NovelToon NovelToon
FORBIDDEN PASSION

FORBIDDEN PASSION

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Konflik etika / Cinta Terlarang / Barat
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Lyraastra

Juru masak di bistro bernama Ruby River yang diminta bekerja di mansion milik keluarga kaya. Di mansion mewah itu, Ruby bertemu dengan pria dingin, arogan, dan perfeksionis bernama Rhys Maz Throne, serta si tengil dan rebel, Zade Throne. Zade jatuh hati pada Ruby pada pandangan pertama. Rhys, yang selalu menjunjung tinggi kesetaraan dan menganggap hubungan mereka tidak pantas, berupaya keras memisahkan Ruby dari adiknya. Ironisnya, usaha Rhys justru berbuah bumerang; ia sendiri tanpa sadar jatuh cinta pada Ruby, menciptakan konflik batin yang rumit.


Perasaan Rhys semakin rumit karena sifatnya yang keras kepala dan keengganannya mengakui perasaannya sendiri. Sementara itu, Ruby harus menghadapi dua pria dengan kepribadian yang sangat berbeda, masing-masing menawarkan cinta dengan cara mereka sendiri. Di tengah dilema ini, Ruby harus memilih: mengikuti kata hatinya dan menerima cinta salah satu dari mereka, atau menjaga harga dirinya dan memendam cintanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyraastra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

JERAT DI MEJA BAR

Sebotol wiski setengah penuh menemani Rhys yang duduk termenung di meja bar dapur, cahaya temaram lampu menerangi wajah mempesonanya yang tampak kacau, tidak serapi biasanya. Tidak ada dasi yang melilit leher dengan sempurna, kemeja putih yang kusut, dan rambut tidak tertata rapi, jatuh beberapa helai menutupi dahi hingga matanya.

Telinganya menangkap suara samar. Langkah kaki pelan membuatnya mengangkat kepala. Tatapannya kemudian mengikuti sosok Ruby yang berdiri di ambang pintu dapur, terpaku dan terkejut. Detik-detik berlalu dalam keheningan, Ruby terlihat gelisah, tampaknya ia ingin mundur perlahan, menghilang dari hadapan Rhys.

Rhys tak berekspresi, ia mengangkat gelasnya, wiski ambar bergoyang mengikuti gerakan tangannya. "Mencari sesuatu?" ucapnya memberat.

"Aku... aku hanya ingin mengambil air dingin, Tuan." Ruby memberanikan diri melangkah, tanpa menoleh pada si pemilik mata tajam itu.

Rhys diam, matanya mengikuti setiap gerakan Ruby seperti bayangan yang melekat. Tangan Ruby, sedikit gemetar, meraih gagang pintu kulkas. Bunyi klik pelan saat pintu terbuka memecah keheningan, mengungkapkan cahaya putih yang menyilaukan, dan siluet samar, menonjolkan lekuk tubuhnya yang sekal dalam balutan gaun sederhana. Ia bisa merasakan tatapan Rhys membakar punggungnya, berat dan tak terelakkan. Ia tutup kembali pintu lemari es itu.

Ruby mengintip dari ekor matanya. Rhys tak lagi menatapnya. Pria yang masih menggunakan kemeja putih itu tampak memijat kepala, dan tetap mempertahankan gelas kecil di tangannya.

Tampak lelah sekali.

Ia terdiam sesaat. Kemudian menuju rak dinding, mengambil kotak teh chamomile dan cangkir dari lemari. Air mendidih sudah tersedia di teko. Dengan hati-hati, dan berusaha untuk tidak menimbulkan suara berisik. Ia membuat teh yang katanya bisa memenangkan pikiran dan tubuh lelah.

Saat Ruby mendekat ke meja bar, Rhys masih di posisi duduk yang sama. Ruby menyodorkan cangkir teh chamomile di sebelah tangan Rhys yang terkulai di atas meja. "Teh panas," katanya pelan. "Mungkin bisa membantu, Tuan."

"Aku tak menyukai teh," jawab Rhys datar. Ia bahkan tak repot-repot melirik cangkir teh itu, tatapannya tetap terpaku pada gelas minumannya yang hampir kosong.

"Tapi teh Chamomile jauh lebih sehat, dan membantu tubuh Anda pulih dari kelelahan dibandingkan alkohol."

"Kau tak mengerti apa yang aku ucapkan?" Rhys menyela, nada suaranya berubah tajam. Dan itu berhasil membuat nyali Ruby menciut.

"B—baiklah."

Ruby mundur pelahan. Ia merasa telah melakukan kesalahan, tindakannya mungkin terlalu lancang. Ia hendak berbalik, namun suara Rhys menghentikannya.

"Duduklah, temani aku di sini," ucap pria itu, menunjuk kursi bar di sampingnya.

Ruby ragu sejenak. Kemudian, dengan langkah kecil, ia duduk di kursi bar, jaraknya terbilang jauh dengan kursi Rhys. Aroma wiski menyatu dengan aroma lain yang lebih tajam, membuatnya sedikit tidak nyaman. Rhys menatapnya, tatapannya seperti pisau yang menusuk, menembus lapisan pertahanan yang rapuh.

"Tidak menyukai aroma alkohol?"

Ia enggan mengangguk, namun Rhys paham akan diamnya.

Mengalah. Rhys singkirkan gelas dan botol wiski ke tepi meja bar samping tubuhnya. Aroma alkohol yang menyengat sedikit mereda, digantikan oleh aroma parfum Rhys yang lebih kuat, lebih mendominasi. Keheningan turun kembali, lebih berat daripada sebelumnya. Dan bagi Ruby, duduk bersebelahan dengan Rhys malam-malam seperti ini, jauh lebih menakutkan daripada berhadapan dengan Clarissa yang mengamuk. Pria itu diam, tak melakukan apapun, tapi auranya berbeda; Ruby bisa merasakan itu.

"Biasanya, wanita-wanita menggodaku sampai aku bosan. Kau bahkan tidak berani menatap mataku. Apa aku terlalu menakutkan bagimu?"

Ruby menelan ludah, tangannya mengepal di atas pangkuannya. "Aku tidak mengerti apa yang Anda maksud?"

"Jangan berpura-pura bodoh," lontar Rhys, suaranya lebih lembut, namun tetap mengandung hawa panas. "Kau tahu persis apa yang kumaksud. Kau takut padaku. Dan jujur saja... itu menarik."

Kata-kata pria itu mengenai kesadaran Ruby. Ruby terkesiap, matanya membulat tidak menyangka akan secara gamblang mengakui bahwa sadar dengan ketakutannya. Bukan hanya menyadari, tetapi juga menikmati ketakutan itu.

Apakah itu efek alkohol?

Ia mengangkat kepala, dan didetik berikutnya, tatapannya bertemu dengan tatapan tajam Rhys.

"A-anda... mabuk."

Tersenyum tipis, sebuah lengkungan bibir yang mampu membuat Ruby tak bisa bernafas. "Mabuk? Mungkin. Tapi, aku tak pernah bermain-main dengan ucapanku."

Ruby terkesiap. "Anda... menakutkan, Tuan. Dan menurutku, itu sangat aneh di ucapkan olehmu."

"Oh, menakutkan, ya?" Rhys tertawa kecil. "Itu hanya salah satu sisi dariku. Aku punya banyak sisi lain yang jauh lebih menakutkan. Kau ingin merasakan betapa menakutkanku, bukan?"

"T-tidak, Tuan. Aku tidak ingin."

"Bukankah kau sudah terbiasa dengan seseorang yang menakutkan? Seperti pamanmu, misalnya?"

"Apa yang Anda tahu tentang pamanku, Tuan Rhys yang terhormat?" Ruby bertanya, suaranya sedikit lebih tegas, namun di baliknya tersimpan kepanikan yang terselubung.

"Aku tahu banyak hal tentang pamanmu,

hal-hal yang bahkan kau sendiri mungkin tak sepenuhnya tahu. Hal-hal yang akan membuatmu bergidik ngeri." Rhys menatap mata Ruby dengan intens. Ia menekan setiap kata yang terlontar dari mulutnya.

"Tuan memiliki hubungan dekat dengan pamanku?"

"Hubungan dekat? Jangan konyol. Aku tidak bergaul dengan sampah." Kata-kata Rhys terlontar dengan tenang, namun berefek besar bagi Ruby. Bahkan Ruby bungkam cukup lama, tertohok atau entahlah...

"Pamanmu, pria yang sekarang mendekam di penjara karena membunuh seorang wanita murahan—jalang, sebut saja begitu—aku tahu detailnya. Aku tahu bagaimana dia mengeksekusinya, dan bagaimana dia mencoba menutupi jejaknya, walaupun gagal," sambung Rhys. Kemudian, ia menyesap minumannya, gerakan yang tampak begitu santai, kontras dengan beratnya informasi yang baru saja ia lontarkan.

"Bagaimana… bagaimana Anda bisa tahu semua itu? Bahkan sidangnya saja belum terjadi." Suara Ruby bergetar.

"Aku memiliki mata dan telinga di mana-mana. Dan beberapa orang lebih suka berbicara ketika mereka merasa terpojok. Lagipula, di dunia ini, tidak ada rahasia yang benar-benar aman."

Kata-kata Rhys bergema di benak Ruby. Ia merasakan hawa dingin menusuk tulang punggungnya, bukan hanya karena suhu ruangan, tetapi juga karena rasa takut yang menggigit. Menunduk, jari-jarinya meremas kain gaunnya dengan erat.

Seringai tipis tak pudar dari sudut bibir Rhys, dan mata yang tak lepas pada sosok wanita kecil di sampingnya. Secercah hiburan aneh melintas di wajahnya; ketakutan Ruby, kerentanannya, adalah sesuatu yang menarik baginya. Lipatan tangannya terbuka, meraih gelas wiski yang hampir kosong, isinya hanya tersisa sedikit cairan ambar pekat. Ia berikan tepat di depan wajah Ruby, sedikit menekankan gelas itu, seolah memberi pilihan yang sangat terbatas. Sedangkan si wanita hanya menatap kosong.

"Minumlah, ini akan menenangkan pikiranmu."

"Aku tidak minum alkohol, Tuan. Aku juga tidak menyukai aromanya."

Rhys mendesah, sebuah suara yang terdengar lebih seperti geraman ketidaksukaan. Ia meletakkan gelas itu kembali ke tempatnya. "Rasanya tidak menyeramkan. Jika kau menolak mencobanya hanya karena aromanya yang pekat, tutup hidungmu."

"Maaf, aku tidak bisa..."

"Minum," perintah Rhys, suaranya tak lagi berupa ajakan. Ia mengangkat gelas itu kembali, mendekatkannya ke bibir Ruby dengan paksa. "Seteguk kecil ini akan jauh lebih menenangkanmu."

Sejak gelas wiski itu mendekat, nafas Ruby terasa tercekat. Dengan gerakan lambat dan kaku, Ruby menjangkau gelas wiski itu dari Rhys. Tangannya gemetar, namun ia tak bisa menolak. Akan jauh lebih baik menenggak wiski daripada Rhys terus memaksanya, pikirnya. Ia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Kemudian, dengan terpaksa, bibirnya menyentuh bibir gelas, meneguk sedikit isi di dalamnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!