Di balik nama Alysa Kirana Putri, tersembunyi tiga kepribadian yang mencerminkan luka dan pencariannya akan kebebasan. Siapakah "Putri," anak ceria yang selalu tersenyum, namun menyembunyikan ribuan cerita tak terucapkan? Apa yang disembunyikan "Kirana," sosok pemberontak yang melawan bukan untuk menang, tetapi untuk bertahan dari tekanan? Dan bagaimana "Alysa," jiwa yang diam, berjalan dalam bayang-bayang dan bisu menghadapi dunia yang tak pernah memberinya ruang?
Ketika tuntutan orang tua, perundungan, dan trauma menguasai hidupnya, Alysa menghadapi teka-teki terbesar: apakah ia mampu keluar dari kepompong harapan dan luka menjadi kupu-kupu yang bebas? Atau akankah ia tetap terjebak dalam tekanan yang terus menjeratnya? Semua jawabannya tersembunyi dalam jejak langkah hidupnya, di antara tiga kepribadian yang saling bertaut namun tak pernah menyatu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garni Bee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Si perusuh
Hari ujian komputer tiba. Semua siswa kelas 8 digabung dalam satu ruangan besar. Aku duduk di tengah, di antara Rindi di sebelah kanan dan Alif di sebelah kiri.
Aku mengenal nama Alif, tapi kami tidak dekat. Dia bukan tipe orang yang menarik perhatianku, dan aku yakin aku juga bukan seseorang yang menarik perhatiannya—setidaknya itulah yang kupikirkan.
Sampai dia mulai mencoba mendekat.
...
Ujian baru saja dimulai ketika aku merasakan kursiku terdorong sedikit ke samping. Aku melirik ke kiri.
Alif.
Dia tersenyum santai. "Eh, Alysa. Susah, ya? Bagi jawaban dong."
Aku mengabaikannya dan kembali fokus pada layar komputerk, tapi dia tidak menyerah.
"Ayolah, kita kan temen," katanya, dengan nada yang dibuat ramah.
Aku menghela napas. "Kita nggak kenal dekat."
"Tapi sekarang udah kenal, kan?" Dia terkekeh, jelas mencoba mencairkan suasana.
Aku mengetik jawabanku tanpa menghiraukannya. Tapi kemudian, dia mendorong kursiku sedikit lebih dekat ke kursinya.
Aku langsung menjauh. "Jangan ganggu aku."
Tapi dia malah menepuk pundakku.
"Hei, Alysa. Alysaa.."
"Cuek banget jadi cewe, liat aku bentaran ngapa."
Aku terlonjak. "Alif, diam!" suaraku sedikit lebih keras dari yang seharusnya. Beberapa siswa di sekitar menoleh, tapi Alif masih terlihat santai.
Aku sudah muak. Tanpa ragu, aku mengangkat tangan dan memanggil petugas ujian.
"Pak, saya mau lapor. Alif dari tadi ganggu saya."
Alif langsung terdiam. Beberapa siswa lain mulai berbisik-bisik. Petugas ujian menatapnya tajam sebelum memperingatkannya untuk fokus pada pekerjaannya sendiri.
Setidaknya, untuk sisa waktu ujian itu, dia tidak berani menyentuh kursiku lagi.
...
Tapi keesokan harinya, dia tetap menggangguku.
Dia mencoba berbasa-basi, mencari-cari kesempatan untuk menyontek lagi. Aku muak.
Akhirnya, aku memberikan jawaban yang salah padanya.
Aku tidak peduli jika dia marah. Aku tidak peduli jika dia sadar bahwa aku sengaja menjebaknya.
Aku hanya ingin dia berhenti.
Dan saat ujian berakhir, aku berpikir bahwa semua ini akhirnya selesai.
...
Hari itu, suasana sekolah lebih ramai dari biasanya. Aku baru saja keluar kelas ketika kudengar suara sorakan dari arah kelas sebelah.
Aku tidak peduli. Aku hanya ingin pulang.
Tapi saat aku dan teman-teman sekelasku berjalan melewati mereka, seorang laki-laki keluar dari kerumunan, menatapku dengan senyum penuh arti.
"Heh, kamu disukain sama Alif."
Aku langsung berhenti.
Seketika, semua orang menoleh ke arahku.
Sorakan langsung menggema.
"Waaaah, Alysa, cieee!"
"Akhirnya cewek cupu ada yang suka, nih!"
"Kenapa nggak ditembak sekalian aja sih, ih?"
Aku berdiri kaku. Tapi mereka tidak berhenti di situ.
"Mungkin si Alif malu ditolak lagi, kayak ehem, si Ardi kemarin itu loh, hahahaha!"
Tawa mereka memenuhi lorong.
"Ih, Alysa, samper dong sana!"
Tanganku mengepal. Aku bisa merasakan panas menjalar ke seluruh tubuhku.
Aku menoleh ke mereka, suaraku dingin. "Apaan lagi, sih? Aku nggak kenal Alif dan aku sama sekali nggak minat kenal sama dia!"
Tapi mereka tetap tertawa.
"Yah, Alif kecewa tuh pasti di-PHP-in."
"Ih, nggak asik, Alysa!"
Aku ingin pergi. Aku ingin menjauh dari semua ini.
Tapi saat aku menunggu jemputan di gerbang sekolah, seseorang berdiri di dekat sana.
Alif.
Dia melihatku, ragu-ragu, seolah ingin menghampiriku.
Tapi sebelum dia bisa bicara, aku menatapnya tajam.
"Stop di situ!" suaraku tegas.
Alif terdiam.
"Bagi aku, kamu itu cuma cowok rusuh yang selalu minta contekan ke aku pas ujian. Nggak lebih. Jadi stop ganggu aku!"
Aku melihat bagaimana ekspresinya berubah, tapi aku tidak peduli.
Aku sudah cukup lelah dengan semua ini.
Ahirnya papahku datang menjemputku.
"Siapa cowo itu? Temen?" Papahku bertanya dengan penekanan.
Aku masih kesal, aku menjawab pertanyaan dengan singkat, "Bukan. Cowo gajelas itu."