jangan sia-siakan. Naysila sudah mau melangkah setengah jalan ke arahmu. Sisanya, kamu yang harus berusaha lebih keras lagi untuk membuat dia percaya."
Alden menunduk, menatap kedua tangannya yang saling menggenggam erat. "Aku merasa tak pantas, Bu. Aku sudah terlalu menyakiti dia. Aku juga sudah bilang padanya, kalau aku sudah berniat melepaskannya jika dia meminta cerai."
"Apa?" ucap Bu Tamara dengan ekspresi tak percaya. "Kamu mengatakan hal seperti itu padanya? Apa kamu serius mau mengikhlaskan dia?"
"Iya, Bu. Aku sudah menyerah. Aku percaya, Naysila akan bahagia jika tanpa aku. Aku gak mau mencengkeram dia terlalu lama. Dia berhak bahagia," jawab Alden pelan.
"Tapi, Nak," sahut Bu Tamara lembut. "Ibu yakin, Naysila juga masih mencintai kamu. Hanya saja saat ini dia tidak mau menunjukkan perasaan itu di hadapan kita. Jangan menyerah begitu saja, hubungan kamu dan Naysila masih bisa diperbaiki."
Alden menggeleng. "Tidak, Bu. Aku sudah memutuskan dengan matang. Kapanpun Naysila meminta cerai, maka aku akan menjatuhkan talak dengan mudah padanya. Sekarang, aku nggak mau memikirkan untuk kembali bersatu dengannya, aku cukup tahu diri. Dengan dia mau turut hadir ke acara Om Roman saja sudah cukup membuatku senang."
Bu Tamara menatap putranya lama. Hatinya terasa nyeri mendengar kata-kata Alden, seolah putranya benar-benar sudah kehilangan semangat untuk memperjuangkan rumah tangganya.
"Al," ucap Bu Tamara dengan suara bergetar, "Ibu tahu kamu sedang putus asa. Tapi jangan terlalu cepat menutup pintu. Kamu boleh bilang kamu menyerah, tapi hati Ibu sebagai seorang ibu bisa merasakan… kamu masih berharap bisa bersamanya."
Alden menghela napas panjang, menunduk lemas. "Iya, Bu. Dari hati kecilku, aku memang masih berharap. Tapi apa gunanya kita bersama lagi kalau pada akhirnya aku hanya akan menyakitinya lagi? Aku sudah janji pada diriku sendiri, aku nggak mau egois lagi. Kalau aku harus menyingkir supaya dia bahagia, maka aku akan lakukan."
Bu Tamara menggenggam kedua tangan putranya erat. "Nak, cinta bukan soal menyingkir atau bertahan. Cinta itu soal berjuang. Kalau kamu benar-benar mau dia bahagia, maka bahagiakan dia bersamamu, bukan dengan melepaskannya."
"Cinta gak harus saling memiliki kan, Bu?" tanya Alden. "Itu yang akan aku lakukan demi dia bahagia. Dia hanya bahagia jika lepas dariku, bukan bersamaku."
"Nak..."
Alden menatap ibunya, mata berkaca-kaca. "Bu, Naysila nggak mau lagi lihat aku. Dia bahkan mengembalikan semua uang nafkah yang aku berikan padanya. Itu artinya dia benar-benar menolak aku. Apa aku masih pantas berharap?"
Bu Tamara terdiam selama beberapa saat, tapi kemudian mengusap wajah putranya penuh kasih. "Nak, perempuan itu kadang bertindak karena terluka, bukan karena benci. Mungkin Naysila masih marah, masih kecewa. Tapi di balik semua itu, Ibu yakin ada cinta yang tidak bisa dia matikan. Kamu sendiri bilang, tatapannya ke kamu tadi berbeda, bukan? Seperti ada sesuatu yang dia tahan."
Alden terdiam, mengingat kembali pertemuannya dengan Naysila. Benar, ada momen ketika mata mereka bertemu, tatapan itu tidak sepenuhnya dingin. Ada getir, ada luka, tapi juga ada kerinduan yang samar.
Bu Tamara menepuk lembut pipi putranya. "Al, jangan hanya pasrah. Kalau kamu benar-benar mencintainya, buktikan dengan sikap. Jangan hanya berkata ikhlas melepas, tapi diam-diam hatimu menjerit kehilangan. Itu bukan ikhlas, itu putus asa."
Alden terdiam lama. Air matanya akhirnya jatuh, membasahi pipi. "Bu… aku bahkan sudah tidak memiliki rasa percaya diri untuk mendekatinya lagi. Aku sudah terlalu sering membuatnya terluka. Aku tidak mau memperjuangkan seseorang yang tak ingin diperjuangkan."
Bu Tamara menarik napas panjang, menatap putranya dengan mata yang lembut namun penuh kekhawatiran. Ia tahu Alden sedang bersikap tegas pada pilihannya, tapi sebagai seorang ibu, hatinya sulit menerima kalau putranya dan Naysila benar-benar berpisah.
"Nak… Ibu mengerti keputusanmu," katanya perlahan. "Ibu akan menghargai apa pun yang kamu putuskan. Kalau memang kamu merasa harus memberi Naysila kebebasan, Ibu takkan memaksamu."
Alden menatap ibunya lega, namun masih terselip rasa cemas di dadanya. "Terima kasih, Bu… aku… aku lega Ibu bisa mengerti."
Bu Tamara menghela napas panjang, menunduk sejenak sebelum menatap putranya lagi. "Tapi… di dalam hati Ibu, Nak, Ibu tidak rela kalau kalian sampai benar-benar bercerai. Ibu sudah mengenal Naysila sejak dia masih anak-anak, dan Ibu tahu… dia satu-satunya wanita yang pantas untukmu, Alden. Tidak ada yang bisa menggantikannya."
Alden menunduk, tangannya menggenggam selimut, merasa berat dengan kata-kata ibunya. "Dia mungkin pantas untukku, Bu. Tapi aku... tidak pantas untuknya."
Bu Tamara semakin merasa kasihan pada putranya, tapi ia pun merasa apa yang Alden katakan ada benarnya. Sebab, anaknya sudah membuat hati Naysila hancur. Artinya, ia tak pantas untuk Naysila.
Alden menatap ibunya, rasa haru bercampur dengan kebingungan. "Bu... aku tidak mau membahas tentang ini lagi. Aku sudah memutuskan apa yang akan aku lakukan."
Bu Tamara menghela napas berat. "Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Ibu tidak akan membahas tentang hubunganmu dan Naysila lagi. Tapi perlu kamu tahu satu hal, ibu masih berharap kalian bisa bersama dan merajut cinta yang indah dengan awal yang baik."
Alden tak menjawab. Ia hanya diam menunduk dengan tatapan kosong.
Bu Tamara bangkit dari duduknya dan mengusap kepala Alden. "Ibu keluar ya. Kamu istirahat saja."
Alden mengangguk pelan.
Akhirnya, Bu Tamara keluar dari kamar Alden dan menutup pintunya seperti semula.
Alden masih pada posisinya, tidak bergerak sama sekali bak patung, terbenam dalam diamnya sendiri. Hatinya bergolak, campuran antara lega, rindu, dan rasa bersalah yang sulit diuraikan dengan kata-kata. Matanya kemudian menatap langit-langit kamar, mencoba menenangkan pikirannya yang tak kunjung tenang.
*****