Senja Maharani, seorang sekretaris muda yang cerdas, ceroboh, dan penuh warna, di bawah asuhan Sadewa Pangestu, seorang CEO yang dingin dan nyaris tak berperasaan. Hubungan kerja mereka dipenuhi dinamika unik: Maha yang selalu merasa kesal dengan sikap Sadewa yang suka menjahili, dan Sadewa yang diam-diam menikmati melihat Maha kesal.
Di balik sifat dinginnya, Sadewa ternyata memiliki sisi lain—seorang pria yang diam-diam terpesona oleh kecerdasan dan keberanian Maha. Meski ia sering menunjukkan ketidakpedulian, Sadewa sebenarnya menjadikan Maha sebagai pusat hiburannya di tengah kesibukan dunia bisnis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Emosi yang tak terkontrol.
Lamunan Maha buyar saat suara langkah mendekat. Maya, dengan langkah tegas, muncul di pintu ruangan.
“Nona, Tuan Sadewa meminta Anda untuk keruangan nya sekarang,” ujar Maya singkat.
Maha mengangguk pelan, menyingkirkan rasa ragu yang mulai merayap di hatinya. Setelah menyampaikan pesannya. Maya segera pergi tanpa basa-basi, meninggalkan Maha yang masih berdiri sejenak, merenungi langkah berikutnya.
Dengan tarikan nafas dalam, Maha merapikan dirinya dan berjalan menuju ruangan Sadewa. Hatinya bercampur aduk antara rasa penasaran dan debaran yang tidak bisa ia kendalikan.
“Sadewa kenapa nggak telpon aja, sih? Jadi apa gunanya telepon di kantor ini kalau nggak dipakai?!” Maha menggerutu pelan sambil melangkah menuju ruangan Sadewa.
Biasanya, pria itu memanggilnya melalui telepon atau pesan singkat. Tapi kali ini berbeda, dan Maha memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan hal yang tidak perlu. Yang penting sekarang, ia harus segera menemui Sadewa agar pria dengan sikap dingin itu tidak mengomelinya.
Tok! Tok! Tok!
“Masuk!” Suara Sadewa terdengar dari dalam ruangan, dingin dan tegas.
Maha menarik napas panjang sebelum mendorong kenop pintu, membuka pintu besar itu perlahan. Setiap kali ia melangkah masuk kedalam ruangan Sadewa, atmosfer di sekitarnya terasa berubah—lebih pekat dan mencekam. Ada sesuatu yang tak terdefinisi dalam ruangan itu, mungkin aura Sadewa yang selalu menekan. Maha tidak pernah benar-benar paham kenapa, tetapi setiap kali rasa itu selalu muncul, membuat jantungnya berdebar sedikit lebih kencang.
Suara heels Maha yang bergema di ruangan yang penuh nuansa hitam itu seolah menjadi dentuman keras yang memecah keheningan. Langkahnya yang menatap menarik perhatian Sadewa, yang awalnya tenggelam dalam perhatian pada ponselnya. Kini, matanya beralih, terfokus pada sosok indah yang berdiri tegak di depannya. Maha, dengan tatapan sayu yang seperti menunduk di bawah kakinya, memancarkan keanggunan yang tidak bisa disangkal.
Sadewa perlahan berdiri dari kursinya, langkahnya penuh percaya diri sambil membuka kancing jasnya, membuat suasana semakin intens.
“Apakah berbincang dengan Danu begitu menyenangkan, Maha?” suara Sadewa terdengar lembut namun penuh arti, seperti sengaja ingin menguji reaksi Maha. Dia berdiri di samping Maha, tatapannya tajam dan seringai kecil menghiasi wajahnya yang tampak tak tergoyahkan.
“Maksud Anda apa, Pak?” Jawab Maha terbata, ia tercekat. Suaranya seolah meredam ketegangan yang tiba-tiba menguar di ruangan itu. Jantungnya berdegup lebih cepat, seperti bisa merasakan ketidaknyamanan yang datang begitu mendalam.
Sadewa terkekeh, suaranya bergema seperti kehangatan yang memudar. Tanpa mengubah posisinya, ia melangkah mendekat dan duduk di meja yg hanya berjarak beberapa sentimeter di hadapan Maha.
Ruang diantara mereka terasa begitu sempit, seakan dunia hanya milik mereka berdua. Maha bisa mencium aroma parfum Sadewa yang menyelimuti udara, begitu kuat dan begitu dominan—membuatnya merasa semakin terperangkap dalam atmosfer yang penuh teka-teki ini.
“Apakah saya perlu menjelaskannya lebih rinci? Bagaimana saat Danu begitu dekat denganmu, merangkul pundak mu dengan sangat intim?” Tanya Sadewa. Matanya menatap Maha dengan tajam, tidak lepas dari sorot mata gadis itu yang terlihat tegang dan cemas.
Maha berusaha menahan diri, namun Sadewa tiba-tiba menarik tangannya, membuatnya terkejut. Tangannya terasa sakit dan ia tidak bisa menahan diri untuk meringis.
“Akh!” Maha mengeluh, merasakan sakit yang menyentak.
“Saya sudah memperingatkan mu untuk tidak dekat dengan siapapun, termasuk Danu, bukan?! Tapi kenapa kamu tidak mengindahkan ucapan saya, huh?!” Bentak Sadewa dengan suara yang penuh amarah, menatap Maha lebih dekat.
Tubuh Maha bergetar hebat, ketegangan itu hampir membuatnya kehilangan keseimbangan. Sebuah perasaan asing datang, perasaan yang membuat hatinya terasa seperti teriris. Selama ini, ia selalu merasa bebas, tapi sekarang ada perasaan yang menyesakkan.
Sadewa—memangnya dia siapa? Kenapa dia merasa berhak melarang Maha seperti ini? Apakah karena kontrak dengan kedok ‘kekasih pura-pura' yang memberikan upah kemewahan yang menjanjikan? Seharusnya, Maha merasa marah. Tapi justru ia terdiam, bahkan ia hanya menundukkan kepala dan menahan tangis yang hampir keluar.
Batin Maha bergejolak. Kenapa ia begitu terpengaruh? Kenapa ia merasa begitu bersalah meskipun jelas-jelas Sadewa telah memintanya untuk menjaga jarak dengan Danu? Ia mengingat kata-katanya sendiri yang setuju mengikuti alur Sadewa, dan kini ia merasa ada bagian dalam dirinya yang terluka. Namun, entah kenapa, ia tetap diam. Menelan semua rasa sakit itu dalam diam.
Tanpa sadar, air mata Maha mulai mengalir perlahan, menetes dari ujung matanya. Wajahnya menunduk, tidak bisa menahan kesedihan yang menghujam hatinya. Dengan tangan masih tenggelam erat oleh Sadewa, Maha hanya bisa menangis, suaranya gemetar ketika ia mengucapkan kata-kata itu.
“Maaf…” Maha terisak, suaranya lirih dan penuh ketakutan. Ia merasa terpojok, pikirannya tentang Danu terus menggelayuti benaknya.
Maha takut jika perasaan Sadewa yang semakin menguasai akan membuat pria itu melakukan hal-hal yang tidak-tidak pada Danu. Ketakutan itu seperti memakan hatinya dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk menghadapinya.
Sadewa menatap Maha, matanya melihat dengan intens bagaimana air mata Maha terus mengalir. Melihatnya seperti itu, Sadewa merasa ada sesuatu yang mengguncang dalam dirinya. Namun, ia cepat-cepat menepis perasaan itu. Tiba-tiba saja, cengkraman pada tangan Maha mengendur, ia melepaskannya perlahan.
Apa saya keterlaluan? Batin Sadewa. Ia tidak pernah berniat untuk melukai Maha, tapi entah kenapa, kontrol dirinya begitu rapuh saat berada didekat gadis ini. Rasa marah dan cemburu bercampur, membuatnya kehilangan kendali.
“Keluarlah, selesaikan pekerjaanmu.” Perintahnya dingin, mencoba menutupi rasa bersalah yang perlahan menghantuinya. Sadewa mendesah pelan, kemudian berbalik berjalan ke kursi kerjanya.
Maha menatap Sadewa dengan tatapan yang penuh air mata. Ada perasaan hampa yang menyelubungi hatinya, saat melihat Sadewa yang duduk begitu tenang di balik layar monitor, seolah tak peduli dengan kehadirannya. Ia merasa tak berarti, seperti sehelai daun yang terombang-ambing dalam angin, hilang tanpa bekas.
Maha menarik nafas dalam-dalam, mencoba menahan Isak yang hampir meluap. “Saya permisi, Pak.” Suaranya bergetar, hampir tidak terdengar sebelum ia membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan ruangan yang terasa begitu sesak.
Sadewa yang semula fokus pada layar komputernya, akhirnya mengangkat wajahnya begitu mendengar pintu ruangan tertutup rapat. Ada sesuatu dalam dirinya yang tiba-tiba terasa hampa, seolah ia baru saja kehilangan sesuatu yang penting. Matanya yang tajam memandang pintu itu, seolah mencoba menangkap bayangan Maha yang kini sudah pergi.
Dengan gemetar, Sadewa mengepalkan tangannya kuat-kuat. Rasanya sesak, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. “Apa yang sudah saya lakukan?” Gumamnya. Ia hanya berniat untuk mengingatkan Maha akan status mereka, tentang kontrak yang mengikat mereka. Namun, kenapa ia malah membuat Maha menangis? Tidak ada niat buruk dalam dirinya dan tidak ada niat untuk melukai Maha. Akan tetapi, perasaan kesal dan cemburu itu entah kenapa menguasainya.
Sadewa memandang tangannya yang baru saja mencengkram tangan Maha. Dalam keheningan, ia merasa sesal yang datang terlambat.
Pada sisi lainnya, Maha duduk termenung di sudut ruangan yang sunyi. Tangannya gemetaran dan ponsel yang ia genggam dengan erat. Tanpa pikir panjang, ia membuka pesan pesan dilayar.
To: Niken - Ken, sorry. Nanti malam kayaknya aku nggak bisa ikut nonton. Biasalah Sadewa kasih kerjaan dadakan. Jadi tolong ya kamu kasih tahu Mas Danu, soalnya aku nggak enak mau chat dia. Kamu jelasin juga biar dia paham.
From: Niken - Yah :( sedih banget aku. Oke deh, nanti aku chat Mas Danu. Semangat, Maha :*
Maha menatap layar ponselnya, seolah ada sesuatu yang belum bisa ia mengerti sepenuhnya. Setelah meletakkan ponselnya dimeja, tangan Maha perlahan terulur untuk menyentuh bagian tangannya yang terasa masih sakit. Rasanya, cengkeraman Sadewa begitu kuat, meninggalkan bekas yang tak hanya terlihat kulit, tetapi juga terasa di dalam dirinya. Ada rasa sakit yang tidak hanya fisik, tapi juga hatinya.
Tatapan Sadewa yang begitu dominan seolah membekas dalam benak Maha. Bentakan dan kekerasan yang ia terima tadi seperti terus terngiang, membuatnya takut seolah tidak punya daya untuk melawan. Maha merasa lemah, tidak berdaya dan hanya bisa menghadapinya dengan diam. Perasaan takut itu semakin menguat, membuat Maha merasa semakin terjepit dalam dunia yang seakan dikuasai oleh Sadewa.
Maha terpaksa mengalah untuk kedua kalinya. Di dalam benaknya, ia terus mempertimbangkan segala kemungkinan. Namun satu hal yang pasti, ia tidak ingin masalahnya melibatkan orang lain. Apalagi sampai merugikan mereka. Ia merasa beban itu sudah cukup berat, dan rasanya tidak ada yang lebih penting selain menghindari komplikasi lebih jauh.
“Maaf, Mas Danu. Maafin aku karena sering bikin kamu kecewa.” Bisik Maha, suaranya bergetar penuh penyesalan dan kesedihan yang sulit ditahan.
Banyak hal yang Maha simpan, terlalu banyak. Ia ingin orang-orang di sekitarnya tetap bahagia, meskipun hatinya sendiri terasa terkoyak. Dengan tubuh yang lelah dan hati yang penuh dengan beban, Maha merasa terjebak diantara dua dunia—di satu sisi, ia ingin memenuhi harapan semua orang, tetapi disisi lain ia merasa semakin jauh dari siapa dirinya yang sebenarnya.