FORBIDDEN PASSION
...Warning⚠️...
Cerita ini berbau dewasa, alkohol, umpatan kasar, ataupun kekerasan. Jadi, bijaklah dalam memilih bacaan.
...18+...
...Forbidden passion...
...•••••••••••••••...
Founder dengan reputasi yang berbahaya. Penuh intrik, arogan, kharismatik dan dominan. Dialah sosok rupawan yang tak mampu dijabarkan dengan beberapa kata. Sosok yang tak dapat dikendalikan oleh siapapun. Dia adalah—Rhys maz Throne.
Ruby River, wanita ber iris biru yang menjadikan kesederhanaan sebagai perisainya. Luka-luka yang membentuknya, baik dimasa kelam, menjadikannya lebih kuat dan dewasa tanpa adanya peran. Sebagai juru masak, ia menuangkan jiwa dan pengalamannya ke dalam setiap sajian, sebuah seni yang mencerminkan kedewasaan yang telah ia tempa.
Pria muda, tengil penuh pesona. Menginginkan jiwa bebas, tak suka dikekang. Masa mudanya dihabiskan balapan liar dan mabuk. Walaupun dipandang negatif, Zade Throne sangat setia dengan mencintai satu wanita, yaitu pujaan hatinya.
...Happy Reading🍡🙌🏻...
...-------------------...
Loop, Chicago, Amerika Serikat.
Hujan deras mengguyur pusat kota Chicago tanpa henti. Gedung-gedung pencakar langit, dari Willis Tower yang menjulang hingga Millennium Park yang tenang, mengelilingi bistro mungil itu—sebuah oase ketenangan di tengah kesibukan kota. Atap bistro tua, berderak menahan gempuran air hujan, menciptakan irama yang selaras dengan alunan musik jazz lembut dari dalam. Seorang wanita muda, payung merah cerahnya kontras dengan langit kelabu, memasuki bistro melalui pintu belakang, menepis buih air hujan dari rambut pirangnya yang berkilau.
Marie, wanita prancis dan juga pemilik bistro tersentak karena kedatangan wanita berambut pirang itu. "Ternyata kau...kukira perampok yang ingin mencuri resepku," selorohnya bersama senyum tipis diwajah khas kaukasianya.
Wanita itu terkekeh ringan, masih melanjutkan acara mengeringkan rambutnya dengan handuk. "Apa aku terlihat seperti perampok di matamu?"
"Ah, tentu tidak. Mana mungkin wanita secantik dirimu kuanggap sebagai perampok, mustahil sekali." Marie kian mendekat, menaruh lengannya pada lingkaran leher si wanita seakan ingin mencekik. Sedikit didoronglah tubuhnya, namun dia semakin menghimpit jarak. "Hey... aku hanya ingin bertanya, bagaimana? Sudah mendapatkan kerja sampingan?"
Ruby River, ia melepaskan handuk basah dari rambut pirangnya, dan diletakkan pada lengan Mirae dengan lesu, seakan tak berdaya. Namun, handuk itu kembali di lempar asal oleh Marie, terjuntai tak menentu di rak besi, nyaris jatuh.
Pupil mata hitam Ruby terbenam dalam iris biru muda yang sedikit abu-abu terang. Cahaya yang mengenai matanya membuatnya berkilauan, namun kini kilauan itu meredup seiring gelengan lemah.
Dan Marie memahami meski tak sepatah kata pun terucap. Menepuk lembut bahu kecil itu, bersama senyum yang tulus. "Tak apa, kau pasti akan mendapatkannya nanti. Fokus saja bekerja denganku, aku akan sedikit berbaik hati memberikanmu gaji lebih. Bagaimana?" Tawarnya menambahi.
"Pekerjamu bukan hanya aku. Jika dengan memberikan gaji lebih, sikapmu terlihat tidak adil, walaupun niatmu sangat baik. Aku tak mau, kau juga terlalu banyak membantuku, jadi tak perlu dengan hal seperti itu."
Marie berdecak pasrah. "Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang untuk membantumu?" Tak ingin menentang keputusan Ruby.
"Aku hanya perlu kerja tambahan saja, dengan itu aku bisa menabung walaupun sedikit. Apalagi pamanku akhir-akhir ini terus meminta uang lebih setiap harinya. Aku sampai tak habis pikir, apa yang dilakukan paman di luar sana."
"Berjudi dan mabuk, itulah pekerjaannya bukan?"
Ruby tersenyum kecut. Mengangguk, membenarkan ucapan Marie. "Tapi...sikap paman semakin berbeda dari biasanya. Bahkan akhir-akhir ini paman dan bibi terus bertengkar."
"Hey, pagi-pagi sudah mengobrol, apa yang kalian bicarakan, huh?"
Seorang wanita berambut keriting dengan jaket kulit memasuki dapur kotor melalui pintu belakang, yang sebelumnya juga di lalui oleh Ruby. Ya, pintu belakang memang sering digunakan sebagai akses bagi para pekerja, berbeda dengan pintu depan yang baru dibuka saat bistro siap melayani. Setelah meletakkan tas jinjing dan payung hitamnya, wanita bernama Megan itu mendekat, bergabung dengan dua orang yang sebelumnya larut dalam obrolan serius.
"Siapa lagi jika bukan paman si pirang ini." Marie menyahut, menatap sekilas Ruby, dan kembali fokus pada Megan.
"Huft...orang berengsek itu. Apa yang dia kembali lakukan padamu?"
"Meminta uang dan dihambur-hamburkan, itulah yang selalu manusia itu lakukan." Bukan Ruby yang menjawab, melainkan Marie. Anggap saja ia mewakili Ruby untuk menjelaskan segala kejelekan paman dan bibinya itu.
"Rakus akan uang tapi tidak mau bekerja, sungguh manusia yang menjijikkan."
"Lebih tepatnya manusia parasit," timpal Marie membenarkan. Tak ada keraguan di dirinya saat mengucapkan kata itu.
Megan menjentikkan jarinya di udara. "Ya, benar. Sejenis parasit yang harus dimusnahkan di muka bumi ini."
Di dekat lemari pendingin lah mereka berdiri, lebih tepatnya Ruby yang bisa saja bersandar kalau memang ingin. Memainkan sejenis alat termometer, sementara pandangannya secara berganti memperhatikan Marie dan Megan yang membicarakan pamannya itu.
"Kita berdua terlalu lancang mencaci pamannya, lihatlah dia seperti tidak nyaman dengan ucapan kita."
"Kau benar," balas Megan setelah menilik wajah wanita di dekatnya.
Ruby tersindir, seketika jemari yang memainkan termometer daging, terhenti. "Ya...tentu saja. Bagaimana pun buruknya, dia tetap paman dan adik brengsek ibuku."
"Aku tak akan menyangkalmu, tapi kau setuju dengan kita, bukan?"
Perlahan Ruby mengangguk, mengiyakan ucapan Megan.
Melihat kepasrahan wajah lugu itu, Marie dan Megan menepuk pelan bahu Ruby, secara bersamaan. Mereka bertiga sudah bersahabat cukup lama, mungkin...sekitar tiga tahun. Jadi, wajar saja ada rasa iba pada sahabatnya.
"Maafkan kita yang terlalu berlebihan padamu."
Obrolan terus berlanjut, malahan merembet ke topik lain. Yang tadinya membahas Bibi dan Paman Ruby, kini beralih ke berita panas yang menggemparkan media nasional pagi tadi. Karena Ruby tak tahu apa yang Megan dan Marie bicarakan, jadi Ruby sesekali menimpali, lebih tepatnya bertanya.
Siang hari semakin dekat, dan para pekerja berdatangan satu per satu. Karena sebagian besar pekerja di bistro Marie adalah wanita, tak heran jika saat bekerja pun mereka terkadang bergosip. Namun, tenang saja, makanan yang disajikan tetap terjamin kebersihan dan rasanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments