Tujuh murid Seoryeong Academy terpaksa menjalani detention di hari libur setelah membuat onar di sekolah. Park Jiha, si cewek populer yang semua orang iri. Kim Taera, cewek beprestasi yang sempat jadi primadona namun berakhir difitnah dan dikucilkan. Jeon Junseok, murid bandel kesayangan Guru BK. Kim Haekyung, atlet kebanggaan yang selalu terlihat ceria. Min Yoohan, tukang tidur yang nyaris tidak pernah peduli. Serta Kim Namgil & Park Sojin, Ketua Kelas dan murid teladan yang diam-diam suka bolos demi mojok (pacaran).
Mereka mengira hanya perlu duduk diam beberapa jam, menunggu hukuman selesai. Tapi semua berubah saat seseorang mengunci mereka di gedung sekolah yang sepi.
Pintu dan jendela tak bisa dibuka. Cahaya mati. Telepon tak berfungsi. Dan kemudian… sesuatu mulai mengawasi mereka dari bayang-bayang. Tujuh bocah berisik terpaksa bekerja sama mencari jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mara Rainey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6 : Once Upon A Dream
#Flashback Tahun 1985#
Dongwon gemetaran, mencengkram kuat-kuat kain celana di lututnya.
Dar! Seseorang berteriak.
Ini tidak mungkin terjadi.
Darr! Suara jeritan lagi.
Kenapa bisa begini?
Ya Tuhan. Bunyi tembakan semakin dekat.
Masih gemetaran, Dongwon menarik napas. Dia tidak bisa melakukan apa pun. Ada suara dengung samar di kepalanya.
Dongwon mendengar seseorang merintih. Indranya menjerit, bulu-bulu di leher dan lengannya berdiri. Dia mendengar suara tembakan dan jeritan lagi. Disusul teriakan para guru yang berlarian di lorong.
Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Apa yang bisa dia lakukan? Dia tidak punya apa-apa. Dongwon gemetaran. Semuanya menjadi kabur, dia tidak bisa-
Jantung Dongwon berdetak kencang, dia mencoba untuk menjaga napas tetap tenang. Jantungnya masih bergetar keras. Dia duduk dengan lutut menempel ke dada, kepala bersandar pada permukaan dinding yang dingin di belakangnya. Air matanya mengalir dari sudut mata. Sumpah, dia ingin berada di mana saja kecuali di sini. Di mana saja kecuali meringkuk di lantai bilik ruang ganti yang kotor. Meski dia mendengar langkah kaki di luar perlahan-lahan memudar, Dongwon tetap tidak berani bergerak.
Para pria bersenjata itu masih mondar-mandir di lorong sekolah.
Ya Tuhan, mereka akan menemukanku... mereka akan menemukanku...
Sekarang dia sendirian, meringkuk di ruangan sempit menunggu si pembunuh menemukannya.
Seolah membenarkan asumsi negatifnya, langkah kaki terdengar di luar pintu. Dongwon mengatupkan tangan ke mulutnya untuk meredam isak tangis yang berusaha lolos. Ya Tuhan, dia akan mati, dia akan mati bahkan sebelum dia menginjak usia tujuh belas... dia bahkan belum tahu dia mau jadi apa besok, lalu kawanan pria bersenjata datang seenaknya merenggut semua impian dan harapan.
Langkah kaki semakin dekat, lalu pintu kamar mandi terbuka. Dongwon tersentak, menggigil, memejamkan matanya, siap menerima takdir.
Alih-alih tembakan, dia mendengar bisikan.
"Hei, ada orang di sini? Dongwon? Dimana kau?"
Mata Dongwon terbuka. Dia melihat sepasang sepatu merah berhenti di luar bilik. Beberapa saat kemudian, wajah familier mengintip di celah antara bagian bawah pintu dan lantai. Mata Dongwon melebar kaget.
"Jisoo?"
"Syukurlah kau baik-baik saja," gadis manis itu tersenyum.
Dongwon mengangguk, meskipun sungguh, dia sangat tidak baik-baik saja.
Jisoo membuka pintu lalu mengulurkan tangan dengan hati-hati.
"Ayo, kita harus pergi dari sini."
"Di luar sudah aman?"
Jisoo tersenyum, senyum lemah, kurang meyakinkan. "Pertama-tama, kita harus keluar dulu dari tempat ini. Gimana? Bisakah kau melakukan itu untukku. Berdiri saja dulu."
Jisoo terus membujuk sahabat baiknya sampai cowok itu bangkit dengan kaki gemetaran. Jisoo menuntunnya keluar. Kini mereka berdua benar-benar berhadap-hadapan di ruang ganti.
"Kau tahu pintu terdekat dari toilet pria?" tanya Jisoo.
Dongwon berpikir sejenak, lalu menjawab. "Ada pintu emergency."
"Baiklah kalau begitu," Jisoo mengambil napas dalam-dalam. "Dalam hitungan tiga, kita lari sama-sama ke pintu emergency, paham?"
Dongwon mengangguk, tidak percaya diri untuk berbicara. Memang sejak dulu yang lebih berani mengambil tindakan justru cewek itu.
Jisoo menggandeng tangan Dongwon, meremasnya pelan, mencoba membagi keberanian yang dimilikinya. "Aku tidak akan melepas tanganmu. Kau juga. Janji?"
Dongwon mengangguk.
"Oke... pada hitungan ketiga. Satu dua tiga!"
Pintu kamar mandi terkuak, mereka berlari sekuat tenaga, saat itulah Dongwon mendengar suara tembakan bergema dari arah belakang.
.
.
.
Tahun 2015
DAR!
Dongwon tersentak bangun dari meja. Mengusap-usap wajahnya lalu menghembuskan napas panjang-panjang. Memijati pelipisnya yang berdenyut.
Pria ini. Pria yang sama yang pernah tertatih-tatih membopong sahabatnya keluar dari gedung. Tidak pernah melepaskan tangannya.
Kejadian pembantaian yang pernah terjadi tepat 30 tahun silam selalu terngiang-ngiang. Masih membekas segar di ingatannya seolah-olah itu baru terjadi kemarin.
Dongwon berusaha melupakan, kenangan itu terus kembali. Setiap kali dia melangkah di koridor sendirian, dia sering mendengar suara tembakan dari gedung utama. Begitu dia menoleh, tidak ada apa-apa. Sepi, hanya tampak koridor yang kosong.
Dongwon ingat pernah tersandung saat hendak menuju pintu keluar, dia ingat pergelangan tangannya berusaha memapah Jisoo keluar dari neraka, berdoa agar polisi datang tepat waktu.
Pintu berderit terbuka, terdengar sirene ambulans, darah Jisoo membasahi kemejanya.
Dongwon ingat duduk di belakang ambulans dalam keheningan. Ekspresinya kosong dengan sisa-sisa air mata mengering di wajah. Terlihat linglung, pipinya kebas setelah kecapekan menangis. Paramedis berusaha menghiburnya. Tangan Dongwon menggenggam kain celana panjangnya erat sampai buku-buku jarinya memutih. Seorang paramedis meletakkan satu tangan di punggungnya, berusaha menenangkannya.
Setelah semua yang pernah terjadi, Dongwon tetap tidak bisa meninggalkan sekolah ini. Tidak bisa. Dia sudah berjanji dengan Jisoo. Dongwon merasa harus menebus janji itu. Makanya dia belum bisa pergi. Toh, percuma saja, kemana pun Dongwon melangkah, kenangan itu tetap tinggal di kepalanya. Terus membayang-bayanginya.
Sekolah ini, tanpa embel-embel tragedi pembunuhan massal, sudah merupakan neraka. Anak-anak kaya dan populer berjaya, menindas anak-anak lemah. Banyak yang nasibnya berakhir tragis. Bunuh diri, sakit keras, depresi.
Dongwon termasuk anak yang sering ditindas. Jika kalian lihat penampilannya sekarang, kalian tidak akan percaya guru olahraga tampan, tinggi, berbadan tegap ini dulunya "kaum pinggiran". Dulu fisiknya kurus kering, sering dijadikan bulan-bulanan anak-anak lain yang memiliki fisik lebih besar dan kuat. Lalu, Jisoo pindah pada tahun pertama semester pertama. Jisoo yang cantik namun tomboy itu selalu membela Dongwon. Percikan-percikan rasa suka sempat tumbuh di antara mereka. Namun, Jisoo takut segala sesuatunya berubah jika mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Akhirnya dia tetap jadi sahabat.
Beberapa bulan bersekolah di Seoryeong Academy, tumbuh niat Jisoo untuk memperbaiki sistem sosial memuakkan di sekolah ini.
Jisoo tersenyum saat mengatakannya, Dongwon masih ingat sekali.
"Setelah lulus ayo kita sama-sama jadi guru di sini."
"Eh? Di sini? Kau yakin?"
Gadis itu melamun sebentar, memandang ke depan, kemudian menatapnya sembari tersenyum. "Pokoknya, apa pun yang terjadi, kita harus kembali ke sini."
Jisoo pergi. Dia ingkar janji.
Dongwon menghela napas. Bukan saat yang tepat untuk memerahkan mata, dia masih harus menghadapi anak-anak pelanggar aturan.
Di mata anak-anak, Kang Dongwon tampak seperti guru yang menyeramkan, tidak punya hati.
Ada empat hal yang lebih disukai Dongwon: sastra klasik, diskografi lengkap James Brown dan Frank Sinatra, serta memegang kendali. Berada dalam kendali memberinya "selimut" keamanan yang tak pernah bisa ditembus. Itu melindungi dirinya dari dunia luar. Dongwon menginginkan anak-anak ini, anak-anak yang dulunya paling dia benci, yang kebanyakan adalah anak-anak kaya yang merasa diri paling beken dan populer, untuk melihat dunia dengan pikiran terbuka.
"Dekati satu orang paling berpengaruh," kata Jisoo. "Ambil hatinya pelan-pelan."
"Susah! Kau tahu? Susah!" Dongwon berbicara pada tembok. "Anak-anak itu kelakuannya melebihi setan! Jisoo, dengar, kau tidak menghadapi mereka secara face-to-face!"
"Guru itu hebat ya? Mereka sabar menghadapi anak-anak bermasalah."
"Tidak, kau tidak tahu bagaimana rasanya menjadi guru!" sahut Dongwon, masih mengobrol dengan tembok. "Anak-anak seperti Jeon itu misalnya, bikin kepalaku mau pecah!"
"Mereka pasti telah melalui hal-hal buruk di rumah... mereka tidak mendapat kasih sayang serta didikan orang tua secara layak..."
Dongwon mengusap-usap wajah, bertapa sendirian di ruang pustakawan. Menjalani rutinitas yang sama, berbicara pada tembok sesudahnya.
Dongwon memang punya dendam pribadi dengan penindas seperti Junseok. Namun dia memilih bertahan. Karena dia yakin, dibalik sosok keras kepala itu, Junseok sebenarnya masih memiliki sisi baik. Seperti yang selalu dikatakan Jisoo. Remaja adalah makhluk paling rumit. Selama individu itu masih berwujud manusia, Jisoo selalu optimis, pasti ada cara untuk merubahnya.
"Kalau kita tidak bisa merubahnya sebagai murid, lakukan sebagai seorang guru."
.
.
Bersambung...
Kalo berkenan boleh singgah ke "Pesan Masa Lalu" dan berikan ulasan di sana🤩
Mari saling mendukung🤗
Rasanya kaya bener bener ada di sana dan ikut ngerasain apa yg tokoh tokohnya alami