Perjalanan hidup sebuah nyawa yang awalnya tidak diinginkan, tapi akhirnya ada yang merawatnya. Sayang, nyawa ini bahkan tidak berterimakasih, malah semakin menjadi-jadi. NPD biang kerok nya, tapi kelabilan jiwa juga mempengaruhinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmanthus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Emosi
"Kamu tahu kenapa ayah panggil?" tanya pak Guntur lagi.
"Tidak ayah" jawab Nita seakan lupa dengan kejadian di sekolah tadi pagi.
"Tidak tahu? Kamu yakin?" ulang pak Guntur lagi dengan menekan nada suaranya semakin rendah tapi penuh tekanan kemarahan.
"Ta....tau ayah." Nita tergagap dan menggigil ketakutan karena dia tau bagaimana ayahnya marah.
"Kenapa kamu jual mainan itu?" selidik pak Guntur
"Karena mainan itu sudah lama ayah, Nita juga tidak mau main lagi" ujar. Nita berusaha membela dirinya dengan pemahaman bahwa dia memang benar.
"Jadi kalau tidak mau lalu dijual? Memangnya mainan itu tidak dibeli dengan uang? Kamu pikir gampang membeli mainan itu?" cecar pak Guntur dengan nada suara nya naik 1 oktaf dari sebelumnya.
"Ti...tidak ayah. Ibu dan ayah bekerja keras mengumpulkan uang" jawab Nita cepat dia mulai berkeringat dingin, takut ayah nya marah besar.
"Lalu kemana pergi uang itu?" tanya pak Guntur kembali dengan nada suara yang masih sama. Seakan bersiap untuk meledak menjadi raungan amarah.
"Ni...nita belanjakan ayah" Nita menjawab sembari menutup matanya karena takut amarah ayahnya meledak.
"APA?????" pak Guntur meledak penuh dengan amarah.
"Dasar....anak.....aaaarrrghhhh" pak Guntur menghantam meja di sampingnya dengan telapak tangannya yang besar membuat suara yang sangat keras sehingga Nita dan bu Tere terlonjak kaget.
Joni dan Doni juga kaget dan melihat keluar dari dalam kamar mereka. Tapi melihat situasi Nita yang meringkuk duduk di depan ayah mereka, mereka memilih kembali ke kamar dan menutup pintu serta bersembunyi di dalam selimut. Tidak baik jika ayah melihat mereka belum tidur.
"Sayang...jangan marah...sabar, tahan sedikit emosi mu. Jangan sampai keluar kalimat tidak bagus" bu Tere panik dan cemas, dia takut pak Guntur keceplosan.
"Siapa yang mengajari mu ini?" hardik pak Guntur lagi, sehingga membuat Nita terlonjak kaget.
"Tidak ada ayah, hanya aku saja yang berinisiatif", Nita mulai menangis.
"Tidak perlu menangis!!" bentak pak Guntur lagi.
"Hapus airmata mu itu!!!" hardiknya hingga membuat wajahnya memerah.
"Ayah tidak pernah mendidik kalian berbeda. Apalagi mengajarkan hal tidak benar begini. Apa ibumu yang mengajari?" cecar pak Guntur dengan mata nya yang seakan berubah menjadi merah menyala saking emosinya.
"Tidak ayah, Nita yang berinisiatif jualan mainan itu ayah. Tapi Nita tidak tahu bahwa ayah bakalan marah" jawab Nita kembali membela diri.
"Nita hanya pikir bahwa ini kan mainan Nita, ya suka-suka Nita donk mau dibuat jadi apa kek, mau dijual kek." dia kembali membela dirinya sendiri.
"Kamu masih tidak sadar salahmu apa? Sehingga ayah marah besar begini? Dan masih berasa benar? Bahkan tidak meminta maaf?" emosi pak Guntur benar-benar sudah sampai di ubun-ubun.
"Aa...ampun ayah." Nita kembali terisak.
"Nita kan tidak tahu itu tidak boleh." jawab nya lagi.
"Sebelum kamu menjualnya, ada kamu minta izin sama ibu?" gerutu pak Guntur
"Ngga ada ayah, kan itu punya Nita." jawab Nita cepat berharap dia tidak disalahkan lagi.
"Ya ampun, ini anak benar-benar luar biasa. Dengar ya, apapun barang mu, itu semua pemberian orang tua. Meskipun jelek, mau dibuang atau di eri ke orang lain, tetap atas izin orangtua." jawab pak Guntur lagi.
"Tidak ada istilah punya aku. Selama kami yang membelikan, maka kamu harus bertanya dulu. Daripada mainan itu dijual, kan bisa dikasih ke saudara. Ini uangnya juga tidak kelihatan karena kamu belanjakan. Mau jadi apa kamu kalau dibiarkan terus begini?" pak Guntur melirik bu Tere dengan tajam dan bu Tere hanya bisa menunduk diam membisu.
"Ingat Tere, jika ada masalah apapun, jangan coba-coba sembunyikan dariku. Aku selalu terbuka dalam keluarga dan aku mengharapkan perilaku yang sama dari kamu istriku." pak Guntur mengeluarkan titah yang tidak bisa dibantah.
"Kamu sebagai anak, harusnya patuh mendengar ajaran orangtua. Bukannya malah selalu merasa benar. Jika barang di rumah ini sudah jelek, jangan-jangan nanti juga kamu jual." pak Guntur sedikit mencemooh kelakuan Nita.
"Bukan uang haram yang aku berikan untuk kalian, uang halal hasil keringatku, demikian juga ibumu. Tapi kelakuan mu yang begini, seakan uang pencarian kami adalah uang tidak bersih." pak Guntur meremas kepalanya yang sakit karena marah tadi.
"Aa...ampun ayah, Nita janji tidak buat lagi." jawab Nita cepat.
"Besok kau datangi teman-teman yang membeli mainan, kembalikan uang mereka dan ambil kembali mainan itu. Semua uang yang dibayarkan lagi, dipotong dari uang jajan mu. Tere, catat siapa saja yang beli, mainan yang dibeli dan berapa mereka bayar." perintah pak Guntur.
"Baik sayang, besok aku ke sekolah akan mencatat semuanya." jawan Bu Tere cepat, berharap emosi suaminya mereda.
"Hukuman mu Nita, tidak ada jajan. Lalu tidak dibelikan mainan baru selama setengah tahun" ujar pak Guntur dingin.
"Sekarang basuh muka mu, dan pergi tidur" lanjut pak Guntur.
Nita langsung kabur dari kursinya tanpa pamit dan pergi ke kamar mandi, dia membasuh mukanya dan langsung masuk kamar. Terdengar suara bantingan pintu kamar tanda dia kesal.
"Anak itu benar-benar tidak ada sopan santun nya." geram pak Guntur.
"Sudahlah sayang, dia juga mungkin kesal karena dia merasa tidak bersalah." bela bu Tere sembari memijit kepala pak Guntur yang sakit karena emosi tadi.
"Tidak salah? Itu kan salah perbuatan dia itu Tere!" tekan pak Guntur lagi.
"Sudah-sudah, kan kamu sudah marahin dia. Sekarang tenangkan hati dan pikiran." tepuk bu Tere di pundak pak Guntur sembari memijit pundak dan lanjut lagi ke kepala pak Guntur.
"Kamu terlalu memanjakan dia, jangan kaget kalau nanti dia tumbuh besar kepala dan kelakuannya makin parah." kesal pak Guntur.
"Ngga kok, aku kan hanya membela kalau dia tidak salah. Lagian ini kesalahan kecil, juga karena dia tidak tahu saja. Kalau dia tahu pasti tidak dibuat lagi seperti itu." bu Tere berusaha menenangkan pak Guntur.
"Terserah kamu Tere, tapi jangan sampai menyesal nantinya kalau nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya ingin kamu bahagia, bukan menderita. Apalagi aku sudah berjanji akan selalu membuat kamu bahagia tanpa memberikan masalah" jelas pak Guntur.
"Ya sayang, sekarang aku bahagia kok. Malah semakin bertambah bahagianya." jelas bu Tere lagi dengan lembut.
"Ingat Tere, manusia boleh berencana dan berusaha sampai titik darah penghabisan. Tapi tetap Tuhan yang menentukan" pak Guntur menjawab dengan dingin.
Bu Tere tersentak dan terdiam. Tapi dia cepat kembali menyadarkan dirinya dan menepis semua hal buruk yang sempat melintas di kepala nya.
"Ya, aku paham sayang" jawab bu Tere memaksakan tersenyum.
Dia sadar, bisa saja hal buruk yang terjadi sebelumnya akan kembali terjadi di masa depan. Tapi dia tetap berharap Tuhan mengasihani mereka.